16 Before the Battle Begins

41 7 0
                                    

Senja mulai turun di Bukit Tengu. Langit yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh kerumunan Tengu yang terbang hilir mudik, mempersiapkan diri untuk peristiwa besar yang akan segera terjadi. Di alun-alun desa, suasana meriah terasa begitu kental. Para tengu dari berbagai penjuru telah berkumpul, membentuk kelompok-kelompok kecil yang tersebar di bawah naungan pohon-pohon rindang. Mereka duduk bersama, berbincang dengan penuh semangat sembari menunggu ritual penting yang akan segera dimulai.


Di salah satu sudut alun-alun, Soraru duduk dengan hati-hati, menggendong Mafu yang kembali dalam kondisi lelap sejak dua hari lalu dan terbungkus rapat dengan selimut. Di sebelah Soraru, Urata mengawasi sekeliling dengan matanya yang tajam penuh kewaspadaan. Luz, Lon, serta Yobiko dan Chobihige, duduk melingkar di dekatnya.


"Jadi," Urata memulai pembicaraan dengan suara rendah, "apa yang sudah kita kumpulkan sejauh ini?"


Luz menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Menurut laporan Eve, para pemburu yokai sudah mengetahui keberadaan Tuan di sini."


"Bagaimana mungkin?" tanya Yobiko dengan nada terkejut.


"Pasti karena Shimen kemarin," jawab Urata singkat. "Siapapun pemiliknya, mereka pasti telah melihat semuanya lewat pengelihatan ayakashi itu."


Suasana menjadi hening sejenak. Soraru menatap Mafu di pelukannya dengan pandangan cemas.


"Bukan hanya itu," Lon angkat bicara, suara lembutnya penuh kekhawatiran. "Pihak Nurarihyon juga sudah mulai mencurigai bukit ini. Mereka heran mengapa hanya tempat ini yang masih tenang, sementara klan-klan yokai besar lainnya seperti Sarumen sudah bergerak mencari Seimei-sama ke seluruh penjuru Achira no Sekai."


Urata mengerutkan dahinya. "Yah, ini masih sesuai prediksi."


"Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" tanya Chobihige, suaranya bergetar menahan kekhawatiran.


Soraru, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Tidak banyak," ujarnya dengan nada berat. "Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah bersiaga dan mempersiapkan diri sebaik mungkin."


"Kau benar," Urata mengangguk setuju. "Tapi kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk. Para pemburu yokai mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menyerang kita sekaligus meratakan pasukan Nurarihyon. Perselisihan di antara mereka juga sudah berlangsung terlalu lama."


"Jadi, apa rencanamu, Shidousha-sama?" tanya Luz, matanya menatap penuh harap pada sang naga biru.


Soraru terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari solusi. "Kita bisa membuat mereka berpikir bahwa kita akan memindahkan Tuan ke tempat lain," ujarnya akhirnya. "Biarkan mereka mengetahui lokasi 'pemindahan' itu. Tempat itulah yang akan menjadi medan pertempuran sesungguhnya."


"Tapi bukankah itu berarti kita memancing mereka untuk bertarung?" tanya Lon dengan nada khawatir.


"Benar," jawab Soraru. "Tapi setidaknya kita bisa memilih tempat yang menguntungkan bagi kita. Dan yang terpenting, kita bisa mengalihkan perhatian mereka dari lokasi Tuan yang sebenarnya."


Urata mengangguk perlahan. "Rencana yang berani, tapi kurasa itu pilihan terbaik yang kita miliki saat ini."


Malam semakin larut, dan atmosfer di Karasuyama dipenuhi dengan antisipasi yang nyaris bisa dirasakan. Para yokai dari berbagai klan dan kelompok berkumpul di alun-alun, mata mereka tertuju ke langit, menunggu dengan tak sabar munculnya Yoko no Tsuki.


Di tengah kerumunan yang semakin ramai, pasangan yokai pembuat cangkir sibuk hilir mudik. Sang istri, Mio, dengan kimono berwarna merah muda lembut bermotif bunga sakura, membagikan cangkir-cangkir indah hasil karyanya kepada para tamu. Sementara itu, sang suami, Haku, mengenakan hakama berwarna biru tua, mengikuti di belakang dengan sebuah teko sake besar di tangannya.

Kioku no Sora  ||  SoraMafu [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang