Story 14

352 71 2
                                    

Hari ini adalah hari pertama (y/n) belajar di Akademi Hukum Fontaine. Tempat berupa gedung besar tujuh lantai di kota utama Fontaine. Gedung berwarna biru yang dihiasi beberapa bendera lambang Negeri Air tampak sangat besar saat (y/n) melangkahkan kakinya kedalam sana.

Chiori mendaftarkan dirinya dikelas 5 dari total lima kelas. Kelas lima adalah yang terkecil dan khusus untuk anak baru masuk. Dengan berbekal beberapa buku tentang Hukum, (y/n) mematangkan persiapannya dan masuk kedalam kelas yang berisi hampir dua puluh orang.

"Selamat pagi, mohon bantuannya."

Dengan senyuman tipis, gadis itu memulai pembelajaran. Hari-hari monoton akhirnya akan dia cicipi. Perjuangannya dimulai dikelas Pengenalan Hukum. Tubuhnya didudukkan disalah satu bangku, ada seorang perempuan berambut coklat muda yang ikut duduk disana.

"Permisi, perkenalkan nama saya  Naoraka (y/n)." (Y/n) tampak mencoba berbasa-basi. Gadis itu mengulurkan tangannya, berharap disambut dan diterima baik.

Namun tentu saja semua hal tidak terjadi sesuai keinginannya. Gadis disamping (y/n) hanya mendengus dan mengabaikan (y/n) yang berakhir menarik kembali tangannya.

"Baiklah, kurasa tidak semua orang Fontaine itu baik." (Y/n) berkata dengan sedikit menyindir. Gadis itu kini sibuk dengan peralatan tulisnya, mengabaikan teman sebangkunya yang mendelik kesal dan berdiri meninggalkan kursi.

"Dasar imigran."

(Y/n) hanya menaikkan bahu dan tidak merespon ucapan gadis itu. Dia bukan imigran karena sudah mengurus izin tempat tinggal beberapa hari yang lalu bersama Chiori. Dan dia jelas tinggal di butik Chiori. Alamatnya jelas dan dia turut membayar pajak dari gajinya bekerja di butik.

Jelas-jelas dia bukan imigran, hanya orang asing yang belajar dinegeri orang lain. Apa salahnya?

(Y/n) fokus hingga jam menunjukkan pukul delapan pagi dan guru yang mengajar pun akhirnya datang membawa beberapa buku tebal. Teman sebangkunya tadi juga datang dan memindahkan barangnya kekursi lain, seolah meninggalkan (y/n) sendirian disana.

Toh, (y/n) juga tidak peduli. Dia malah meletakkan tasnya yang tadi dilantai keatas kursi mantan teman sebangkunya. Lumayan, jadi tasnya tidak jadi kotor karena lantai kelas.

Kelas dibuka dengan pengenalan kata Hukum.

.
.
.

"Bagaimana harimu? Sudah dapat teman?" Chiori tampak mengaduk makanan diatas piring. Perempuan berambut coklat tua itu tampak menambahkan beberapa garam usai mencicipi makanannya.

"Jangankan dapat, teman sebangkuku saja pergi karena mengira aku imigran gelap." (Y/n) dengan cuek mengatakan apa saja yang terjadi hari ini.

"Oh ya? Kau tidak bilang kau tinggalkan dia Chioriya? Kau bisa menjual nama butik demi dapat teman." Chiori pun tampak santai. Dia pernah sekali diusir saat datang ke Fontaine karena tidak memiliki izin membuka butik. Jadi kejadian seperti ini ditanggapi dengan tenang.

"Tidak mau. Bagaimana jika mereka memanfaatkanku?"

"Kau 'kan bukan anak-anak lagi. Memangnya kau tidak bisa membedakan yang mana yang tulus dan mana yang hanya akan memanfaatkanmu saja?" Chiori menelan sesendok makanannya. Kepala perempuan itu mengangguk menikmati potongan daging yang meleleh di lidahnya.

"Tetap saja, rasanya tidak nyaman." (Y/n) dengan cepat menyelesaikan pastanya. "Terimakasih makanannya."

"Sama-sama."

(Y/n) segera membersihkan piring bekas miliknya dan mengambil buku tebal miliknya. "Aku kekamar dulu, mau belajar."

"Iya, semangat." Chiori dengan ucapannya yang khas dan pendek-pendek hanya menghiraukan (y/n). "Oh, iya. Ada surat dari Inazuma untukmu. Ada diatas meja belajarmu."

(Y/n) mengangguk dan berjalan memasuki kamarnya. Benar saja ada dua buah surat dengan warna luaran berbeda. Ada pita khas keluarganya disalah satu surat. (Y/n) tahu itu dari ibunya.

Dan satu lagi, suratnya diikat dengan pita biru muda. Warnanya mengingatkan (y/n) pada rambut seseorang.

(Y/n) segera membuka surat pertama, surat dari ibunya terkembang didepan muka. Isi suratnya seperti biasa, hanya perkembangan kediaman dan bagaimana para tetua berceloteh mengenai kepergian (y/n). (Y/n) mengulas senyuman tipis mengetahui ibunya mampu mengabaikan ucapan para tetua.

Lalu beralih ke surat kedua. Ada nama Kamisato diatasnya. (Y/n) segera membuka surat dan menemukan sebuah tulisan yang sangat rapi dan terkesan formal.

"Ayato? Darimana dia tahu alamatku di Fontaine?" (Y/n) menggulir surat dan menemukan sebuah tusuk rambut yang dikirimkan bersama surat.

Tangan gadis itu sejenak memainkan tusuk rambut dan melihat ukiran emas putih yang cantik. Dihiasi oleh beberapa berlian kecil dan rumbai dari bulu merak putih.

Hanya kata cantik yang bisa mendeskripsikan hadiah kecil dari kepala keluarga Kamisato itu. Mengabaikan darimana Ayato mengetahui alamatnya, gadis itu menggulung rambutnya, sedikit merapikan lalu menusukkan tusuk rambut.

Rumbainya cukup panjang hingga membuat bahunya merasa tergelitik. Tapi selebihnya terlihat sempurna.

"Tidak buruk." (Y/n) kembali duduk dan membaca surat dari Ayato.

Surat itu hanya berisi tentang menanyakan bagaimana kabar (y/n) dan tentang keseharian Ayato juga Ayaka.

Tidak ada hal lebih selain kejanggalan darimana Ayato tahu alamatnya. Apa ibunya memberitahu Ayato? Tapi (y/n) bahkan berkata agar ibunya menyembunyikan kemana dia pergi. Atau mungkin Ayato menguntitnya? Tapi untuk apa? Toh, pria itu pasti sibuk dan tidak ada waktu mengurus bocah seperti dirinya.

"Dasar pria aneh."

.
.
.

.
.
.

T
B
C

.
.
.

San: Ayato mulai sus wkwkwkw

.
.
.

.
.
.

06 Oktober 2024

𝓢𝓲𝓷𝓰 𝓨𝓸𝓾𝓻 𝓛𝓾𝓵𝓵𝓪𝓫𝔂, 𝓟𝓻𝓲𝓷𝓬𝓮𝓼𝓼 [K. Ayato x F. Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang