Chapter 55

66 12 2
                                    

Tiga bulan telah berlalu semenjak Gavin dan Hala kembali ke Ibukota. Tidak banyak hal yang berubah dalam kurun waktu tersebut. Gavin kembali dengan energi berlimpah, membuat kinerjanya di perusahaan meningkat. Celine sempat dibuat heran oleh sepupu tampannya itu. Namun rasa lega dalam hatinya, membuat wanita itu berpikir bahwa semua akan baik-baik saja mulai sekarang.

Berbeda dengan Gavin, Hala mengajukan surat pengunduran diri dari universitas tempatnya mengajar sekembalinya pria itu ke Ibukota. Kini fokusnya adalah mempertahankan dan mengembangkan DeArds Corp. seperti permintaan Bara padanya. Hala adalah pria yang cepat belajar, jadi tidak sulit untuk meletakkannya dalam perusahaan. Yang sulit hanya mempertimbangkan segala kemungkinan dalam mengambil keputusan.

Namun selama ia memiliki seseorang yang jauh lebih berpengalaman di sisinya, apa yang perlu ditakutkan? Gavin adalah seorang CEO dengan kualifikasi di atas rata-rata. Beberapa kali Hala menemui kesulitan dalam pekerjaannya, dan Gavin akan berada di sana untuk memberi saran yang dapat membantu menyelesaikan masalahnya.

Dengan kesibukan yang begitu meningkat secara bertahap, waktu akhir pekan menjadi sangat berharga bagi keduanya. Seperti saat ini. Keduanya tengah berbaring di tempat tidur sambil berpelukan. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur. Cahayanya belum sepenuhnya menyinari kamar sepasang kekasih itu. Namun keduanya sudah terlibat dalam obrolan ringan dari beberapa menit yang lalu.

"Aku malas olahraga. Kita rebahan gini aja sampai weekend selesai. Ide bagus, kan?" Ujar Hala.

Gavin terkekeh pelan, mencium hidung bangir kekasihnya, "No. Kita tetap harus olahraga. I want us to live longer. Buat gantiin waktu lima belas tahun yang kebuang sia-sia."

"Hmm? For me, it wasn't a waste. Ada banyak hal berharga di waktu-waktu itu," ucap Hala.

Gavin, "Aku tau. Karena aku juga ngerasa gitu. Minusnya, enggak ada 'kita' di sana. Kamu dengan duniamu sendiri. Aku dengan duniaku sendiri. Sampai sekarang aku juga masih bingung gimana cara aku ngelewati semua itu tanpa kamu."

Hala, "Aku enggak tau. Mungkin kita termasuk beruntung?"

Gavin mengangguk, "Hmm. Beruntung."

Hala, "Mari kita coba keberuntungan itu lagi. Kita enggak perlu olahraga. Kalau kita beruntung, we can live a little longer without even sweating ourself, right?"

Gavin, "Kenapa kamu semalas itu buat olahraga? Hmm?" Gavin mencubit sayang pipi Hala, menangkap raut kemalasan yang kental pada wajahnya. "I get it. Kita masih bisa berkeringat tanpa harus olahraga. Wanna try it?"

Hala menatap Gavin bingung. Namun sedetik kemudian seringai nakal di sudut bibirnya mengembang, "yeah. I'd love to try. You can be my coach. Please train me well, Coach!"

"I will."

Setelahnya, obrolan menjelang pagi itu berubah menjadi kegiatan sensual di atas ranjang. Dengan suara desahan dan erangan yang keluar atas kenikmatan dari sebuah penyatuan. Gavin benar, sesuatu seperti kegiatan di ranjang memang dapat menggantikan olahraga agar mereka tetap berkeringat.

Tepat pukul delapan, sepasang kekasih itu keluar dari kamar untuk sarapan. Sedikit terlambat karena kegiatan olahraga di dalam kamar. Bu Sarah telah menyiapkan menu sarapan sederhana di atas meja. Wanita paruh baya itu sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Hala versi manusia di apartemen majikannya.

Hala secara resmi telah pindah ke unit apartemen Gavin sejak kembali dari Pulau Dewata. Gavin sendiri yang mengusulkan, atau lebih tepatnya memaksa Hala untuk tinggal bersamanya. Dengan alasan agar mereka selalu bisa bertemu satu sama lain meski sesibuk apapun pekerjaannya. Hala tidak berpikir banyak dan langsung menyetujui ide Gavin. Itu akan sangat menyenangkan untuk tinggal bersama orang yang dicintai, bukan?

Eyes that Only Looking at You [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang