ㅡ bimantara; epilog.

128 20 7
                                    

Dalam sepi yang menyelimuti kos itu, hanya terdengar suara detak jam yang mengingatkan pada waktu yang terus berlalu. Hiran, Nartha, dan Chandra kini masih menetap di tempat yang pernah menjadi saksi bisu tawa dan canda mereka. Namun, suasana itu kini terasa dingin dan hampa.

Walaupun ketiga sahabat (?) itu masih tinggal di satu atap, tetapi jarang sekali mereka berbicara. Kata-kata yang dulunya mengalir begitu mudah kini terasa sulit untuk diucapkan. Tiap kali mereka bertemu di ruang tengah, keheningan menjadi teman setia, mengisi ruang yang seharusnya penuh dengan cerita.

Hiran sering kali melamun, terjebak dalam kenangan-kenangan indah yang mengisi pikirannya. Dia teringat saat pertama kali mereka berkumpul, saat impian dan harapan melambung tinggi. Hiran yang penuh semangat itu kini hanya bisa mengingat senyum Jayen dan yang lain, seakan selalu hadir dalam setiap kisah mereka. Namun, kepergian mereka semua mengubah segalanya. Suasana kos yang dulunya ceria kini terasa menyesakkan, dan Hiran merindukan tawa mereka yang selalu mampu menghangatkan hati.

Nartha, yang selalu gila dan aneh, kini menghabiskan waktu lebih banyak di dalam kamarnya. Dinding-dindingnya dipenuhi foto-foto kebersamaan mereka, kenangan-kenangan yang dulu menjadi penghibur hati. Dia sering menatap foto-foto itu, merindukan momen-momen saat mereka berbagi tawa dan impian. Namun, setiap kali dia menatap foto-foto itu, rasa kehilangan semakin menyengat. Dia merasa seolah terjebak dalam masa lalu, sementara itu di kenyataan, dia sudah sendirian. Kesedihan menghimpitnya dan Nartha merasa sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan tanpa mereka di sisi-nya.

Chandra kini menjadi pendiam, berjuang melawan rasa sepinya. Dia berusaha tampil kuat di hadapan teman-temannya, tetapi di dalam hati, ia merasa hampa. Keberadaan sahabatnya lain yang tak lagi ada membuatnya merindukan kehangatan yang pernah mengisi kos itu. Dia seringkali menyendiri, merenung di sudut kamar, berusaha memahami perasaannya yang tak kunjung reda. Rindu itu terus membebani pikirannya, dan dia merasa terasing meski mereka berada di tempat yang sama.

Sementara itu, Maven, Rasen, dan Jaival telah kembali ke kampung halaman mereka masing-masing. Kehidupan membawa mereka jauh dari kos yang penuh kenangan itu. Mereka merasakan kesepian yang sangat mendalam setelah kepergian Jayen, tetapi kehidupan memaksa mereka untuk melanjutkan.

Maven mencoba menghibur dirinya dengan kesibukan pekerjaan dan tanggung jawab di kampung setelah resign dari pekerjaan lamanya, tetapi hati kecilnya selalu merindukan kehadiran keenam adik kecilnya.

Rasen berusaha menjalani kehidupannya sebagai desainer, namun ia bekerja sendiri. Menyalurkan karya-karyanya meski setiap karya yang ia buat selalu mengingatkannya pada saat-saat kenangan indah yang telah berlalu. Karya yang selalu ia buat adalah tentang perjalanan hidupnya bersama keenam sahabatnya.

Jaival kini membuka usaha sendiriㅡ warung makan dibantu oleh Ibu-nya. Ramai tiap harinya, namun hatinya masih terasa kosong, dia tidak memiliki sahabat lagi untuk diajak berbagi cerita seperti dulu.

Kehidupan terus berlanjut, tetapi persahabatan mereka yang dulu erat kini terasa rapuh. Hiran, Nartha, dan Chandra semakin jarang saling berbagi cerita, dan tawa yang pernah menghiasi kos itu kini hanya menjadi kenangan yang samar. Mereka hidup dengan rasa kehilangan yang mendalam, menyadari bahwa ruang yang dulunya dipenuhi cinta dan tawa kini menjadi hampa.

Di suatu malam yang sunyi, saat bintang-bintang bersinar di langit, ketiga sahabat itu duduk terpisah di ruang tengah, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri. Meskipun mereka bertiga berada dalam jarak yang dekat, ada ruang ketidakpahaman yang semakin melebar di antara mereka. Rindu pada yang lain menghimpit hati mereka, tetapi tak ada satupun yang berani mengungkapkan perasaan itu. Kesedihan yang membara terasa seperti kabut tebal yang sulit untuk dipecahkan.

Mereka bertiga saling memandang, tetapi tanpa kata, seolah ada sebuah penghalang tak kasat mata yang membuat mereka enggan untuk berbagi. Suara tawa yang dulu mengisi ruangan kini berganti dengan kesunyian yang menyakitkan. Hari-hari berlalu, dan ketiga sahabat itu terus menjalani kehidupan, tetapi mereka tahu, meskipun secara fisik masih bersama, ikatan yang mengikat mereka telah berubah selamanya.

Kos yang dulunya penuh kehangatan kini menjadi tempat tinggal bagi kenangan-kenangan yang terkurung dalam hampa. Masing-masing dari mereka menyimpan luka yang tak kunjung sembuh, dan meskipun mereka saling dekat, di dalam hati mereka, ada rasa asing yang sulit untuk diabaikan. Hari-hari berlalu, tetapi rasa kehilangan itu terus menghantui, meninggalkan bekas yang mendalam di jiwa mereka.

Dalam kesunyian itu, mereka menyadari bahwa hidup tidak selalu membawa kebahagiaan. Keberadaan satu sama lain kini hanya menyisakan kenangan, dan meskipun mereka bertujuh pernah menjadi satu kesatuan yang utuh, kini mereka hanyalah bayangan yang saling melintas, asing dalam dunia yang terus maju.





 Keberadaan satu sama lain kini hanya menyisakan kenangan, dan meskipun mereka bertujuh pernah menjadi satu kesatuan yang utuh, kini mereka hanyalah bayangan yang saling melintas, asing dalam dunia yang terus maju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


bimantara; epilog.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang