ㅡ O1. Morning Chaos.

609 155 89
                                    

Berisik dan penuh teriakan, itulah keadaan rumah kecil yang berada di pertengahan kota itu. Padahal masih pagi, untung saja para tetangga sudah kebal dengan kelakuan mereka yang setiap harinya berisik dan gaduh.

Adegan kebisingan itu dibuat oleh keenam manusia secara profesional. Entah apa yang mereka debatkan, tapi bisa membuat seorang remaja yang paling muda di antara mereka berenam menghela nafas dengan kasar dan memijit pangkal hidungnya.

"Abang!!"

Akhirnya mereka berenam diam dan menatap si paling muda. Kenapa Jayen tidak berteriak daritadi saja ya?

"Bisa diem nggak sih?! Jayen lagi pusing gara-gara tugas sialan ini! Kalian jangan nambahin pusing dong!" ucap Jayen dengan sangat kesal. Bahkan ia sampai mengetuk bukunya dengan keras, menunjukan susahnya soal di tugasnya.

"Eh cil! Udah tau abang-abang lo yang ganteng dan kalem ini mengganggu. Eh, malah lo ngerjainnya disini! Lo 'kan bisa ngerjain di kamar!" balas lelaki bertubuh pendek dari keenam lelaki lainnya.

"Ganteng?! Kalem?! Dalam mimpi, bang!"

Jayen mendengus kesal, ia merapikan buku-bukunya dan membawanya ke kamar. Benar juga sih yang dikatakan Rasen. Kenapa ia malah mengerjakan di ruang tengah, yang bisa dibilang ruang tengah adalah ruang khusus untuk perdebatan dan pertengkaran mereka bertujuh.

Namun, berkat Jayen. Mereka berenam langsung berpencar, melupakan perdebatan mereka yang sangatlah tidak penting.

Maven, Nartha, dan Chandra mendudukkan diri di sofa dan menonton sinetron di televisi. Rasen menuju ke dapur untuk mengambil cemilan. Sedangkan Jaival dan Hiran bersiap untuk saling perang di dalam game online.

"Sopankah kaki ditaruh meja?" celetuk Rasen yang baru saja kembali dari dapur dan melihat kaki para babunya berada di atas meja dengan santainya.

Mereka berlima sontak menyengir sambil menurunkan kakinya dan kembali fokus ke aktivitas masing-masing. Rasen sendiri menuju kamarnya untuk menonton drama di laptopnya.

Suasana sedikit tenang, karena sisanya dipenuhi umpatan-umpatan yang keluar dari mulut Jaival dan Hiran, serta suara tangis dari sinetron yang ditonton.

"Abang..."

Kelimanya menengok pada Jayen yang kembali muncul dihadapan mereka. Namun kini, wajahnya terlihat sangat lelah dan matanya merah berair.

"Kenapa?" Saking paniknya, Maven menginjak kaki Nartha saat ingin menghampiri Jayen. Bahkan ia menghiraukan ringisan Nartha.

"Kepala Jayen pusing... Tolong, kerjain tugasnya Jayen."

Memang mereka itu ngga pernah serius dari awal mereka bertujuh bertemu.

Eh, bagaimana memang awal mereka bertemu?

Tentu semuanya berawal dari kos-kosan kecil milik Pak Sumanto itu. Yup, mereka bertujuh anak rantauan dari berbagai asal kota yang ingin hidup mandiri di Jakarta dan jauh dari keluarga. Eh?

Dimana-mana kalau baru pertama kali bertemu pasti canggung dan malu. Tapi tidak untuk Maven, Rasen, Jaival, Hiran, Nartha, dan Chandra. Mereka berenam langsung beradaptasi diri dan malu-maluin sendiri. Ya, namanya juga cowok, pasti langsung akrab.

Terus Jayendra? Bocah itu datang terakhir sebelum akhirnya Pak Sumanto tidak menerima anak kos lagi padahal ada 4 kamar yang masih kosong sampai sekarang dijadikan ruangan khususㅡ seperti penyimpanan barang-barang mereka dan beberapa barang milik Pak Sumanto, tempat khusus untuk Maven dan Rasen; melukis dan mengerjakan pekerjaan masing-masing. Dua tempat lain masih dijadikan kamar. Satu untuk tamu yang ingin menginap atau untuk pelarian Pak Sumanto gegara di marahi sang istri.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang