ㅡ 29. (Never) Goodbye.

194 28 39
                                    

Sore itu, kampus terasa ramai seperti biasanya. Hiran dan temannyaㅡ Lia berjalan berdampingan menuju gedung fakultas, melewati kerumunan mahasiswa yang berbincang dan bercanda di sekitar mereka. Namun, suasana hati keduanya sedang tak selaras dengan keceriaan di sekitar mereka.

Hiran menghentikan langkah di depan papan pengumuman kampus, menatap deretan nama-nama mahasiswa berprestasi bulan ini yang dipajang di sana. Tatapan matanya kosong, mencari namanya yang tidak ia temukan.

“Kok lo nggak masuk, sih?” tanya Lia dengan dahi mengernyit.

Hiran tertawa pelan, lalu menghela napas. “Setiap kali gue nyoba buktiin, tetep aja nggak dihargai.”

Lia menepuk pundak Hiran, mencoba memberinya semangat. “Lo harus tetap percaya diri. Gausah dengerin orang sekitar. Yang penting, lo suka sama musik. Itulah yang lebih berharga.”

Hiran mengangguk pelan, merasa sedikit terhibur. “Thanks, Li. Kadang gue butuh diingetin, sih. Lo tau 'kan, perasaan kayak gini bikin semangat gue anjlok?”

Lia mengangguk, matanya berbinar. “Gue ngerti. Kita semua pernah ngerasain kayak gitu. Tapi, jangan sampe kehilangan semangat. Kita harus berjuang. Gue bakal terus ada disamping lo.”

"Iya, makasih, Li."

Mereka berdua melanjutkan langkah, namun saat di persimpangan menuju kantin, Lia berhenti, “Gue mau ke kantin duluan. Nggak apa-apa, 'kan?”

Hiran mengangguk sambil tersenyum, walau hatinya agak terpaksa karena ia butuh teman sekarang. “Aman, gue masih bisa survive.”

“Oke deh. Kalau butuh gue, just calling me,” kata Lia, gadis itu menatap Hiran dalam-dalam seolah ingin menguatkan.

Hiran tersenyum tipis, merasa bersyukur memiliki teman seperti Lia. “Iya, cantik.”

"Dih!"

Setelah Lia pergi, Hiran kembali melangkah menuju kelasnya. Suasana hatinya tak kunjung membaik, seolah beban di pundaknya semakin berat. Ia merasa terasing di tengah keramaian, bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir.

Sementara itu, di gedung fakultas yang lain, Chandra baru saja menyelesaikan satu kelasnya. Ia berjalan menuju kantin dengan langkah malas, memikirkan tumpukan tugas yang harus ia selesaikan. Saat hendak merogoh saku untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba layar ponselnya menyala, menampilkan nama "Mami."

Chandra menatap layar ponsel itu dengan ragu, wajahnya tampak dilema. Ia menatap ponselnya yang terus berdering, namun akhirnya Chandra hanya menghela napas dan menekan tombol untuk mengabaikan panggilan tersebut.

“Maaf, Mi… Chandra belum siap buat jawab apa-apa sekarang,” gumamnya pelan sambil menyimpan kembali ponselnya. Pikirannya seketika dipenuhi dengan perasaan bersalah dan keraguan. Ia tahu Ibunya mungkin ingin berbicara soal dirinya yang akan melanjutkan bisnis Ayahnya, tapi Chandra merasa belum siap menghadapi pembicaraan tersebut.

Ketika Chandra melangkah ke kantin, pikirannya masih melayang pada kata-kata ibunya yang selalu menuntutnya untuk berprestasi lebih baik agar tidak mempermalukan nama baik keluarga. Seakan tak ada akhir bagi harapan-harapan yang diletakkan di pundaknya.

“Kenapa ya, setiap kali udah berusaha, rasanya selalu aja kurang?” Ia bergumam pada dirinya sendiri.

bimantara.

Jam menunjukkan pukul 7 malam, Jayen sedang dalam perjalanan pulang. Angin malam yang sejuk sedikit membantu menenangkan pikirannya setelah seharian menjalani perkuliahan.

Namun, saat ia sampai di depan kos, matanya tertuju pada sebuah mobil yang tampak asing terparkir di halaman depan. Jayen mengernyit, berusaha mengingat apakah pernah melihat mobil itu sebelumnya. Tapi ia yakin, mobil tersebut bukan milik salah satu temannya di kos. Nggak ada yang punya atau pernah membawa mobil ke kosan.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang