002

237 36 5
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sinar matahari menembus jendela besar butik, menyelimuti ruangan dengan kehangatan yang tidak sesuai dengan perasaan dingin yang bersarang di hati Karina. Pikirannya melayang jauh—tak hanya tentang pekerjaan hari itu, tetapi juga tentang pernikahannya. Sebuah pernikahan yang, ironisnya, lebih menyerupai kewajiban bisnis daripada perayaan cinta yang selalu ia impikan. Setiap kali memikirkan hari itu, ada rasa hambar yang mengendap di hatinya—jauh dari euforia yang seharusnya dirasakan oleh seorang calon pengantin.

Namun, di balik semua kegamangan itu, ada satu mimpi yang tak pernah benar-benar memudar: mengenakan gaun pengantin hasil rancangannya sendiri. Impian ini sudah tertanam sejak ia masih kecil, sejak pertama kali menyaksikan kilau gaun-gaun pengantin di layar televisi dan lembaran majalah mode. Karina selalu membayangkan gaun itu akan menjadi cerminan sempurna dari siapa dirinya. Meski kini, pernikahannya tidak sesuai dengan yang ia bayangkan, keinginan untuk merancang gaun pengantinnya tetap kuat. Itu satu-satunya bagian dari mimpi masa kecilnya yang belum direnggut oleh kenyataan.

Di depan meja kerjanya, tumpukan kertas sketsa, pensil, dan berbagai potongan kain tergeletak begitu saja. Dia menarik napas panjang, memandangi selembar kertas kosong di depannya. Dalam hening itu, dia meraih pensil 2B—seolah berharap bahwa alat sederhana ini bisa membantunya mengukir harapan yang masih tersisa.

Tangannya mulai bergerak perlahan di atas kertas, menarik garis pertama. Dia memulai dari bentuk tubuh, menggambar siluet yang ramping, garis-garis itu mulai membentuk gaun pengantin yang elegan.

Karina menatap kertas di hadapannya, mencoba membayangkan dirinya sendiri dalam gaun itu. Bukan untuk pernikahan yang dingin dan penuh jarak, melainkan untuk pernikahan yang pernah ia impikan—penuh cinta, penuh tawa, dan penuh kehangatan. Namun, kenyataan dengan kejamnya selalu menyeretnya kembali. Winta. Nama itu, meski tak terucap, terus membayang di benaknya. Dia menggeleng, kembali menggambar, kali ini lebih dalam. Setiap garis dan lengkungan di gaun itu terasa seperti upayanya untuk merekatkan bagian-bagian dirinya yang tercerai-berai. Garis bahu yang halus, pinggang yang dipertegas, dan rok yang mengalir lembut—semuanya terangkai dalam diam.

"Mungkin ini satu-satunya cara biar aku ngerasa masih punya kendali, di tengah semua yang nggak bisa aku atur." pikir Karina, hampir tanpa suara.

Ketika pintu butik terbuka, suara pelan langkah Lia, sahabatnya, mengisi ruangan. Karina mendongak, "Lagi sibuk ya, Rin?" tanya Lia dengan senyum lembut ketika tahu Karina sedang tenggelam dalam pikirannya.

Karina mengangguk sedikit, senyum kecil menghiasi bibirnya. "Iya, aku lagi coba rancang sesuatu yang sedikit... berbeda," jawabnya.

Lia tertarik dan mendekat, duduk di samping Karina, memerhatikan sketsa yang masih setengah jadi. "Untuk klien spesial?"

Karina terdiam sejenak. Matanya kembali ke kertas, namun pikirannya melayang jauh. "Sebenarnya," Karina terhenti, menggigit bibirnya sebentar sebelum melanjutkan, "Aku lagi ngerancang gaun pengantinku."

Between Us | Winrina (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang