ㅡ 28. Anchored Souls.

109 29 28
                                    

Malam itu, suara mobil terdengar di luar kos. Semua langsung menoleh dan menunggu dengan penasaran. Pintu terbuka dan menampilkan Maven serta Rasen masuk sambil tersenyum lebar, langsung disambut sorakan dari semua penghuni kos.

"Kiw abangg!" seru Hiran sambil menyoraki, membuat yang lain ikut tertawa.

Baru saja mendudukkan diri, Jayen sudah berdiri didepan keduanya dengan mengadahkan tangannya. Maven dan Rasen mengernyit heran.

"Ih! Katanya janji!" ucap Jayen sedikit kesal. Rasen langsung membulatkan mulutnya dan mengambil sesuatu di dalam tas besarnyaㅡ Gulali serta beberapa cemilan. Jayen langsung tersenyum lebar dan mengambil semuanya lalu kembali duduk.

"Njirlah, kirain minta peluk. Ternyata..." Maven menggeleng kecil sambil berdecak.

"Abang kagak kangen kita, kah?" tanya Chandra sambil menyuri secuil gulali milik Jayen tanpa diketahui pemiliknya.

"Ya.. kangen nggak kangen, sih. Kalau nggak kangen, pasti lo pada kebanyakan drama kayak kemarin."

Nartha tertawa sambil menggeleng. “Bang Maven sama Bang Rasen kayaknya hobi banget ya bikin kita semua panik.”

Maven hanya tersenyum kecil. “Kalau nggak ada, nggak seru, dong.”

Jayen langsung nyelutuk, “Apaan yang seru? Kemarin kita deg-degan parah ya, bang! Kek lagi meranin film thriller, tau nggak?”

Maven tertawa kecil, lalu menyahut sambil bercanda, “Wah, wah, wah. Udah, yang penting sekarang gue sama Rasen baik-baik aja 'kan? Udah didepan kalian persis juga nih.”

Hiran menepuk pundak Maven. “Lain kali jangan bikin deg-degan lagi, ya, bang. Kalau sampe nggak ada kabar, gue yang nyamperin langsung ke rumah lo terus jadiin lo dedek ayam!”

"Serius, tega bener lo, Ran. Sumpil!"

Rasen hanya tertawa, lalu mengeluarkan pertanyaan serius meskipun nadanya tetap santai. “Oh iya, selama nggak ada kita, ada masalah nggak disini?”

Jaival mengangkat tangan dengan ekspresi pura-pura serius. “Ada! Kami kekurangan bahan buat bercanda! Nggak ada lo dua njir, nggak rame nih kos.”

Chandra ikut menimpali. “Iya, bang. Kurang pemain buat dijadikan bahan roasting-an!”

"Kurang ajar!" Rasen melempar bantal sofa kearah Chandra, sayangnya Chandra menghindar yang akhirnya mengenai wajah tampan Hiran. "Ehehe, sorry."

Maven mengangkat alis sambil tertawa. “Jangan-jangan dua hari ini kalian jadi anak baik dan kalem?”

Hiran nyengir lebar. “Gue mah tetap anak baik dan kalem, bang! Tapi anak-anak lain pada galau mulu karena mikirin dua kakak favoritnya nggak ada.”

Nartha yang sedang sibuk nyuri cemilan Jayen langsung menatap Hiran dengan sinis. "Baik dan kalem darimana-nya, anjir? Mata kaki?" batinnya.

Jayen tertawa, tapi kemudian menggeleng. “Udah, bang. Jangan terlalu pede dulu, ntar kita jadi keterlaluan kalau sering-sering bercandain kalian.”

Maven mengangkat tangan, seolah menyerah. “Waduh, baru balik aja udah dikeroyok begini. Ngeri banget anak buahnya Hiran.”

"Bang? Ang ang ang, banget lo! Ngaca! Lo juga anak buahnya!" imbuh Rasen dengan memukul pelan kepala Maven bagian belakang. “Serius gue nih. Kalau ada masalah, kita bisa bahas sama-sama, 'kan?”

Chandra langsung berkata, “Tenang aja, Bang. Kalau ada masalah besar, kita pasti langsung ngasih tau kok.”

Mereka semua mengangguk sambil tersenyum, merasa lega karena akhirnya bisa berkumpul lagi. Meskipun sering bercanda, mereka tau di balik semua tawa ada perasaan saling peduli yang tak terucapkan.

“Eh, abang… gimana keadaan Om Malik sekarang?” tanya Nartha sambil merangkul Maven.

Maven sejenak terdiam, seolah berusaha memilih kata-kata yang tepat agar bisa dipahami. “Papa udah mulai stabil tapi belum bisa dibilang sehat banget juga. Jadi kayaknya gue bakalan sering pulang kalau libur. Kalian nggak keberatan 'kan?”

Hiran menatapnya dengan penuh simpati. “Sama sekali tidak keberatan, bang. Semoga kondisi Om Malik cepat membaik, bang. Lo nggak sendirian kok, kita selalu disini kalau lo butuh cerita.”

Maven tersenyum kecil. “Iya... makasih.”

"Kalau bang Rasen? Are you okay?"

Suasana kembali diam sejenak sebelum Rasen menarik napas dalam dan mengeluarkan suaranya. “Pulang-pulang, bukannya disambut drngan hangat malah kena semprot sama nyokap. Anjirlah,” katanya sambil menggaruk kepala dengan ekspresi pasrah.

Chandra tertawa kecil. Ekspresi Rasen lucu, menurutnya, “Emangnya kenapa? Kerjaan lagi?”

“Iya... katanya gue ini kurang serius di kerjaan. Padahal gue udah ngasih yang terbaik, tapi mungkin menurut nyokap… masih kurang kali ya.” Rasen tertawa kecil, tapi semua bisa merasakan nada getir di balik tawa itu.

Nartha menatapnya penuh pengertian. “Mungkin nyokap lo cuma khawatir dan pengen yang terbaik buat lo. Tapi kita tau kok kalau lo udah ngasih yang maksimal, bang.”

Rasen mengangguk pelan. “Iya, gue ngerti. Cuma kadang beban itu rasanya berat kalau ditambah ekspektasi dari keluarga.”

"Sabarin aja lah, kalau stok lo dah abis. Minta ke gue aja," ucap Jaival dengan menepuk dadanya. Rasen hanya tertawa kecil.

Hening sejenak. Lalu Jayen, yang daritadi diam dengan ekspresi ragu, akhirnya angkat suara. “Emm, bang… gue tadi di chat Mama.”

Yang lain langsung menoleh, menunggu kelanjutan ucapannya. Jayen melanjutkan dengan suara pelan, “Katanya, dia sama Papa mau kesini...”

Ekspresi Jayen terlihat bingung dan agak gelisah. Dia melanjutkan, “Anehnya… gue nggak tau kapan tepatnya mereka datang. Mereka juga nggak kasih alasan kenapa tiba-tiba mau datang. Pokoknya aneh, lah! Kalian juga tau sendiri kalau mereka bakal kesini untuk pertama kalinya, 'kan?”

Suasana di ruang tengah berubah semakin serius. Jaival dan Hiran saling pandang, tampaknya teringat akan percakapan mereka beberapa malam yang lalu tentang Jayen. "Siap-siap?"

Maven menepuk pundak Jayen, mencoba menenangkannya. “Mungkin… mereka cuma mau lihat kondisi lo, Yen. Khawatir kali, apalagi lo juga belum sembuh total 'kan.”

Jayen mengangguk, tapi raut wajahnya terlihat tetap cemas. “Gue harap begitu. Cuma… ya, ada perasaan nggak enak yang gue sendiri nggak bisa jelasin.”

Hiran tersenyum lembut, menatap Jayen dengan serius. Berusaha membuat Jayen berpikir positif walau dirinya juga tidak bisa berpikir positif, “Kalau mereka sampai datang, berarti mereka peduli, Yen. Mungkin ini kesempatan buat lo bicara sama mereka, ceritain semuanya yang lo rasain.”

Chandra menimpali dengan nada tegas. “Yen, kalau butuh dukungan, kita semua disini buat lo. Lo nggak sendirian, jadi jangan takut, ya?”

Jayen tersenyum, meskipun tipis. “Iya, gue bersyukur banget punya kalian disini. Gue cuma berharap kunjungan mereka nanti nggak ada masalah besar di baliknya.”

"Ya, semoga tidak terjadi apa-apa..."

Mereka semua terdiam, membiarkan kehangatan persahabatan mengalir di antara mereka. Di balik canda dan tawa, mereka tau bahwa masing-masing dari mereka membawa beban yang tak terlihat.

Namun dengan kebersamaan, setiap kekhawatiran terasa lebih ringan, seakan mereka siap menghadapi apapun yang datang dengan saling mendukung.

bimantara.
chapter 28; to be continued.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang