ㅡ O9. When Words Go Unsaid.

225 64 11
                                    

Minggu pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya di kosan, bahkan sampai para tetangga keheranan. Meja makan yang biasanya menjadi pusat keributan setelah sarapan kini hanya diisi oleh suara-suara kecil; denting sendok beradu dengan piring, dan sesekali bunyi ketukan jemari di atas keyboard.

Mereka semua ada di sana, duduk bersama seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Atmosfernya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara-- tak terucapkan.

Maven duduk dengan laptop di depannya, ekspresi wajahnya sangat serius. Ia sudah terlalu larut dalam proposal kampanye marketing yang harus segera ia selesaikan. Pekerjaannya sebagai tim marketing di perusahaan besar semakin hari semakin menumpuk. Beban tanggung jawab itu selalu mengejarnya, bahkan di luar jam kerja. Belum lagi masalah keluarganya— mereka sangat kekurangan secara finansial. Maven tak punya pilihan selain bekerja keras dan mengirim sebagian besar gajinya untuk membantu orang tuanya di rumah. Kadang, ia ingin berbagi keluhan itu dengan teman-temannya di kosan. Tapi ia tak mau menambah beban mereka. Jadi ia memilih untuk diam, menyembunyikan tekanan yang ia rasakan di balik senyum tipis yang jarang muncul akhir-akhir ini.

Ada Rasen yang duduk di sebelahnya, wajahnya terfokus pada sketsa desain di tablet yang selalu dia bawa ke mana-mana. Sebagai desainer di perusahaan besar, tanggung jawab yang diberikan padanya bukan main besarnya. Tekanan dari orang tuanya semakin hari semakin menyiksa. Mereka selalu mengingatkannya untuk bekerja lebih keras, untuk tidak lengah, dan untuk terus mengejar karir cemerlang di masa depan. Rasen tau orang tuanya hanya ingin anaknya menjadi yang terbaik, tapi terkadang tuntutan itu terasa terlalu berat untuknya. Setiap saat, ia merasa terjebak antara harapan orang tuanya dan keinginannya sendiri untuk hidup lebih santai dan lebih bebas. Namun, siapa yang bisa ia curhatkan? Teman-temannya tampak terlalu sibuk dengan hidup mereka masing-masing.

Di sisi lain meja, Jaival duduk santai namun tangannya sesekali memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Shift kerjanya di kafe kian tak menentu, belum lagi komplain dari pelanggan yang tak puas membuatnya pusing tujuh keliling. Ia sangat lelah, baik secara fisik maupun mental. Menjadi barista sekaligus pelayan bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi dengan tekanan dari atasannya yang menuntut pelayanan sempurna setiap saat. Setiap kali ada masalah yang berhubungan dengan rasa kopi atau pelanggan, pasti Jaival yang selalu disalahkan. Kadang-kadang, dirinya ingin berhenti dan mencari pengalaman lain. Tapi Jaival tau, pekerjaan ini adalah pilihan terbaik yang dirinya punya untuk saat ini. Teman-temannya mungkin tak tahu betapa berat bebannya, karena Jaival jarang sekali mencurahkan isi hatinya. Sama seperti yang lain, Jaival memilih untuk menyimpan semua masalahnya sendiri.

Biasanya, Hiran akan melontarkan candaan untuk menghilangkan suasana canggung seperti ini. Tapi kali ini, bahkan ia tak tahu harus berkata apa. Pemuda itu menatap kosong ke arah ponselnya, jiwanya entah sedang kemana. Orang tuanya sudah beberapa kali memintanya untuk berhenti kuliah, mengatakan bahwa bakatnya dalam musik tak akan membawanya ke mana-mana dan masa depan Hiran akan suram. Mereka bahkan meremehkannya, menyuruhnya untuk memilih jalur karier yang lebih ‘nyata’. Bagi Hiran, musik adalah segalanya. Namun, keraguan orang tuanya perlahan-lahan mulai meresap ke dalam pikirannya, membuatnya mempertanyakan semua pilihannya.

Nartha duduk di samping Haechan, menatap secangkir kopi di depannya. Namun, jiwanya juga sedang kemana-mana. Teman-teman masa sekolahnya mengejeknya habis-habisan karena mengambil jurusan DKV itu adalah pilihan yang bodoh dan tak punya masa depan. Memang Nartha awalnya tak peduli. Dia sangat mencintai hobinya ini. Tapi semakin lama, ejekan itu mulai mengganggunya. Nartha mulai mempertanyakan pada diri sendiri, apakah pilihannya benar, apakah ia hanya membuang-buang waktu. Nartha ingin berbicara soal ini dengan anak lain yang mungkin bisa memahaminya. Tapi belakangan, mereka jarang benar-benar bicara dari hati ke hati.

Di tengah keduanya ada Chandra yang sedang mengaduk-ngaduk tehnya tanpa berniat meminumnya. Chandra sebenarnya tidak menyukai jurusan manajemen bisnis yang ia ambil. Jauh di lubuk hatinya, dia ingin seperti Hiran— berkuliah di jurusan musik, mengikuti passion-nya. Tapi tekanan dari orang tuanya tak memberinya banyak pilihan. Mereka ingin anaknya sukses di dunia bisnis yang Chandra kuasai tapi tak pernah benar-benar ia cintai. Kadang-kadang, ia merasa iri pada Hiran yang berani memilih jalannya sendiri, meskipun orang tuanya meremehkan. Namun, Chandra tak pernah berbicara soal ini pada siapa pun. Itu hanya akan membuat situasinya semakin rumit.

Jayen, yang duduk paling jauh, mengetik dengan cepat di laptopnya. Tugas coding itu cukup membuat kepalanya hampir meledak. Sama seperti Chandra, Jayen itu sebenarnya tak terlalu suka dengan jurusannya. Hitung-hitungan selalu menjadi musuh utamanya sejak dulu. Tapi lagi-lagi, ini adalah tuntutan dari keluarganya. Orang tua Jayen selalu meremehkannya, mengatakan bahwa ia tak cukup pintar untuk berhasil di bidang apapun. Itu membuatnya semakin tertekan dan tidak percaya diri. Jayen merasa tak cocok disini, di antara teman-temannya yang tampak jauh lebih dewasa dan punya tujuan hidup. Jayen merasa tertinggal, seperti beban yang tak diinginkan. Tapi Jayen tak pernah berbicara soal ini. Mungkin karena dia merasa tak ada yang bisa mengerti.

Suasana di meja makan terasa semakin berat. Mereka semua ada di sana, duduk bersama, tapi masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Tidak ada yang mengatakan apa yang sebenarnya mereka rasakan, dan jarak di antara mereka semakin terasa.

Hari demi hari, kesibukan masing-masing membuat mereka saling menjauh. Setiap orang menyimpan masalahnya sendiri, takut untuk membuka diri, takut membebani yang lain.

Dan dalam keheningan itulah, perlahan-lahan, mereka mulai menjauhkan diri.

bimantara.
chapter O9; to be continued.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang