ㅡ 22. Work and Worries.

133 27 26
                                    

Pagi ini di awali dengan teriakan membahana yang dikeluarkan oleh Nartha. Dia teriak sangat keras sampai anak tetangga bangun. Sebab Nartha teriak karena ia dibangunkan secara brutal oleh Rasen, sungguh tidak berperike-Nartha-an sekali. Alasan Rasen membangunkan Nartha dengan cara itu karena Nartha tidak bangun-bangun, mereka akan sarapan, tapi karena satu dari mereka belum hadir, jadi ditahan sebentar laparnya. Hanya demi sarapan bersama, tujuh orang.

"Abang, gue bolehㅡ"

"Nggak!" Jayen melotot kecil dan berhenti menguyah membuat kedua pipinya mengembung. Kemudian ia menghela nafasnya. Sepertinya keenam abangnya sudah tau ia akan meminta izin apa.

"Gue udah sehat, bang! Terus juga gue udah izin sebulan! Yang bener aja lah!" ucap Jayen dengan menggebu-gebu.

Kini Maven yang menghela nafas, ia menaruh sendoknya dan menatap Jayen dengan serius, "Lo yakin berangkat kelas dengan keadaanㅡ Ah, orang-orang pasti pada ngira lo itu zombie. Luka-luka lo itu belum sepenuhnya kering dan hilang, jalan juga masih rada pincang. Dosen juga pasti bakal ngertiin lo, Yen. Yakali dosen maksa lo dateng kelas dengan kondisi belum bener-bener pulih. Fokusin dulu aja sama kesehatan lo, Yen. Materi sama tugas lupain dulu aja."

Rasen mengangguk setuju, menambahkan, "Nggak ada yang mau lo sakit tambah parah, Yen. Bayangin aja kalau lo maksain diri terus malah makin buruk, siapa yang bakal ngerawat, kalau kita berenam juga lagi di landa kesibukan."

"Iya, bang..."

Jayen mendesah pelan, tapi tak bisa menutupi sedikit rasa kecewa di matanya. Namun, ia juga tau mereka semua hanya mengkhawatirkannya. Perhatian yang mereka berikan kadang terasa berlebihan, tapi itulah yang membuatnya merasa benar-benar diterima di antara mereka. Jayen menerima bahwa kesehatannya memang yang paling utama untuk saat ini.

Setelah sarapan selesai, masing-masing dari mereka mulai bersiap menjalani aktivitas hariannya.

Maven dan Rasen pamit ke tempat kerjanya dengan helaan napas panjang, sementara Jaival bersiap untuk berangkat shift pagi-nya.

Hiran, Nartha dan Chandra kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur mereka yang sempat terpotong karena Rasen, mereka sangat tidak peduli dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.

Sedangkan Jayen, karena belum diizinkan keluar oleh keenam abangnya, kembali ke kamarnya dengan sedikit raut kesal, meskipun dalam hatinya ia tau keenam abangnya hanya khawatir dengan kondisinya yang belum sepenuhnya pulih.

bimantara.

Maven menatap layar komputernya dengan mata fokus. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menyusun kata-kata yang tepat untuk iklan promosi yang harus dia selesaikan. Draft-draft, sticky note yang tertulis kata-kata semangat dan kertas kerja berserakan di mejanya, menambah kesan sibuknya dia.

Di sudut ruangan, suara rekan-rekannya terdengar saling bercanda, tertawa lepas meski masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

“Pak Tian kalau ngasih kerjaan kagak berhenti-henti, padahal schedule dia juga nggak terlalu sibuk! Malah dia sibuk pacaran di dalem sana!” celetuk salah satu rekannya sambil tertawa, disambut tawa yang lebih keras dari yang lain.

Maven tersenyum kecil, mendengar lelucon itu dari kejauhan. Namun, senyumnya segera hilang ketika ponsel di mejanya bergetar pelan. Dia melirik ke layar, terlihat nama “Mama” tertera di sana. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, merasa ada yang tidak beres. Ibu-nya jarang menelepon di jam kerja.

Ia menghela napas dan mengambil ponselnya. “Halo, Ma?”

"Halo, Nak. Lagi sibuk nggak? Mama ganggu nggak?" Suara Ibu-nya terdengar pelan, tapi ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan.

Maven menggeleng kecil, dengan tangan memainkan mouse, “Nggak, Ma. Nggak ganggu kok. Maven lagi kerja, tapi masih bisa ngobrol. Ada apa, Ma?”

Hening sejenak. Ibu-nya terdengar ragu-ragu. Maven bisa merasakan ketegangan itu, membuat pikirannya mulai berkelana ke berbagai kemungkinan buruk. Akhirnya, suara Ibu-nya terdengar lagi, kali ini lebih pelan dan sedikit bergetar.

"Papa lagi sakit, Nak. Udah beberapa hari ini... tapi Papa nggak mau bilang sama Mama dari awal, takut bikin kamu khawatir."

Maven terdiam, tubuhnya menegang. “Papa sakit? Sakit apa, Ma? Kenapa baru kasih tahu sekarang?” tanyanya cepat.

“Awalnya Papa bilang cuma masuk angin biasa, tapi sudah hampir seminggu nggak sembuh-sembuh. Mama khawatir, tapi kamu tahu Papa gimana 'kan kalau sakit... Dia nggak mau ke dokter,” Ibu-nya menjelaskan dengan nada cemas yang semakin jelas.

“Ma, Papa harus ke dokter. Itu udah terlalu lama. Kalau tetap nggak mau, dipaksa aja, Ma,” Suara Maven terdengar semakin khawatir. Di dalam hatinya, rasa bersalah mulai muncul karena dia tak ada di sana untuk melihat langsung.

“Papa bilang nggak mau ngerepotin kamu. Dia pikir, kamu sudah punya banyak urusan di sini, kerjaan juga pasti berat. Dia takut membebani.”

Maven mengusap wajahnya dengan tangan. "Ma, Papa nggak boleh begitu. Nggak ada yang lebih penting dari kesehatan. Nanti Maven kirim uang buat biaya ke dokter. Jangan biarin Papa nahan sakit."

Ibu Maven terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang lebih lirih, "Nak, terima kasih ya... Mama tau kamu sudah banyak membantu, tapi keadaan kita di sini memang sedang sulit. Usaha Papa juga nggak jalan seperti biasanya..."

Maven menghela napas dalam, menahan perasaan yang campur aduk. “Nggak usah khawatir soal uang, Ma. Yang penting Papa segera diperiksa.”

Setelah telepon berakhir, Maven terdiam. Suasana kantor masih ramai dengan tawa rekan-rekannya, tetapi di dalam dirinya hanya ada kekhawatiran dan rasa bersalah yang mendalam. Tugas yang terbentang di depan layar terasa jauh, hanya ada keluarganya dalam pikiran.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, namun rasa kecewa dan sedih tidak kunjung reda. Keluarganya adalah prioritas, tapi kini ia merasa terjebak di antara tanggung jawab sebagai anak dan pekerja.

Di sela-sela suara kantor yang ramai, Maven hanya bisa termenung, memikirkan keluarganya yang menantinya di kampung, merasa bahwa jarak ini justru membuatnya semakin jauh dari mereka.

Tangannya mengambil ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya, jari-jarinya bergerak cepat di atas layar, wajahnya sangat serius sampai dahinya mengerut. Kemudian Maven menaruh ponselnya kembali dan mencoba fokus.

 Kemudian Maven menaruh ponselnya kembali dan mencoba fokus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


bimantara.
chapter 22; to be continued.

[i] bimantara [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang