Chapter 31

106 13 0
                                    

Gavin di mata Hala seperti seekor anak itik yang kehilangan induknya. Lemah dan tidak berdaya. Biasanya Hala tidak suka orang-orang lemah seperti Gavin karena terlalu menyusahkan. Lihatlah! Untuk perkenalan di depan kelas saja pemuda itu layaknya terdakwa yang akan dijatuhi hukuman mati. Tapi yang membuat Hala paling tidak suka adalah reaksi teman-temannya. Mereka pikir itu lucu sampai harus menertawakan pemuda berkacamata itu. Konyol.

GREEEKK

"Nice timing!" Ucap Hala setelah dirinya membuka pintu. Cukup keras hingga kini semua mata mengarah padanya. Terutama Gavin. Pemuda itu menghela napas lega, merasa dirinya tidak menjadi perhatian dan bahan tertawa.

"Dari mana saja kamu? Kenapa baru datang?" tanya wali kelasnya. Itu adalah Pak Gunawan. Hala cukup akrab dengan beliau karena sering mampir ke ruang guru untuk urusan tertentu.

"UKS, pak. Tadi pingsan pas upacara," jawabnya tidak sepenuhnya salah. Ia memang tidak pingsang, tapi jika ikut upacara, sudah pasti ia akan pingsan.

Hala melihat Gavin yang berdiri di depan kelas dengan kedua tangan yang saling meremas karena gugup. Tatapan dari balik kacamata tebal itu terpaku padanya. Ia menyeringai sambil menepuk punggung Gavin agak keras, "Lo ngapain, sih? Sana balik! My turn."

Melihat Gavin yang menurut begitu saja, Hala menyeringai. Kemudian dirinya dengan singkat memperkenalkan, "Hala dari X-5,"  sebelum kemudian pergi menuju ke meja kosong tepat di belakang Gavin.

Selama pelajaran berlangsung Hala tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dengan pelajaran. Pertama, karena Gavin ada di depannya, membuat Hala ingin sekali menjangkau dan menyentuhnya.

Kedua, karena kejadian yang tidak dapat diingatnya. Seberapa keras Hala berpikir itu memang benar tidak masuk akal. Untuk membuatnya tidur selama delapan hari itu membutuhkan setidaknya 48 butir obat tidur dengan asumsi setip butirnya akan memberi pengaruh selama 4 jam.

Hala mulai berpikir jika ayahnya telah bermain hal tidak masuk akal dengannya. Membuat perasaan takut mulai menjalar di setiap bagian sel syarafnya.

Jadi pemuda bersurai kecoklatan itu lebih memilih untuk bercanda dengan teman-temannya. Setidaknya ia bisa sedikit melepas perasaan tidak menyenangkan yang mulai masuk dan mengacaukan pikirannya.

Sampai pada istirahat pertama, Hala tidak bisa tahan untuk tidak menyapa Gavin. Pemuda itu sama sekali tidak bersosialisasi, membuat Hala jadi gemas sendiri karenanya.

Pemuda bernetra coklat itu kemudian menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada Gavin dan berkata, "Susu strawberry sama donat."

Gavin menatap Hala sebentar lalu pada tangannya yang memegang uang. "Sekarang!" Ucapnya lagi dengan wajah yang mendekat pada Gavin.

Pemuda tinggi itu segera bangkit dan akan berlari ke kantin, namun tentu saja teman-teman Hala memanfaatkan kesempatan untuk ikut-ikutan 'menitip' makanan. Alhasil Gavin harus membawa setidaknya satu kantong plastik penuh makanan dan minuman sambil berlarian. Hala sedikit tidak suka. Ia hanya berniat agar pemuda berkacamata itu menyadari keberadaannya. Bukan malah menjadikan pemida itu pesuruh gengnya.

Lagipula Gavin bisa menolak jika memang dia tidak mau. Tapi sayang sekali tatapan -i'll-do-everything-for-you- milik pemuda itu sudah Hala tangkap lebih dulu. Jadi Hala ingin tahu sejauh apa Gavin akan melakukan permintaannya.

"Bagus, bagus! Cepet juga lari lo, Gap," ucap Beni.

"Gap, apaan Ben?" Tanya Vino bingung.

"Gagap!" Jawab Beni disertai tawa mengejek yang diikuti oleh beberapa teman lainnya.

Hala hanya tersenyum. Bukan karena candaan Beni, melainkan karena melihat Gavin yang hanya diam sambil sesekali memandanginya.

"You're so desperate, man," batin Hala.

Eyes that Only Looking at You [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang