Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!
2023
"Beneran! Aku di jambak sama di cakar mbak Irena."
Jane terbahak pada satu cerita dari Soya, bahkan dirinya sampai mengusap setitik air di sudut matanya. Air mata yang keluar karena puas tertawa, bukan karena menangis seperti beberapa waktu lalu.
Soya tersenyum memandangi bagaimana Jane tertawa, dirinya lega bisa membuat sosok yang ada di hadapannya ini tersenyum bahkan tertawa.
Soya tersenyum lantas menggeleng, merasa geli juga malu pada apa yang ia ceritakan. Baru saja tadi dirinya rela menjadi badut mempermalukan diri sendiri hanya untuk menenangkan seseorang yang tak bisa di bilang muda lagi namun malah menangis macam remaja.
Soya menghela nafas lantas mengangkat tangan memanggil staf cafe, ia haus, kopi paginya telah tandas saat ia sibuk bercerita tadi. Satu staf cafe mendekat saat ia melihat Soya melambai. Tak masalah meski tulisan 'order here' ada di sana, semua demi pelanggang tetapnya.
"Mau pesan lagi, Bu Soya?"
Tutur kata staf cafe tersebut terdengar begitu sopan menyapa dua pasang rungu yang sekarang pemliknya menoleh padanya.
Tak memberi jawaban, Soya malah menggeleng bahkan wanita dewasa itu mendengus menanggapi bagaimana staf tersebut memanggilnya.
"Winni, jangan panggil ibuk. Udah berapa kali saya bilangin, coba?"
Winni, staf tersebut mengkerut heran dengan mengedipkan mata beberapa kali. Ini kenapa pelanggan humorisnya tiba- tiba tidak mau di panggil ibu? Bukankah biasanya juga gadis muda itu selalu memanggilnya begitu, ibu?
"Mm..."
Jane menaikan alisnya, ia sebenarnya tak tahu apa yang sedang mereka bahas, bukankah Soya hanya ingin memesan lagi? Jane melirik gadis staf itu yang menatap Soya dengan raut keheranan. Apakah mereka akrab?
"Panggil kak Soya aja ya, Winni?"
"Oh? Baiklah..." kata Winni akhirnya.
Tetapi gadis itu masih mengkerut, apakah benar tak mengapa memanggilnya kakak? Sopankah dirinya? Kalau yang Winni tahu usia mereka terpaut empat belas tahun, bukankah panggilan ibu lebih sopan dari pada tante? Dan panggilan kakak terlalu muda untuk Soya.
Tapi sudahlah, pembeli adalah raja.
"Kak Soya mau pesen apa?"
Soya tersenyum puas, ia bahkan menepuk- nepuk lengan Winni, mungkin sebagai rasa terima kasih?
"Mineral water aja satu."
Winni tersenyum kecut dalam hati, agak dongkol juga. Tapi gadis itu terlalu baik terlalu santun untuk sekedar menggerutu, bahkan untuk menunjukan ekspresi ketidak sukaan pun ia tak bisa. Maka senyuman cerah sebagai jawaban yang di berikan.
"Ditunggu sebentar ya, KAK SOYA?" Dengan penuh penekanan pula.
Begitu Winni berbalik dan langkahnya menjauh, Soya menoleh pada Jane yang sudah lebih dulu menatapnya, seolah menantikan apa pun yang akan Soya katakan.
"Aku ke toilet dulu, ya?" Kalimat pamitnya di barengi tubuh yang beranjak, "Kamu pesen lagi juga aja." Katanya sebelum benar- benar menyeret tungkainya menjauh dari area cafe.
Senyum yang semula tersungging berangsur surut saat manik matanya kehilangan sosok Soya di belokan sebelah lift.
"Sorry... Soraya."
Jane tersenyum, namun senyuman itu tersirat kesedihan, pun pelupuk matanya kembali menganak air mata yang siap kembali tumpah.
Sebenarnya apa yang membuatnya menghilang dari masa remaja dirinya sendiri juga Soya?
Apakah pada dosa tabu yang pernah mereka perbuat dulu?
Tak jauh berbeda dari Jane, kemelut juga tengah hinggap di dirinya. Soya pandangi visual basahnya pada cermin wastafel, entah sudah berapa kali wajahnya di basuh, atau lebih tepatnya menampar wajahnya dengan air.
"Setelah sedeket itu, jadi sejauh ini..."
Harusnya Soya yang berteriak menyuarakan rasa rindu tepat di depan wajah Jane, harusnya Soya juga memaki Jane saat melihat sosok itu kembali. Harusnya... seharusnya Soya yang menangis sesenggukan karena rindunya terlalu lama bersarang, karena dirinya juga yang di tinggalkan bukan?
Namun, saat melihatnya kembali setelah tahun- tahun menyiksa, ia tak bohong ada rasa lega karena melihat Jane yang baik- baik saja. Perasaan rindunya di barengi ketidak tahuan apakah Jane baik- baik saja? Apakah Jane masih hidup? Semua menguar keluar begitu saja rasa leganya. Syukurlah.
Sungguh, rasa lega lebih mendominasi. Karena rasa cinta itu tak di depan mata tapi di dalam hati. Maka dari itu tak ada kata rindu terucap karena kelunya lidah telah lebih dulu terperangkap di belenggu rindu.
Soya masih bergeming di depan cermin, ia meringis tertawa miris, sungguh tragis.
"Lucu banget sih, Tuhanku? Di pertemuin tapi gak di satuin. Punya rasa sama tapi gak boleh bersama."
Eh?
Soya mengernyit, tersadar akan satu hal lantas tertawa miris sekali lagi.
"Emangnya Jane suka sama aku juga?" Tertawanya macam depresi lalu menggeleng kemudian.
Perasaan rindu itu terus berdenyut, tak kenal lelah juga gentar.
"Dulu aku gak bisa ngejar dia karena gak tau dia di mana." Soya berdecak seraya tangannya meraih beberapa lembar tissue dan di usapkan secara kasar pada wajah basahnya.
"Kalo abis ini aku di tinggalin lagi, mati aja deh."
Oh ayolah, Soraya Anggasta. Jangan berkecil hati, kalian itu sama...
Sama- sama di teror rindu.
Sama- sama di cekik cemburu.
Dan sama- sama di telan gengsi.
Bagaimana Jane yang sekarang saat di pamiti Soya ke toilet, tengah dilanda resah perihal dirinya yang menyeruakan kerinduan karena terlalu dililit rindu juga di hantam emosi.
Egonya masih terlalu tinggi hanya untuk sekedar memuntahkan kata rindu.
Biarlah mereka menderita karena gengsi yang masih mereka dekap, padahal mereka sama- sama tahu, memelihara rindu itu sungguh menyiksa.
TBC
Other kind of feedback would be very much appreciated.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIT ME UP! (JENSOO)
Fanfiction"Gak ada yang namanya ikhlas, yang ada itu terpaksa lalu terbiasa."