ㅡ bimantara; prolog.

559 129 75
                                    

Kos-kosan kecil milik Pak Sumanto itu selalu riuh semenjak rumah kecil itu terisi oleh tujuh bujang yang sama sekali ngga ada akhlak.

Dari luar, suara tawa sering terdengar memecah keheningan jalan sempit di depannya. Pintu kayu yang sudah mulai usang sering terbuka lebar, memperlihatkan tujuh bujang yang sibuk dengan kegaduhan mereka.

Dua bujang berkulit tan dan berkulit putih salju itu tertawa kencang karena menonton film komedi di laptop, suara mereka berdua menggema hingga tetangga sebelah sering mengetuk dinding sebagai tanda protes. Namun tak digubris oleh keduanya.

Dua orang yang tidak pandai memasak sedang sibuk di dapur, mencoba memasak sesuatu yang pasti akan berakhir di tong sampah.

Salah satu dari mereka berjalan keluar dari kamar, duduk di sofa, menyeruput minuman dingin sambil menatap para penghuni yang berserakan di ruang tengah.

Lalu ada si biangnya membuat keberisikan hari itu sibuk bermain game, berteriak-teriak tak karuan setiap kali salah satu dari mereka berdua kalah. Bahkan mengabsen beberapa hewan yang ada di kebun binatang.

Namun, di tengah keributan itu, ada kebahagiaan sederhana— kebersamaan yang terasa hangat meskipun kos-kosan itu kecil dan sesak.

Bagi mereka, ini adalah rumah. Tempat di mana mereka bisa melupakan dunia luar sejenak, tertawa tanpa memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Tak peduli dengan para tetangga yang menjadi korban keributan mereka setiap harinya.

Namun, ketika malam semakin larut dan satu per satu dari mereka mulai menyusup ke kamar masing-masing, sisa-sisa tawa itu perlahan memudar. Saat lampu ruang tengah dimatikan, hanya kesunyian yang tersisa. Di balik pintu-pintu kamar mereka, masing-masing membawa beban yang tak terlihat.

Mavendra menatap layar ponselnya, email dari kantornya tertera di sana dengan pesan-pesan yang memintanya menyelesaikan pekerjaan yang tak kunjung usai.

Rasen merenung di sudut kamarnya, memikirkan panggilan telepon dari keluarganya yang selalu mengingatkannya untuk lebih serius dan giat dalam pekerjaannya.

Jaival yang terlihat paling santai di setiap harinya, menutup matanya dengan berat. Merasakan tekanan pekerjaan yang semakin menumpuk. Belum lagi, ia disuruh memikirkan konsep terbaru untuk tempat kerjanya.

Hiran mulai merenung, memikirkan apakah ia sebodoh itu di bidang seni sampai-sampai kedua orangtuanya menyuruhnya untuk berhenti kuliah saja?

Nartha dengan segala kepeduliannya pada dunia luar bahkan keenam sahabatnya, sering merasa tidak percaya diri karena teman-teman masa sekolahnya mengatakan bahwa jurusan yang ia ambil sangatlah tidak penting untuk dirinya sendiri.

Chandra dan Jayendra, diam-diam merasakan ketakutan akan masa depan yang belum pasti. Belum lagi omongan busukㅡ kalau kata Rasen dari kedua orangtua mereka yang membuat duo ini merasa tidak pantas untuk mengambil perguruan tinggi.

Mereka adalah tujuh orang yang selalu membuat keributan dan canda tawa. Sangat berbanding jauh dengan dunia mereka sendiri yang penuh masalah dan kekhawatiran yang tak terucapkan.


bimantaraㅡ
tujuh jiwa yang hebat dan kuat.

starring;

starring;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[i] bimantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang