ㅡ 21. The Space Between Us.

154 37 36
                                    

Pagi ini sangat cerah, begitupula suasana kos kembali ramai dengan suara tawa dan percakapan riuh. Chandra, yang 2 minggu lalu terkesan canggung dan pendiam, kini mulai berbaur kembali. Anak lain senang tapi juga bingung.

"Abang, abang! Gue ada pertanyaan, nih. Raja-raja apa yang imut?" tanya Chandra di sela-sela menguyah ayam gorengnya.

Semua langsung berpikir, bahkan Nartha sampai memegang keningnya, berusaha berpikir keras.

"Apasih anjir?! Kagak tau gue!" ucap Rasen kesal. Ya, siapa yang nggak kesal kalau lagi santai-santainya makan, malah disuruh mikir yang begituan.

Chandra menahan tawanya, seperti berpikir kalau candaannya ini sangatlah lucu, "Nyerah? Nyerah?"

"Iya!"

"Sini liat muka gue." Semua mendekatkan wajahnya dan menatap Chandra serius.

"Jawabannya.. Raja Firaunchh!" jawabnya dengan kedua tangan menangkup kedua pipinya, bertingkah imut. Sedetiknya Chandra tertawa terbahak-bahak saat melihat wajah masam dari anak lain.

"Firaunchh! Anjing, merinding," ucap Jaival sambil mengusap kedua lengannya.

"Anjir! Nyesel gue! Nyesel!" imbuh Rasen dengan kedua tangan mengusap telinganya. Berusaha menghilangkan lawakan Chandra yang terdengar sangat... menjijikan.

Tapi setelahnya semuanya tertawa terbahak-bahak tanpa henti, sampai-sampai Maven tersedak nasinya.

"Lo pagi-pagi udah absurd lagi aja, Chan. Lo nggak mau kek gini lagi?" tanya Hiran sambil bersiap melanjutkan perkataannya, "Tau bacot nggak? Itu kalian."

Chandra menyengir mendengar lanjutannya yang bisa dibilang menyibirnya, "Ya, maaf. Gue lagi gila pas itu. Please, gausah ungkit-ungkit lagi! Gue malu, anjir."

"Makan tuh malu!"

Suasana meja makan jadi ramai lagi dengan tawa mereka. Semua terlihat lebih santai, namun ada yang memperhatikan Chandra dengan sorot mata bingung- dua orang yang tertua di kos itu. Maven dan Rasen saling bertukar pandang.

Maven mencondongkan tubuh ke arah Rasen dan berbisik, "Aneh banget. Kemarin diem cuek bebek, sekarang berisik lagi kayak Pak Tian."

Rasen mengangguk pelan sambil tetap memandang kearah Chandra, "Iya, gue juga ngerasa aneh. Tapi mungkin dia udah baikan suasana hatinya? Atau... dia cuma mau nutupin sesuatu?"

Maven menghela napas, "Entahlah. Yang jelas, gue ngerasa ada yang dia sembunyiin."

Jayen yang duduk di samping Maven hanya tersenyum tipis. Sejak Chandra kembali berbaur, Jayen belum banyak bicara dengannya. Entah kenapa dirinya canggung, padahal ia merasa tidak ada satupun masalah dengan Chandra.

Jayen juga merasa ada sesuatu yang belum selesai antara mereka. Padahal tidak ada apa-apa.

bimantara.

Sepulang kuliah, Chandra langsung mengurung diri di kamarnya. Kepalanya bersandar di dinding, pandangannya kosong menatap langit-langit.

Ia tau bahwa meski ia terlihat kembali seperti biasa, perasaan cemburu dan sedih yang selama ini menghantui belum sepenuhnya pergi.

Ia juga tau dan sadar bahwa dirinya sangatlah egois. Lebih mementingkan perasaan sendiri daripada Jayen yang lebih membutuhkan pemulihan fisik dan mental pasca kecelakaan itu.

Ah, Chandra jadi merasa sangat bersalah pada Jayen dan lainnya. Harusnya ia tidak kekanak-kanakan.

Setelah beberapa saat termenung, Chandra memutuskan keluar mencari udara segar karena bosan. Kakinya melangkah ke teras dan menemukan Jayen yang sedang duduk sendirian, ditemani secangkir teh hangat dan camilan. Anak itu sedang menatap kosong kearah langit, terlihat tenggelam dalam pikirannya sendiri.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang