ㅡ 14. Fragments of Us.

151 44 16
                                    

Ini sudah masuk dua minggu, tapi Jayen masih saja nyaman tidur. Tidak peduli dengan keenam abangnya yang selalu menunggunya bangun.

Kali ini Jaival yang menjaga Jayen. Ia memutuskan untuk mengambil cuti demi menjaga Jayen. Jaival tidak ingin melewatkan satu detik pun untuk mendampingi adik kesayangannya yang terbaring tak berdaya. Jaival menghabiskan waktu di rumah sakit, berbicara kepada Jayen dan berharap bahwa suatu saat Jayen akan mendengarnya.

"Jayendra Saptana, seindah itu mimpi lo sampai nggak mau bangun buat ngeliat wajah tampan gue ini?"

bimantara.

Di kosan, kembali terjadi antara Hiran dan Nartha yang berdebat tidak berujung. Mereka kembali saling menyalahkan atas kejadian yang menimpa Jayen, meskipun sebenarnya mereka semua merasa bersalah.

“Ini gara-gara lo anjing!” teriak Hiran, wajahnya memerah karena emosi.

“Lo juga terlibat!” Nartha membalas, suaranya tak kalah keras. “Kalau lo mau nganter, Jayen pasti disini! Nggak koma di rumah sakit!”

Bugh!

“Bacot!” Hiran memukul rahang Nartha dan suasana menjadi semakin tegang. Tidak terima, Nartha membalas pukulan itu dengan tenaga kuat, membuat Hiran terhuyung kebelakang. Akhirnya mereka saling memukul satu sama lain. Namun, luka itu tidak sakit. Hati mereka yang sakit.

“Kalian berdua ini kayak anak kecil, tau nggak?!” Chandra akhirnya bersuara dengan nada meninggi, menginterupsi pertengkaran itu yang tak kunjung reda.

“Lo nggak ngerti, Chan! Ini masalah serius!”

“Serius? Masalah serius yang kalian bawa terus-menerus kesini tanpa ada solusi?! Kalian berdua udah bikin semua orang di kos ini menderita! Jayen di rumah sakit, dan kalian malah sibuk bertengkar! Apa kalian pikir itu akan membantu hah?!” Chandra berteriak.

Ketiganya diam sejenak dengan nafas yang tersenggal-senggal menjadikan ketegangan di ruangan itu semakin meningkat. “Gue pergi! Gausah nampakin diri ke gue!”

Chandra keluar, menutup pintu dengan keras. Dia mengendarai motornya dengan cepat menuju rumah sakit dengan perasaan marah dan kecewa

Setibanya di rumah sakit, dia mengarahkan langkahnya menuju kamar Jayen, berharap bisa melihat sahabatnya dalam keadaan baik. Ketika sampai, dia melihat Jaival yang duduk di kursi, memegang tangan Jayen dan berbicara sendiri.

“Abang,” panggil Chandra, suaranya lebih tenang namun tetap terdengar lelah.

Jaival menoleh, melihat Chandra dengan ekspresi campur aduk. “Eh, Chan? Sendirian? Hiran Nartha kem--”

“Muak gue sama mereka, bang,” potong Chandra, menatap wajah Jayen yang pucat. “Gimana?”

“Belum ada perubahan. Gue harap dia cepat bangun.”

“Gue harap begitu juga,” balas Chandra, menghela napas berat. “Kita butuh dia dan kita butuh semuanya untuk tetap bersama, bukan bertengkar terus kek duo curut enoh.”

Keduanya terdiam, merasakan beratnya suasana. Chandra berharap agar semuanya bisa segera membaik, termasuk hubungan di antara mereka. Mereka semua ingin Jayen kembali dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan bersatu sebagai keluarga, bukan saling menyalahkan.

“Jayen... Kita butuh lo.”

bimantara.

"Chandra bilang ke gue kalau tuh dua anak gelut lagi," celetuk Rasen di sela-sela menguyah baksonya. Dia dan Maven sedang makan siang di kantin kantor setelah menghabiskan setengah hari bekerja.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang