041

806 124 9
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Winta masuk ke dalam rumah, pandangannya langsung tertuju pada Karina yang tengah mengangkat tumpukkan pakaian yang baru saja dilipatnya.

Tanpa berpikir panjang, ia mendekati Karina dengan langkah cepat, tangannya terulur, dan dalam hitungan detik ia mengambil tumpukan pakaian dari tangan perempuan itu. Karina terkejut, tatapannya sekejap berubah menjadi kaget, namun sebelum ia sempat protes atau marah, Winta sudah melangkah lebih dulu ke dalam kamar.

Winta meletakkan pakaian-pakaian itu di dalam lemari, dengan gerakan cepat dan terkesan tak sabar. Ia membuka laci lemari, membenahi pakaian yang sempat berantakan, dan meletakkannya dengan rapi.

Ketika Winta kembali keluar dari kamar, ia mendapati Karina masih di tempat yang sama, berdiri di sana. Karina berbalik sedikit, berusaha untuk tidak menatap Winta terlalu lama, membuat Winta semakin paham bahwa ia tak bisa terus-menerus seperti ini. Ia sudah memikirkan semuanya sejak tadi di kantor. Ia menyadari, perasaan Karina yang selama ini ia abaikan harus menjadi prioritas utamanya. Dan, lebih dari itu, ia tahu sekarang bahwa Karina sedang hamil—sesuatu yang tak bisa ia kesampingkan begitu saja.

"Kita makan diluar aja malam ini." kata Winta, mencoba membuka percakapan dengan cara yang lebih lembut.

"Terserah kamu." jawab Karina akhirnya, dengan suara yang datar. Tidak ada nada marah.

Winta mengangguk, meskipun rasa sabarnya diuji. Ada rasa kecewa yang muncul begitu Karina menjawab demikian, namun ia tahu, inilah saatnya untuk lebih sabar. Tidak ada yang bisa dipaksakan. Karina, dengan segala emosinya, sedang berusaha menjaga jarak. Mungkin masih ada amarah, mungkin ada kebingungannya, tetapi Winta paham bahwa ini adalah bagian dari proses mereka berdua untuk belajar satu sama lain.

"Kalau gitu, aku siap-siap dulu." kata Winta dengan tenang, tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia melangkah menuju kamar.

Setelah beberapa saat, Karina memutuskan untuk mengikuti Winta masuk ke kamar, merasa bingung sendiri. Setiap kali ia mencoba menahan diri, setiap kali ia mencoba mempertahankan jarak, pada akhirnya ia tetap saja berada di dekat Winta.

Karina duduk di dekat meja rias, menarik ponsel dari dalam saku piyamanya, jarinya bergerak memeriksa notifikasi yang masuk tanpa benar-benar membaca satu per satu. Hanya untuk menyibukkan dirinya, mungkin. Mengalihkan perhatian dari perasaan yang tak nyaman ini. Ia masih marah. Sangat marah. Tapi semakin lama, semakin terasa bahwa amarah itu tak sepenuhnya adil. Ia tahu, meskipun Winta terkadang melukai perasaannya, dia sedang berusaha untuk berubah. Mengingatkan diri sendiri tentang itu, tentang usahanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Itu yang selalu ada di benaknya, dan Karina, merasa sudah cukup untuk stres mengingat kandungannya akan terganggu nanti.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dengan pelan. Winta keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih terlilit handuk, air yang menetes dari rambutnya membuat kesan yang berbeda di ruangan itu. Karina menatap Winta sekilas, lalu menundukkan kepalanya secepat kilat, mencoba menghindari tatapan itu.

Between Us | Winrina (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang