ㅡ 19. In the Depts of Loneliness.

146 35 31
                                    

Seiring berjalannya waktu, Chandra merasa terjebak dalam siklus kesedihan dan cemburu. Ia tidak bisa memungkiri betapa ia merindukan perhatian dan kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari orangtuanya.

Didalam pikirannya, bayangan Jayen yang dikelilingi kasih sayang sahabat-sahabatnya semakin menguatkan rasa kesepian yang ia rasakan. Dalam hati Chandra, ada rasa ingin memiliki seperti apa yang dirasakan Jayen, sebuah perhatian yang tulus dari orang-orang terdekatnya.

Hari-hari berlalu, Jayen mulai beranjak pulih dan Chandra semakin sakit.

Dia melihat bagaimana sahabat-sahabatnya, terutama Hiran, yang dulunya sering berdebat dengannya, sekarang tampak lebih dekat dengan Jayen. Tawa mereka terdengar menggema di seluruh kos-kosan, mengingatkan Chandra pada semua kenangan manis yang kini terasa jauh darinya. Di saat-saat seperti itu, Chandra merasa seolah-olah dia adalah orang asing di antara mereka. Ia merasa baru satu hari menge-kos disitu.

Setiap pagi, saat mereka berkumpul untuk sarapan, dia melihat Maven dan Jaival berbagi lelucon, sementara Hiran dan Nartha menggoda Jayen, Rasen yang selalu megomel serta Chandra yang acuh tak acuh, serasa makan sendirian.

Tetapi saat melihat senyum lebar di wajah Jayen, dia merasakan jarak yang semakin besar antara dirinya dan sahabatnya.

Setelah sarapan, Chandra mengambil langkah kecil menuju kamarnya. Dia merasa lelah secara emosional dan ingin menghindar dari interaksi yang menyakitkan.

Begitu pintu kamar tertutup, dia merasakan beban di dadanya semakin berat. Rasa kesepian menyelimutinya seperti selimut tebal yang tak bisa dilepaskannya.

Tidak ada yang dapat menggantikan kasih sayang yang tulus dari orangtuanya. Dia merasa terasing dalam kesunyian, dikelilingi oleh hal-hal yang tampaknya tidak memiliki makna baginya.

Didalam pikiran Chandra, terbayang semua kenangan pahit yang selama ini dia simpan. Sejak kecil, ia selalu merasa seperti anak yang tidak pernah cukup. Oerhatian orangtuanya terhadap dirinya sangatlah minim. Kesepian itu seperti bayangan yang terus mengikuti, menjadikan setiap langkahnya terasa berat.

Kini, ketika melihat Jayen yang dikelilingi oleh kasih sayang sahabat-sahabatnya, rasa cemburu dan kesedihan semakin menjadi-jadi.

Chandra duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong di depannya. Ia merasa seolah-olah tak ada yang mengerti apa yang ia alami.

Air mata menggenang di matanya, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menangis. Dia tidak ingin sahabat-sahabatnya melihatnya dalam keadaan seperti itu. Mereka semua memiliki kehidupan yang bahagia, penuh dengan kasih sayang dan dukungan.

Namun, dibalik senyum dan tawanya, Chandra merasakan ketidakpuasan yang mendalam.

"Mami... Papi... Kangen."

bimantara.

"Uy, Chandra!"

Pemilik nama tak menoleh, ia menganggap Maven itu setan yang mengganggunya. Segera ia menuju kamarnya, melempar ranselnya dan kunci motornya ke kasur.

Ia butuh mendinginkan pikirannya setelah setengah hari mendapat banyak materi di kelasnya. Berdiam diri di kamar mandi, merasakan kesedihan yang semakin dalam. Kalau ada shower dikamar mandinya, pasti Chandra lakukan, biar kayak di film film gitu.

Kenapa ia harus merasa terasing di antara mereka? Kenapa? Kenapa selalu Jayendra, Jayendra, Jayendra?

Prak!

"Bangsat!" umpat Chandra setelah ia melempar gayung bergambar bebek sampai retak. Gapapa, Chandra bisa beli lagi dari pabriknya langsung.

Seharusnya dia bisa bahagia melihat Jayen sembuh, tetapi setiap senyuman Jayen membuatnya...

Sedikit membencinya.

Selesai membersihkan diri, anak itu merebahkan dirinya ke kasur. Matanya melirik ke jam dindingnya, ternyata ia sudah menghabiskan 2 jam di kamar mandi yang 95% meratapi nasib dan 5% mandi.

Chandra ingin terlelap, tapi tidak jadi karena telinganya mendengar suara dari luar. Dia melirik kearah pintu dan melihat cahaya kecil dari sela-sela. Penasaran, dia memutuskan untuk keluar dan melihat siapa yang masih terjaga.

Ia mengintip ke ruang tengah. Ada Jaival dan Hiran, dua sahabatnya yang biasanya begadang, sedang duduk di sofa dengan secangkir kopi dan cemilan.

"Eh, Chandra," Jaival menyapa dengan senyum manisnya, "Nggak bisa tidur ya? Sini, kita temenin."

Chandra masih berdiam diri sampai ia menghampiri keduanya. Duduk di sofa namun berjarak dengan Jaival dan Hiran. Terjadi keheningan beberapa saat.

"Sebelumnya gue minta maaf kalau ada salah," celetuk Hiran, tatapannya jadi serius. "Lo ada masalah? Lo bisa cerita ke kita berdua."

Jaival mengangguk membenarkan lalu menimpali, "Kalau masih butuh waktu gapapa. Kita tungguin."

Chandra mengusap tengkuknya, entah mengapa ia merasa canggung. "Gue... iri."

"Iri?" beo keduanya. "Sama siapa?"

"Sama... Jayen. Hahaha, nggak deh. Bercanda doang," jawab Chandra dengan selingan tawa yang terdengar tidak niat dan terpaksa.

Tapi, kata-kata itu seperti kilat di dini hari. Jaival dan Hiran saling berpandangan dan ekspresi mereka berubah menjadi serius. Mereka berdua yakin apa yang di ucapkan Chandra memang benar adanya.

"Chandra..." Hiran berkata, wajahnya menunjukkan penyesalan, "Kita nggak mau lo merasa kayak gitu. Kita peduli sama lo. Jangan merasa sendiri."

"Kita begini bukan karena ngasingin lo, tapi Jayen sekarang butuh pemulihan. Kita harus baik-baik ngurusin dia," tambah Jaival, suaranya penuh penyesalan. "Gue minta maaf, Chandra."

Chandra merasa sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan reaksi itu," Gue tahu kalian care, cuman... ya, susah. Gue merasa kayak... nggak berarti."

Hiran menggelengkan kepalanya keras, "Enggak gitu, Chandra. Kita butuh lo. Lo itu penting buat kita."

Chandra merasa hatinya sedikit lebih hangat dengan kata-kata mereka. Meskipun dia tidak bisa sepenuhnya mengungkapkan apa yang dia rasakan.

"Ya, gue aja yang nggak dewasa. Tapi makasih sudah dengerin dan maaf kata-kata gue kurang pantas."

"Nggak gitu, Chandra. Maksud gue--"

"Gue ngantuk, bang. Gue tidur duluan, ya. Jangan sampai pagi-pagi banget, ntar kena omelan bang Rasen."

Chandra beranjak dan masuk ke dalam kamarnya. Merebahkan diri kembali dan menghela nafasnya lelah.

Saat Chandra mendengarkan kata-kata mereka, dia merasa sedikit lebih ringan perasaanya. Dia tahu bahwa tidak semuanya bisa dia bagikan, tetapi setidaknya, ada orang-orang yang mau mendengarkan.

Meskipun Chandra tidak sepenuhnya membuka hati. Dia merasa sedikit lebih terhubung dengan mereka, meskipun masih ada jarak yang ia buat.

Candra menyadari bahwa cemburunya tidak akan hilang dalam semalam. Namun, dia mulai memahami bahwa persahabatan yang mereka bangun adalah sumber kekuatan. Mungkin dengan waktu dan kepercayaan, dia bisa belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan menemukan tempatnya di antara mereka.

Akhirnya, ia terlelap dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa ini tidak akan mudah, tetapi dia memiliki sahabat-sahabat yang siap mendukungnya. Mungkin, suatu hari, dia akan mampu membuka hatinya sepenuhnya, berbagi semua yang ada di dalamnya dan...

Menerima semuanya.

bimantara.
chapter 19; to be continued.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang