3 >> ERROR <<

5K 510 16
                                    

Ada yang mengatakan manusia itu makhluk yang paling emosional, tak terkontrol, pesimis dan naif. Maka saat empat mata itu saling bertemu dalam waktu lama, Xavier menyadari sesuatu dari tatapan Resta.

Tatapan yang seakan mendominasi lawannya.

Tatapan yang mengatakan tidak ada yang bisa mengalahkannya.

Serta tatapan yang memandang seseorang seakan orang itu ada di bawahnya.

Dan itu benar-benar tatapan yang berbeda dari tatapan yang ia ingat tentang Resta. Tentang Resta yang dulu.

"Tunggu apa lagi?" Suara Resta kembali terdengar, menyadarkan Xavier dari ketertegunannya. "Dorong aku, kak." Resta merentangkan tangannya.

Mata bulat itu menyipit dengan bibir yang melengkung membentuk sebuah senyuman. "Dorong aku jika kamu memiliki mental untuk menjadi pembunuh."

Entah kenapa darah di organ tubuh Xavier berdesir pelan. Mengambil langkah mundur dan melepaskan cengkraman dari kerah seragam Resta. Tanpa mengatakan apa-apa, tubuh tegap Xavier berbalik, mematri langkah menjauh dari sana.

Resta menatap datar kepergian Xavier. Kala punggung itu menghilang di balik pintu, Resta mendengus samar. Pemuda itu membenarkan kerah seragamnya yang berantakan.

"Wow ... so impresif."

Resta menoleh ke arah Sagara. Ia melupakan kehadiran anak itu. "Tuan Muda Dewantara sepertinya sedikit berubah, huh?" Sagara berjalan mendekat sembari menepuk tangannya pelan, seakan memberi apresiasi.

Resta menaikkan satu alisnya. "Hanya sedikit, ya?" tanya Resta datar. Pemuda itu mematri langkah mendekati Sagara, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh pemuda itu.

"Tapi mulai sekarang..." Tangan Resta bergerak menepuk pundak Sagara. Tatapan tajam terarah ke depan. "Kau akan sering melihat perubahan Tuan Muda yang diabaikan ini."

Tubuh Sagara menegang kala suara yang terdengar rendah untuk mengintimidasi lawan itu mengalun halus tepat di samping telinganya. Bahkan saat derap langkah kaki yang kian menjauh dan semakin teredam, Sagara masih hanyut dalam suara manis yang terdengar beracun.

Sudut bibir Sagara terangkat. Aku menemukanmu, Tuan-ku yang selanjutnya.

***

Gabriel adalah orang paling sibuk di antara kedua saudaranya. Ralat, ketiga saudaranya yang lain. Mungkin. Bahkan saat seisi kantor ricuh dengan berita panas yang muncul di sosial media mana pun, pemuda berusia 23 tahun itu masih asyik memakan mi instan nya di kantin perusahaan.

"Astaga, kau ini." Razel — teman sekantornya yang ada di bagian administrasi keuangan — menggeleng melihat Gabriel memakan mi instan seperti orang yang tidak makan selama setahun.

"Kau seperti tidak makan selama lima hari."

"Memang," jawab Gabriel dengan mulut penuh mi. "Aku tidak makan selama tiga hari berkat seseorang yang memberiku kerja rodi."

"Siapa orang itu?"

"Ayahku."

Razel tidak bersuara lagi. Gabriel menjabat sebagai manajer eksekutif di perusahaan Dewantara, dengan Gaviel sebagai bosnya. Karena Gaviel masih belum memercayakan beberapa perusahaan ke tangan anak sulungnya, Gaviel lebih memilih memasukkan Gabriel ke dalam perusahaan yang ia kelola dan memberikan jabatan manajer.

"Makan yang pelan, tidak akan ada yang mengambil makananmu," peringat Razel. Gabriel mengerling ke arah pemuda itu, namun tetap menurut.

ERROR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang