Mentari siang itu membakar kulit Helen hingga terasa perih. Ia menghela napas, matanya tertuju pada jalanan tak berujung di seberang gerbang rumahnya. Ransel yang terikat erat di pundaknya terasa berat, seakan berisi beban dunia. Ia siap menuju tujuan yang sudah lama dirindukan.
Seribu meter. Hanya itu jaraknya. Namun, bagi Helen, itu bagaikan perjalanan melintasi samudra, penuh rintangan dan misteri. Ia berjalan seorang diri, membawa kenangan pahit dan harapan yang rapuh dalam ranselnya.
Rumah demi rumah ia lewati, langkahnya ringan, senyum tipis menghiasi bibir. Iris hitamnya menangkap setiap detil, menyapa dunia dengan tatapan yang penuh tanya. Kucing yang sedang mengorek sampah, anak-anak yang bermain sepeda di balik gerbang, pak tua yang membaca koran di teras, bahkan mobil yang melintas, semua menjadi bagian dari perjalanan. Matahari seolah membakar pakaian panjangnya, namun semangatnya tetap membara, bagaikan api yang tak kunjung padam.
Sudah lama ia tak menghirup udara bebas tanah air tercinta. Rasanya, banyak perubahan yang terjadi di sekeliling rumahnya. Kompleks tempat tinggalnya, meskipun tak terlalu besar, dihiasi rumah-rumah bergaya tropis, mirip villa-villa kecil di Bali. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan rahasia yang tak terungkap.
, "Eh, Neng Helen, mau ke mana?"
, Helen menoleh, senyumnya mengembang. "Ke pantai, Pak." Ia menghampiri Eko Satrio, pria paruh baya yang duduk di depan pos satpam, penjaga setia kompleks ini.
"Panas-panas ke pantai, Neng?" tanya Eko, sorot matanya penuh perhatian.
"Cari udara segar," jawab Helen, senyumnya merekah. Ia duduk di seberang Eko, melepas ranselnya dan mengambil sesuatu dari kantong depan.
"Udah izin Mbak Dita belum?" Eko menyeruput kopi di cangkir, matanya sesekali melirik Helen yang sibuk meminum obat.
"Udah, Pak. Cuma Mbak Dita lagi nggak bisa nemenin," jawab Helen, setelah menenggak air di botol dan menyimpannya kembali.
Eko mengangguk, tubuh tegapnya sigap berdiri, menghampiri gerbang yang hanya terbuka setengah. Hari ini hari libur, hari di mana para penghuni kompleks biasanya berlibur. Sebagai kompleks dengan keamanan tinggi, gerbang utama dan akses lainnya hanya dibuka setengah, cukup untuk pejalan kaki atau sepeda motor. Kebijakan ini, yang baru diterapkan beberapa tahun lalu, seringkali membuat Eko dan rekan-rekannya kerepotan.
Beberapa hari lalu, saat Helen dan Dita sedang berkeliling, mereka melihat Toto, rekan kerja Eko, harus meninggalkan makan siangnya di meja, bergegas membuka gerbang untuk mobil yang datang. Akibatnya, ikan yang belum sempat ia makan dicuri kucing. Helen dan Dita, yang tak tega melihat kejadian itu, pergi ke warung makan di pertigaan jalan utama dan membelikannya seporsi nasi dan opor sebagai pengganti.
Helen tersenyum melihat Eko setengah berlari menghampirinya. Pria paruh baya itu bercucur keringat setelah mempersilakan mobil mewah masuk dan menutup gerbang kembali. "Saya lanjut jalan lagi, Pak," ucapnya pada Eko yang baru duduk.
"Hati-hati, Neng!"
Helen mengangguk, matanya berbinar. Ia menghampiri gerbang, menyipitkan mata sebentar saat spion motor yang berjalan beriringan dengannya memantulkan sinar mentari. Ia mengalah, mempersilakan pengguna sepeda motor itu keluar lebih dulu.
"Permisi, Mbak," ucap pengguna sepeda motor, seorang pria.
Helen mengangguk sekilas sebagai jawaban. Ia melangkah kembali saat motor besar itu keluar dan melaju dengan kecepatan tinggi. Suara kenalpot motor yang memekakkan telinga membuatnya sedikit mengernyit. Sebenarnya, tinggal di Jakarta bukanlah keinginannya. Namun, siapalah ia? Masih hidup dan bisa beraktivitas normal saja sudah lebih dari cukup.
Dengan semangat yang membara, Helen mempercepat langkahnya. Ia menuju halte bus di sebelah kanan, hanya berjarak lima puluh meter dari gerbang utama kompleks.
Sepi! Hanya ia seorang yang duduk di kursi halte. Mungkin karena hari libur, banyak penghuni kompleks yang memilih berlibur di rumah. Helen menghela napas, matanya tertuju pada gerbang kompleks, sebuah portal menuju dunia yang ia tinggalkan.
Jauh di dalam hati, ia bersyukur bisa sampai di tempat ini. Meskipun tujuannya masih jauh, setidaknya beberapa langkah sudah ia lewati tanpa kesulitan berarti. Jarak dari rumah ke gerbang utama memang tidak terlalu jauh, hanya lima ratus meter. Namun, di cuaca seperti ini, siapa sangka seorang Helen Adi Magna dapat menempuhnya?
Setelah menunggu seperempat jam, bus yang ia nantikan tiba. Helen bergegas masuk dan duduk dengan nyaman di belakang pengemudi yang asyik menyetir. Ia menyeka keringat yang tersisa di dahi dengan ujung lengan. Baru beberapa detik ia bersyukur tubuhnya tidak merasakan sakit, kini rasa yang berhasil membuatnya trauma kembali muncul.
Helen melirik jam di pergelangan tangan kiri. Dua puluh menit yang lalu ia baru keluar dari rumah, tapi entah kenapa sakit itu tak mau memberi kelonggaran. Setidaknya, biarkan ia pulang kembali ke rumah tanpa merasakan sakit. Atau paling tidak, biarkan ia bersenang-senang di pantai tanpa harus cemas dengan penyakitnya.
Helen mengelus dada, meyakini diri sendiri bahwa ia mampu sampai dan pulang dengan keadaan baik. Ya, ia harus membuktikannya pada Dita bahwa semua sudah kembali seperti semula. Tidak ada lagi yang harus berkorban. Dan tidak akan ada lagi yang harus berduka.
"Pantai Laxmo!"
Suara dari speaker di atas kepala Helen menyadarkannya. Ia menghela napas dan membuangnya sebelum bangkit. Dengan iris berbinar, Helen keluar dari bus. Tak jauh dari tempatnya, plang besar bergambar laut biru seolah menari-nari.
'Pantai Laxo.'
Pantai dengan laut biru yang saat terkena mentari jingga, menciptakan gradasi warna yang menawan. Dahulu, Helen dan keluarga kecilnya sering berkunjung ke pantai ini. Di tempat ini, ada banyak hal yang terekam, namun sulit untuk diceritakan. Dan sepuluh tahun berlalu dengan cepat, ia datang kembali untuk sekedar mengenang dan melepas rindu.
Helen tersenyum getir. Ia mengedarkan pandangan, memperhatikan antrian mobil yang cukup panjang di belakang. Tak mau berlama-lama membendung rindu, ia berlari kecil menghampiri loket di seberang.
Kosong!
Helen berdiri di depan loket sebagai antrian pertama. "Permisi, Mbak," ucapnya pada penjaga yang sibuk bermain komputer.
Perempuan muda yang duduk sendirian di dalam ruang sempit itu menoleh dan tersenyum. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
Helen ikut tersenyum dan menyodorkan beberapa lembar uang dari dalam saku celananya. "Saya sendiri," ucapnya cepat.
Perempuan penjaga loket mengerutkan alis, merasa bingung dengan perkataan Helen. Namun, melihat uang yang disodorkan setara dengan harga satu tiket, petugas itu menyimpulkan maksud Helen. "Oh, Mbaknya sendirian?"
Helen mengangguk cepat. Ia tak mengeluarkan sepatah kata dan terlihat tak sabaran.
"Silahkan, Mbak!" ucap perempuan penjaga loket setelah menerima uang yang disodorkan.
Helen buru-buru memperhatikan palang otomatis di depannya. Ia buru-buru berjalan setelah palang berhasil terangkat setinggi kepala. Tidak memperdulikan reaksi perempuan penjaga loket, Helen menghampiri pintu kaca berganda yang menutup Pantai Laxo dari mata-mata luar.
Ia mendorong salah satu pintu dan tersenyum sangat lebar. Irisnya memperhatikan deburan ombak yang terasa amat dekat, sampai ia seolah mampu merasakan sisi kelam yang tak tersentuh manusia.
Kini, setelah melihat pantai masa kecilnya benar-benar di depan mata, ia berlari sekuat tenaga. Bahkan ia mengabaikan puluhan pasang mata yang memperhatikan dengan ekspresi berbeda.
....
Kira-kira setelah ini akan ada apa lagi? Apa Helen berniat bunuh diri? Atau malah tertimpa rezekii nomplok?
Semoga kelanjutan cerita ini lebih menarik dan membuat Anda penasaran! 😊
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Ombak Rindu dan Janji Terakhir (TAMAT)
RomanceHelen, dengan mata redup namun berbinar semangat, kembali ke tanah air setelah sepuluh tahun berjuang melawan kanker. Ia ingin merasakan kembali pasir pantai masa kecilnya, tempat kenangan bersama sang ibu terukir. Di sana, ia bertemu Rama, pria mis...