Qq

199 23 31
                                    







Ingat ini hanya fiksi, semua muse tidak ada sangkut pautnya dengan tokoh di dunia nyata!



















2006











"Bunda, blio itu wanita hebat. Dia udah besarin aku sendirian, berjuang sendirian."

Helaan nafas terdengar dari sisi pembaringannya, si humble hanya meliriknya tak berniat bersuara.

"Aku sebenernya punya ayah..." yang semula hanya lirikan sekarang menjadi menoleh sepenuhnya pada kiri pundaknya, Soya tersenyum pada Jane yang juga lebih dulu menoleh ke arahnya.

Jane melanjutkan, "Tapi ayah pergi pas aku masih kecil."

Sebenarnya cerita Jane itu cerita sedih, namun Jane sendiri tak menunjukan ketersedihannya, seolah dirinya telah terbiasa tanpa figur seorang ayah.

"Makasih, ya." Sebelah alis Soya terangkat, "Makasih udah mau dengerin ceritaku..."

Soya mendengus tawa lantas ia merubah posisinya menjadi menyamping menghadap Jane, tangan kirinya sebagai tumpuan kepala.

"Aelah... cerita aja. Apa pun itu bakal gue dengerin, kok." Cengir Soya.

Jane mengangguk, "Makanya aku gak mau ngecewain bunda yang udah berjuang sendirian buat kami."

Jane menghela nafas, "Aku jadi ngantuk."

Merasa lega juga nyaman, matanya mulai terpejam namun senyum tak juga luntur dari parasnya.

Tangan Soya bergerak jemarinya membelai pipi merona Jane, membuat pola acak dengan jari telunjuknya. Jane menyukainya, gadis itu menikmati sentuhan lembut Soya pada wajahnya.

Sebenarnya, ada satu hal yang mengusik ketenangannya, satu hal yang ingin ia tanyakan. Tentang dirinya juga Soya sendiri.

Matanya perlahan terbuka saat ibu jari Soya mengusap birainya, pandangan mereka bertemu setelah Soya menatap intens birai yang ia tekan.

"Soraya..."

"Hm?"

"Bukannya kita udah gak perlu ciuman lagi?"

Tersentak Soya, padahal tubuhnya sendiri sudah condong mendekati Jane, bersiap mencuri kecup.

"Mak... sud... nya...?" Perasaannya tak enak, perasaannya tak merela.

"Awalnya kita 'kan cuma penasaran..." Jane menggigit bibir bawahnya, gadis itu ragu, "Dan kita udah tau rasanya ciuman. Kenapa kita mash,"

"Lo." Potong Soya, "Kenapa Lo juga masih ngelakuin ini?" Jane diam, ia tahu alasannya tapi ia terlalu malu untuk mengaku.

"Karena ini nyenengin. Ciuman itu menyenangkan."

Jane tertegun pada jawaban tak tahu malu Soya, tapi dia juga membenarkan. Ciuman itu menyenanglan.

Namun Jane gelisah, ia cemas, ia resah. Gadis itu takut pada apa yang telah mereka perbuat. Apakah tak masalah?

Jane juga Soya tak tahu. Memang membuat cemas, tapi apa pun yang di lakukan secara diam- diam, secara sembunyi- sembunyi itu menyenangkan. Konsekuensinya? Rasa was- was, terlebih untuk Jane yang hidupnya serba hati- hati. Sungguh bertolak belakang dengan Soya, si manusia paling santai.

"Kita sama, kok. Kita sama- sama penasaran."

"Soraya!" Jane menahan bahu Soya yang semakin mendekatinya, mencuri kesempatan.

HIT ME UP! (JENSOO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang