Chapter 10

175 11 3
                                    

"Aku dengar dari papa kalau kamu lama di luar negeri dan baru balik dua tahun yang lalu?!" Tanya Miranda membuka percakapan.

"Hm," jawab Gavin singkat.

Hari ini adalah pertemuan pertama Gavin dan Miranda yang diatur oleh Tuan Stevano Diratja. Pertemuan yang tujuannya untuk mengenal satu sama lain. Awalnya Tuan Stevano sudah mengatur pertemuan mereka di restoran terkenal dengan pemandangan yang indah, untuk mendukung suasana. Namun dua dua jam sebelum waktu pertemuan, Miranda meminta tempatnya diganti. Restoran cepat saji tepat di samping rumah sakit tempat wanita itu bekerja.

"Kamu enggak nyaman ya, di sini? Sorry banget. Tadi ada pasien darurat, jadi aku pikir kalau ke tempat yang ayah kamu pesan itu enggak akan sempat. Aku kalau dandan lama soalnya," ucap Miranda lagi.

Gavin bisa melihat jika wanita itu sangat berbeda dengan saat makan malam di rumah keluargannya. Waktu itu Miranda sangat anggun, dengan dress merah muda dan hak tinggi putih. Rambut panjang yang ditata sedemikian rupa. Ditambah riasan ringan yang mempercantik wajahnya.

Namun yang Gavin lihat sekarang adalah wanita dengan baju dinas rumah sakit berwarna maroon dilapisi jas putih khas seorang dokter. Wajahnya polos tanpa riasan, hanya lipstik nude. Rambut panjangnya diikat dengan gaya sanggul yang sedikit berantakan (cepol). Belum lagi sepatu kodok biru yang membuat kakinya terlihat besar. Dan sepertinya Miranda juga tidak mengenakan wewangian karena bau seperti desinfektan tercium dari tubuhnya.

"Sorry lagi, nih. Aku juga enggak sempet siap-siap soalnya abis ini masih harus jaga. Jadi kita masih punya waktu ngobrol sekitar 30 menit. Enggak apa-apa, kan?" Tanya Miranda. Wanita itu meminum americano dingin di hadapannya dan juga roti lapis daging dengan bersemangat.

"Lapar?" Kali ini Gavin yang bertanya.

"Hmm. Enggak sempat makan, banyak pasien," jawab Miranda.

"Ya sudah, habiskan. Mau pesan lagi?"

"Enggak, deh. Kalo gue- aku makan terus, kita kapan ngobrolnya."

"Jawab pertanyaan kamu, ya, aku lama di Kanada. Kuliah dan kerja di sana," ucap Gavin.

"Maaf, ya. Tapi udah berapa kali kamu dijodohin kayak gini? Buat aku ini udah berkali-kali. Sampai enggak bisa kehitung lagi," cerita Miranda. Gavin sedikit terkejut tapi memaklumi, karena dirinya juga sama.

"Kamu yang ke-13," jawab Gavin. Miranda tersedak.

"Duh! Angka sial," katanya menggigit roti lapis terakhirnya.

"You believe it?"

"Enggak juga."

Waktu tiga puluh menit mereka habis dengan begitu cepat. Miranda harus segera kembali karena waktu istirahatnya telah habis. Gavin juga harus segera kembali ke kantor karena masih ada hal yang harus diurus. Mereka berpisah di depan restoran cepat saji.

Gavin menikmati pertemuannya dengan Miranda. Obrolan mereka mengalir biasa, tanpa dipaksa. Miranda bertanya dia menjawab, pun sebaliknya. Meski setiap kalimatnya singkat, tapi tidak canggung.

Entah kenapa pria itu merasa cukup nyaman dengan Miranda. Mungkin karena wanita itu sedikit berbeda. Suasana yang dibawanya seperti saat dirinya bersama Celine, tentunya tanpa umpatan.

Setelah pertemuan, Gavin kembali ke apartemen. Mengurungkan niatnya untuk ke kantor dan memilih melakukan sisa pekerjaannya di apartemen saja. Celine sedikit marah karena harusnya mereka ada rapat bersama sore hari. Tapi bukan Gavin namanya jika tidak bisa membuat Celine mengurus ketidakhadirannya. "Dasar sepupu laknat!" Umpat Celine sebelum menutup panggilan telpon

Pukul tujuh malam pria tampan itu telah menyelesaikan pekerjaannya, pun dengan makan malam juga. Hala si kucing berbulu hitam itu tidak ada di apartemen. Dia sedang Gavin titipkan di pet care untuk sementara waktu. Beberapa hari yang lalu dirinya terlalu sibuk sampai harus menginap lagi di kantor, jadi pria itu meminta Bu Sarah untuk membawa si kecil ke pet care sampai waktunya luang. Dan sekarang Gavin merindukan Hala.

Eyes that Only Looking at You [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang