ㅡ 24. Hold the Promise.

109 32 30
                                    

Jayen duduk di sofa ruang tengah, pandangannya tak lepas dari Maven dan Rasen yang sedang sibuk mengemas barang-barang untuk perjalanan esok pagi. Ada sesuatu di tatapan Jayen yang membuat suasana jadi semakin berat— seakan ia takut kedua sahabatnya itu benar-benar akan pergi jauh dan tidak pernah kembali lagi.

"Terus nanti Jayen sama siapa?" Jayen bertanya dengan suara kecil, wajahnya mulai memerah, dan air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

Maven berhenti melipat pakaiannya sejenak, menatap Jayen dengan pandangan penuh simpati. Rasen pun tampak berhenti sejenak, menyadari betapa dalamnya perasaan Jayen terhadap mereka.

“Yen, tenang, kita cuma sebentar kok, nggak lama-lama. Begitu urusan selesai, kita langsung pulang,” ujar Maven, mencoba menenangkan dengan senyum hangat.

Namun, Jayen masih belum puas dengan jawaban itu. Tatapan polosnya tetap terfokus pada Maven dan Rasen, seolah memohon agar mereka mengurungkan niatnya untuk pergi.

Oke, biarkan Jayen egois sebentar saja.

Sementara itu, Jaival yang duduk di sudut ruang tengah memperhatikan mereka sambil berusaha menahan senyum. Namun, ia ikut merasa prihatin melihat Jayen yang begitu takut ditinggalkan.

"Heh, tuyul! Lo nggak nganggep gue, Hiran, Nartha, sama Chandra?!” Jaival menyela dengan nada agak protes, berpura-pura kesal untuk menghibur Jayen.

Jayen tidak mengindahkan komentar Jaival dan tetap menatap Maven dan Rasen penuh harap. Sadar bahwa mereka tak bisa membiarkan Jayen sedih lebih lama, Maven menghela napas, lalu mendekati Jayen dan menepuk bahunya lembut.

“Nih ya, Yen. Kita cuma bakal pergi dua hari doang, dan sore atau malamnya kita udah balik. Jadi lo nggak perlu khawatir,” ujar Maven dengan nada penuh keyakinan.

Rasen ikut menimpali, “Nah, begitu balik, kita bakal bawain permen kapas sama camilan favorit lo.”

Mendengar janji itu, wajah Jayen sedikit lebih cerah. Ia tersenyum kecil sambil menyeka air mata yang hampir jatuh. “Beneran? Abang nggak bakal lupa, 'kan?” tanyanya dengan nada sedikit manja.

“Nggak bakal, Yen. Gue bakal beliin permen kapas paling gede yang ada di toko, janji!” jawab Maven sambil mengangguk mantap.

Jaival yang sedari tadi memperhatikan mereka, akhirnya mendekat dan menepuk bahu Jayen. “Duh, lo tuh kek anak kecil banget, Yen. Tapi emang masih kecil, sih...” cibirnya, sambil menahan tawa. “Lo nggak usah takut sendirian. Gue 'kan masih ada buat lo. Ada Hiran, Nartha, sama Chandra juga.”

Jayen mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega. Senyum kecil kembali menghiasi wajahnya. Maven, Rasen, dan Jaival tersenyum lega melihat Jayen akhirnya bisa tenang.

"Janji ya, jangan lama-lama. Hari Kamis harus udah di kos!" Jayen memperingatkan sekali lagi, memastikan kalau janji mereka bukan sekadar omongan belaka.

"Janji, Jayen," jawab Maven dan Rasen bersamaan, kemudian mereka melanjutkan mengemas barang-barang mereka. Sedangkan Jaival dan Jayen bermain kartu boboiboy milik Chandra.

bimantara.

Sore itu, suasana kos mulai tenang. Jayen, Jaival, Maven, dan Rasen menikmati waktu bersama sambil menonton acara TV. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00. Biasanya, Hiran, Nartha, dan Chandra akan pulang kuliah sekitar jam 10 malam, jadi mereka masih punya waktu untuk mengobrol dan bercanda.

“Eh,  lo berdua udah minta izin cuti ke manajer, kan? Jangan sampai pas balik lo berdua kena masalah sama manajer gara-gara nggak masuk kerja,” tanya Jaival sambil memainkan remote TV.

Maven tertawa kecil, “Udah, tenang aja. Gue sama Rasen udah bilang tadi sebelum pulang. Kalau cuma beberapa hari, mereka masih ngizinin kok.”

“Yoi, lagian kerjaan kita udah beres semua sebelum pulang tadi. Manajer ggak bakal bisa komplain deh, percaya sama gue,” timpal Rasen dengan percaya diri.

Jayen hanya mendengarkan dengan wajah lega, meskipun ia masih terlihat sedikit sedih. Tawa dan canda yang kembali hadir membuat suasana kos malam itu terasa hangat, meski mereka tau bahwa Maven dan Rasen akan pergi esok hari.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul 22:14, suara langkah kaki terdengar mendekati pintu kos. Pintu pun terbuka dan terlihat Hiran, Nartha, serta Chandra yang baru tiba, wajah mereka tampak lelah namun masih sempat menyapa mereka.

“Eh, rame juga nih pada ngumpul di ruang tengah! Kenapa? Mau perpisahan, ya?” tanya Hiran sambil tertawa.

Maven tersenyum, “Iya, nih. Sekalian bikin Jayen tenang sebelum gue tinggal selama-lamanya.”

"Abang!" Bukan Jayen yang menegur, tapi Rasen, tangannya memukul bibir Maven dengan tanpa beban.

Ketiganya mendekati, dengan wajah yang persis dengan wajah Jayen. Seperti tak ingin kedua pilar mereka pergi sementara. Jaival juga sebenarnya nggak ikhlas, tapi bagaimana lagi? Keluarga asli mereka lebih penting, daripada mereka yang bukan siapa-siapa selain menjadi sahabat.

Sekali lagi. Biarkan mereka egois, sebentar saja.

“Yah... sepi dong nggak ada yang teriak-teriak dua hari kedepan,” ucap Chandra dengan lesu. Namun perkataannya membuat Rasen mendelik kearahnya, dia sadar diri, ges.

“Dua hari doang, elah. Ntar gue telefon permenit deh,” sahut Maven sambil nyengir. Tapi yang ia dapatkan hanya wajah datar para adiknya.

"Gue block lo, lah," kata Hiran yang sedetiknya mendapatkan lemparan bantal ke wajah tampannya.

Jayen mendekatkan diri dan berucap, “Nanti mereka bakal balik bawa permen kapas sama camilan buat gue, yey!” Ucapannya disertai senyum polos yang membuat yang lain tertawa gemas.

“Lo kek anak kecil aja, Yen,” balas Nartha sambil mengacak rambut Jayen.

Jaival menambahkan, “Sebahagia-nya Jayen aja lah. Dia kan jadi nggak murung kalau ada yang janji bawain makanan.”

Chandra tertawa kecil dan mengapit hidung mancung Jayen dengan gemas, “Kita semua emang harus ngasih perhatian lebih ke bayi ini.”

"Gue udah dewasa, abanggg!" Keenamnya tertawa sedangkan Jayen mengusap hidungnya yang merah.

Meski mereka tau Jayen bersikap sedikit manja, namun itulah yang membuat mereka semua merasa ingin selalu menjaganya. Setelah cukup lama mengobrol, merekapun memutuskan untuk tidur agar bisa bangun pagi dan mengantarkan Maven serta Rasen esok harinya.

Ah, kecuali Jaival dan Hiran tentunya. Seperti biasa, mereka berdua melakukan ritual ghibah di ruang tengah dengan penerangan yang remang-remang.

"Jadi, gimana sekarang kabarnya?"

"Kemarin gue sempet nemuin sepupunya, tapi katanya dia nggak tau mereka ada kemana, mereka pergi setelah jengukin Jayen." Hiran mendengus pelan dan mengusap wajahnya frustasi.

Jaival mengernyit, ia merasa ada sesuatu yang salah, "Kok bisa? Mereka mau nelantarin Jayen apa gimana?"

Hiran menggeleng pelan lalu menatap Jaival dengan serius, "Yang lebih aneh. Sepupu Jayen bilang kita harus siap."

Jaival menggigit kukunya, tatapannya berubah menjadi penuh waspada, "Siap? Maksudnya?"

bimantara.
chapter 24; to be continued.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang