Malam semakin larut di rumah sakit, suara monitor dan mesin-mesin yang terus berdetak menemani keheningan di kamar tempat Jayen terbaring. Rasen duduk di kursi dekat tempat tidur Jayen, menatap adiknya dengan pandangan yang berat. Hari ini adalah gilirannya menjaga, tapi rasanya semakin sulit untuk melihat Jayen masih tidak menunjukkan tanda-tanda membaik.
Dia masih tidak sadar dengan Chandra yang terlihat sangat lelap dalam tidurnya.
"Jayen, lo harus bangun... kita semua nungguin lo," bisiknya, suaranya serak dan penuh dengan harapan. "Lo yang paling bisa nyatuin kita semua."
Rasen menggenggam tangan Jayen dengan erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya. Sering kali ia menyesali banyak hal-hal-hal kecil yang dulu dianggap sepele, seperti mengabaikan permintaan Jayen untuk sekadar ngobrol atau main game bersama.
"Maaf ya, gue sering sibuk sama kerjaan. Harusnya gue lebih sering ngabisin waktu sama lo," Rasen melanjutkan, matanya terlihat berkaca-kaca. "Lo tau nggak? Hiran sama Nartha sekarang kayak anjing sama kucing. Mereka nggak berhenti nyalahin diri sendiri, padahal kita semua salah."
Rasen menghela napas panjang, merasakan kelelahan yang tak hanya fisik tapi juga mental. Dia melirik jam di dinding, jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi, waktu yang biasanya ia habiskan di depan layar komputer menyelesaikan desain untuk klien atau perusahaan. Namun, malam ini semua itu tidak penting. Yang ada di pikirannya hanya Jayen dan bagaimana keadaannya.
Tapi... entah mengapa Rasen merasa aneh.
"Chandra?"
bimantara.
Di tempat lain, suasana kosan masih sama tegangnya. Hiran dan Nartha sama-sama tak bisa tidur, masing-masing terjebak dalam rasa bersalah yang tak kunjung reda. Mereka berdua duduk di ruang tamu, tidak saling berbicara, hanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Kita terlalu keras kepala."
Hiran yang duduk di seberang Nartha hanya menghela napas, menunduk. Tak berniat membalas celetukan Nartha.
Hening menyelimuti ruangan, hanya suara angin dari kipas angin yang berputar perlahan. Mereka berdua tau, tidak ada yang bisa mengubah kejadian itu. Tidak ada yang bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua kesalahan yang mereka buat. Tapi rasa bersalah itu terus menghantui mereka, menekan dada mereka dengan beban yang tak tertahankan.
"Lo tau?" Nartha memecah kesunyian lagi. "Setiap kali gue mau tidur, mimpi buruk yang muncul selalu tentang Jayen."
Hiran mengangguk, memahami apa yang dirasakan Nartha. "Gue juga, Na. Gue juga."
Mereka kembali terdiam, namun kali ini keheningan itu terasa sedikit berbeda. Meski masih terjebak dalam penyesalan, setidaknya mereka berdua saling mengerti bahwa rasa bersalah itu tidak hanya dirasakan oleh satu pihak. Mereka semua menderita, dan satu-satunya cara untuk melangkah maju adalah dengan memaafkan diri sendiri.
Suara langkah terburu-buru membuat Hiran dan Nartha terkejut. Ada Maven dan Jaival dengan muka bantal terlihat berjalan cepat keluar kos.
"Bang? Kemana?"
Langkah Maven dan Jaival berhenti lalu menoleh. Mereka lupa kalau ada Hiran dan Nartha.
"Chandra pingsan, badannya panas banget."
bimantara.
Pagi mulai menyingsing. Cahaya matahari perlahan masuk melalui jendela, menyinari wajah Jayen yang masih terbaring. Rasen yang semalaman menjaga akhirnya tertidur di kursi, namun tidur yang tidak nyenyak. Setiap beberapa menit, ia terbangun, memeriksa keadaan Jayen, berharap akan ada perubahan dan Chandra yang sudah dipindah ke kasur sebelah Jayen.
KAMU SEDANG MEMBACA
[i] bimantara [SEGERA TERBIT]
Teen Fiction[ END; friendship, comedy ] NCT'Universe : 01【 위대한 영혼 】. 🎬 ft. NCT Dream. ── ❝ Dari awal tujuh, selamanya juga harus tujuh. Nggak boleh kurang atau nambah!❞ ✧ . . . 7 Pemuda dengan latar belakang yang berbeda tinggal bersama di salah satu kos-ko...