ㅡ 26. When We're Left Behind.

108 34 43
                                    

Pagi pertama tanpa Maven dan Rasen di kos berubah menjadi momen yang penuh kekacauan. Jam baru menunjukkan pukul 06:30 pagi tapi ponsel Nartha mulai berdering. Ringtone khasnya langsung menggelegar, membangunkannya dari tidur. Dengan wajah setengah sadar, dia meraba-raba ponselnya dan mengangkatnya sambil menggerutu.

"Apasih?" ucapnya, suaranya berat dan serak.

"Bangun, woy!" Terdengar suara Rasen dari seberang. Suaranya terdengar menggema.

"Ya Tuhan, Abang... ini baru setengah enam pagi!" Nartha menekan dahinya yang terasa berat. "Lo serius nelfon cuma buat bangunin gue?"

Rasen tertawa kecil, jelas menikmati penderitaan Nartha. "Gue 'kan udah bilang kemarin, kalau kalian nggak bisa bangun pagi, gue bakal nelfon satu-satu."

Nartha menahan rasa kesalnya sambil merosot lagi ke tempat tidur. "Bang, lo tau 'kan gue paling sensitif sama suara berisik di pagi-pagi?"

"Ya makanya, gue nelfon lo duluan," sahut Rasen enteng. "Lo jadi bakal lebih punya waktu banyak buat nyiapin sarapan, toh?"

Nartha menghela napas panjang. "Kalau lo ada disini sekarang, gue udah lempar bantal ke lo!"

Rasen hanya tertawa, sementara Nartha akhirnya pasrah dan memutuskan untuk benar-benar bangun.

bimantara.

Suara gerutuan Nartha dari kamar sebelah terdengar sampai ke kamar Hiran serta Jaival yang semalam ketiduran disana. Masih setengah terlelap, Hiran mengerjap dan melirik jam dinding, yang baru menunjukkan pukul 06:30 pagi. Dia menghela napas, tau betul siapa dalang di balik semua ini.

Hiran menggeliat sambil berkata, "Coba tebak siapa yang udah ribut-ribut pagi-pagi."

Jaival hanya tersenyum kecil, matanya masih setengah tertutup. "Pasti Rasen yang nelfonin satu-satu, 'kan? Niat banget anjir, kek nggak ada kerjaan lain aja"

"Gue pengen ketawa, tapi serius ini buat gue kesel juga," Hiran menguap lebar. "Padahal kita baru aja tidur jam dua pagi."

Jaival terkekeh, duduk dan menyandarkan tubuhnya. "Ya, lo tau betapa disiplinnya dia. Ah, sial, gue masih pengen tidur lagi, anjir."

Di tengah percakapan, tiba-tiba ponsel Jaival berdering. Jaival menghela napas lelah dan tanpa perlu menebak siapa yang menelepon, dia langsung mengangkatnya.

"Cepet banget ngangkatnya. Berarti lo udah bangun, 'kan?" tanya Rasen dengan nada santai.

Jaival mendengus dan mencoba membelakkan matanya agar terbuka, "Niat banget lo sumpil!"

"Buat kalian, apasih yang gue nggak niat? Anyway, Hiran udah bangun? Firasat gue mengatakan kalian tidur bareng."

Hiran, yang mendengar percakapan itu, melirik Jaival dan berteriak kecil, "Ya ampun, Sen, lo ganggu banget pagi-pagi! Nanti gantian kita yang ngerjain lo!"

Rasen tertasa puas, "Ya, gue kerjain balik lah! Dua kali lipat! Hahaha!"

Hiran dan Jaival saling bertukar pandang sambil tersenyum masam. Mereka akhirnya beranjak, meski dengan rasa kesal yang tertahan.

Di kamar lain, Jayen yang daritadi terganggu oleh suara panggilan telepon yang terus-terus masuk akhirnya terduduk di kasurnya. Sebelum dia bisa benar-benar mengumpulkan kesadarannya, pintu kamarnya diketuk oleh Chandra.

"Jayen! Bangun sebelum bang Rasen nguang-ngueng," ucap Chandra sambil membuka pintu sedikit.

Jayen menggosok wajahnya yang masih mengantuk. "Astaga, gue mau tidur 2 jam lagi padahal."

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang