005

215 36 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Keesokan harinya, Winta dan Karina kembali ke rumah keluarga Arindra. Saat mobil mereka memasuki halaman luas, Karina dapat merasakan aura rumah besar itu—megah, namun terasa sedikit dingin baginya. Ia melangkah keluar dari mobil, berusaha menyesuaikan diri dengan situasi yang masih terasa canggung.

Di ambang pintu, kedua orang tua Winta sudah menunggu dengan senyum lebar. Mereka tampak begitu hangat, seolah menyambut Karina sebagai menantu yang sudah lama mereka nantikan. Ibu Winta langsung memeluk Karina erat, seolah ingin menunjukkan rasa penerimaan sepenuhnya. "Karina, sayang, selamat datang. Kamu pasti lelah, ya," katanya lembut.

Ayah Winta, Pak Arindra, yang berdiri tak jauh, mengangguk setuju. "Kalian berdua seperti pasangan serasi."

Karina tersenyum tipis, merasa sedikit canggung tapi berusaha sopan. Ia memang sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, namun pujian yang melimpah dari keluarga Winta membuatnya sedikit gugup. Namun, ia menyembunyikan perasaannya dengan anggukan dan senyum kecil.

Pak Arindra kemudian melanjutkan, "Kalian tahu, sebagai hadiah pernikahan, kita udah nyiapin rumah untuk kalian. Letaknya di kawasan elite yang dekat dengan pusat kota."

Pak Arindra tersenyum lebar sambil menyerahkan sebuah kunci rumah kepada Winta. Namun, Winta, yang sedari tadi hanya diam, menatap kunci itu sejenak sebelum mengangkat wajahnya. Tanpa menunjukkan emosi apa pun, ia berkata dengan nada datar, "Kenapa nggak tinggal di sini aja?"

Ucapannya mengejutkan semua orang. Karina melirik Winta sekilas, mencoba membaca ekspresi di wajahnya, tapi tidak ada yang bisa dipahami dari sorot matanya. Dingin. Tidak ada minat atau kehangatan sama sekali dalam kata-kata Winta.

Pak Arindra tampak sedikit tersentak mendengar respon Winta yang begitu datar. Ia mengerutkan kening, tampak bingung dan sedikit heran. "Tinggal di sini?" ulangnya, seolah memastikan ia tidak salah dengar.

"Iya," jawab Winta singkat, masih dengan nada yang sama, seolah tidak ada yang aneh dari permintaannya.

Pak Arindra tampak tak puas dengan jawaban itu. Dia menggeleng pelan, lalu berkata dengan suara yang lebih tegas, "Winta, kamu udah menikah sekarang. Enggak pantas kalau kalian masih tinggal di rumah orang tua. Kalian butuh privasi, tempat untuk memulai hidup baru kalian berdua."

Winta tidak menjawab, tapi jelas ada rasa tidak puas dalam sikapnya. Dia menoleh sebentar ke arah Karina, yang juga tampak ragu untuk berkata apa-apa. Melihat bahwa tidak ada celah untuk menolak atau memberikan argumen lain, Winta akhirnya menghela napas panjang dan, dengan gerakan enggan, ia mengambil kunci yang diberikan oleh ayahnya.

"Kalian bisa mulai pindah kapan aja," lanjut ayahnya dengan nada puas setelah melihat Winta mengambil kunci. "Fasilitasnya udah lengkap, enggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Winta tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menyimpan kunci itu di dalam saku celananya tanpa melihat ke arah siapa pun. Lalu, tanpa banyak basa-basi, dia langsung berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Between Us | Winrina (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang