Di hari yang sama, suasana di kantor divisi Rasen terasa sama seperti biasanya- riuh rendah dengan aktivitas, namun sesekali diselingi dengan tawa lepas rekan-rekan sekantornya.
Rasen menatap layar komputernya dalam diam, sesekali menghela napas panjang. Berkas-berkas desain yang tengah ia kerjakan tersusun rapi, menunggu sentuhan akhir sebelum diserahkan kepada klien.
Sudah beberapa hari terakhir Rasen merasa ada yang sedikit berbeda di kantor ini. Target kerja terasa semakin ketat, revisi dari klien datang bertubi-tubi, bahkan setelah ia merasa sudah memberikan hasil terbaik. Tekanan ini semakin terasa sejak manager divisi-nya mulai melakukan evaluasi mingguan, mengingatkan bahwa setiap kesalahan sekecil apapun bisa berdampak besar pada citra perusahaan.
Rasen menyenderkan dirinya dan memakan roti yang ia sempat beli di kantin kantor tadi pagi. Ia tidak sempat makan siang karena kerjaannya menumpuk. Toh, Maven juga nggak ke kantin karena juga sama sibuknya.
Rasen menghela nafas, akhir-akhir ini ia memang tidak bisa sepenuhnya santai. Belum lagi, ada harapan tinggi dari keluarganya yang terus mendorongnya agar bisa menjadi "seseorang" di perusahaan besar ini. Beban itu rasanya semakin menekan seiring bertambahnya tuntutan pekerjaan.
"Gue harus kelarin ini semua," monolognya dengan suara pelan, "Deadline-nya makin mepet, revisi datang nggak berhenti-berhenti. Bener bikin gue gila."
Rasen menghela nafas lagi, sebelum melanjutkan pekerjaannya. Setelah beberapa jam, layar komputernya dipenuhi dengan detail desain yang rumit. Warna-warna, bentuk-bentuk, semuanya seakan menari dalam pola yang ia susun dengan penuh ketelitian. Di balik layar, ia menyadari bahwa seni dan ketelitian inilah yang membuatnya tetap bertahan, meskipun kelelahan yang ia rasakan semakin bertumpuk hari demi hari.
Di tengah kebisuannya, ponselnya yang tergeletaj di meja kerjanya berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar dan dadanya tiba-tiba terasa sesak.
"Halo, Pa? Ada apa?" jawabnya dengan sedikit tegang.
"Rasen, kamu sibuk sekali, ya?" tanya Papa-nya disebrang sana.
Rasen berdehem singkat, tiba-tiba tenggorokannya kering, "Nggak terlalu, Pa. Ada apa?"
Papa Rasen terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Kamu masih ingat nggak janji kamu buat pulang bulan ini?"
Rasen menelan ludah, merasa tersudut. "Pa, Rasen nggak lupa. Tapi kerjaan di sini lagi banyak banget. Rasen ... Rasen usahain, ya?"
Hening sejenak di ujung telepon, sebelum ibunya menjawab, "Papa tau. Papa sama Mama cuma pengen lihat hasil kerja keras kamu. Kalau kamu bisa pulang sebentar, itu sudah cukup buat Papa Mama."
"Iya, Pa..."
Setelah telepon berakhir, Rasen hanya bisa terdiam di kursinya. Pikirannya kini melayang antara tanggung jawab di kantor dan keinginannya untuk membahagiakan keluarga. Jauh di dalam hatinya, ia sadar bahwa pilihannya saat ini tidak hanya mempengaruhi karir, tapi juga hubungan dengan keluarganya yang ia tinggalkan demi mengejar mimpi.
Saat kembali menatap layar komputernya, semua detail desain terasa semakin buram. Tugas-tugas yang harusnya ia selesaikan kini terasa seperti tembok besar yang menghalangi langkahnya, seolah-olah menantangnya untuk menemukan jalan keluar dari dilema yang ia rasakan.
Rasen membuka ponselnya kembali, ia tadi melihat notifikasi dari Maven yang mengirimkan sebuah pesan ke grup chat. Rasen membaca pesan itu dengan serius, lalu ia membalasnya.
bimantara.
Maven dan Rasen melangkah memasuki kos sekitar pukul 15.20, dengan raut wajah lelah. Namun, suasana di dalam kos cukup ramai dengan suara Hiran, Nartha, dan Chandra yang sedang duduk di sofa dengan menonton acara komedi alih-alih bersiap-siap untuk berangkat kuliah nanti. Anyways, Jaival belum pulang karena kafe lagi ramai, jadi dia agak sorean pulangnya.
"Eh, babang ganteng pulang!" seru Hiran, sambil tertawa kecil.
Maven hanya tertawa kecil, sedangkan Rasen duduk duluan disebelah Nartha, disusul Maven.
"Eh, maksud kalian berdua apa tuh di grup chat tadi? Gue baru baca soalnya," tanya Chandra sambil membuka satu bungkus cemilan lalu melahapnya.
"Iya! Abang beneran mau balik kampung atau cuma mau nge-prank biar kita kangen?" imbuh Nartha.
Maven mengangguk sambil tersenyum lemah. "Nggak, Na. Gue emang perlu pulang, ada sesuatu di rumah yang harus gue urus."
Rasen menimpali sambil menghela napas, "Gue juga harus pulang. Bokap barusan nelpon, bilang kalau gue belum tepati janji buat pulang bulan ini. Rasa nggak enak kalau nggak nepatin."
Hiran menatap mereka berdua dengan ekspresi pura-pura terharu. "Aww, pulang demi keluarga! Lo berdua nggak takut nanti pulang disuruh cepet-cepet nikah sama cewek kampung?"
Maven tertawa kecil. "Aduh, Ran, udah deh jangan nakut-nakutin! Gue nggak nyangka itu yang bakal disuruh... tapi urusan keluarga gue kali ini emang penting..."
"...Kalian juga penting," lanjut Maven dalam hati. Tatapannya menjadi sendu.
"Ya iyalah, bang! Mana ada yang lebih penting dari keluarga," celetuk Chandra, menepuk bahu Maven. "Tapi tenang aja, kalo lo pergi, gue bakal tetap rawat kasur lo, Bang. Bahkan kalau perlu gue rebahan biar makin nyaman!"
Nartha ikut menimpali sambil terkikik, "Si Chandra cuma cari alasan biar bisa rebahan di mana-mana."
Rasen memutar mata sambil tertawa. "Oke, oke, terserah kalian deh. Pokoknya nanti kita kasih kabar kapan berangkatnya, biar nggak tiba-tiba hilang aja."
"Siap, bos!" Hiran memasang posisi hormat. "Tapi kalau lo balik lama, aturan traktir kita, sih,"
"Gaji gue setara sama beliin jajan kalian semua! Kagak mau gue!"
"Idih! Pelit!" balas Hiran, Nartha, dan Chandra secara bersamaan. Kemudian ketiganya kembali menonton acara komedi tersebut dan tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Maven dan Rasen saling pandang, sedikit lega setelah teman-teman yang lain tak masalah dengan rencana mereka pulang kampung. Namun, Maven menghela napas panjang dan berbisik ke Rasen.
"Tapi, kita belum diizinin Jayen, 'kan?"
Rasen mengangguk sambil tersenyum tipis, seolah memahami kekhawatiran Maven. "Iya... kalau yang lain sih gampang, tapi izin dari Jayen itu beda urusan. Tuh bocah itu pasti nggak mau ngizinin kita pergi."
Maven menahan tawa kecil. "Bener banget. Gue udah kebayang muka cemberutnya kalau kita ngomong mau ninggalin dia sementara. Biar cuma beberapa hari aja, pasti ada aja alasan dia buat nggak setuju."
Hiran yang mendengar percakapan mereka hanya menepuk bahu Maven. "Udah, tenang aja! Nanti biar kita yang ngeyakinin Jayen buat izinin kalian pulang. Lagian dia juga nggak mungkin tahan lama marah sama lo berdua."
Chandra mengangguk dan mengimbuhi, "Iya, kecuali lo berdua bawa oleh-oleh banyak terutama buat Jayen, sisanya buat kita."
Rasen tertawa kecil, ada bayangan Jayen yang mungkin akan ngambek. Ia kemudian menatap Maven, "Yah, nanti aja kita jelasin ke Jayen. Doa aja, mudah-mudahan dia nggak bikin drama mellow."
Maven mengangguk, meski ada sedikit rasa cemas. Mereka tau, perjalanan pulang kampung ini memang penting, tapi meyakinkan adik bungsu mereka di kos akan jadi tantangan tersendiri.
bimantara.
chapter 23; to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] bimantara [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[ END; friendship, comedy ] NCT'Universe : 01【 위대한 영혼 】. 🎬 ft. NCT Dream. ── ❝ Dari awal tujuh, selamanya juga harus tujuh. Nggak boleh kurang atau nambah!❞ ✧ . . . 7 Pemuda dengan latar belakang yang berbeda tinggal bersama di salah satu kos-ko...