.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Winta melangkah masuk ke dalam ruangannya dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi dengan kekacauan yang sulit ia atasi. Saat membuka pintu, ia melihat Prima sudah menunggunya di sana. Di atas meja, beberapa berkas tersusun rapi, siap untuk diperiksa. Prima duduk dengan ekspresi serius, namun ada sedikit kekhawatiran yang terlihat di wajahnya.
Winta tidak segera duduk. Dia hanya berdiri di depan pintu sejenak, menatap Prima yang menoleh padanya. Setelah menarik napas panjang, Winta akhirnya melangkah ke kursinya dan duduk dengan lelah. Begitu tubuhnya menyentuh sandaran kursi, ia menghela napas pelan, seolah berusaha menyingkirkan beban berat yang selama ini menekan dadanya.
Prima sudah menduga situasi Winta sejak semalam—perasaan kalut yang belum benar-benar hilang. Setelah sekian detik hening, Prima akhirnya membuka percakapan. "Udah enakan?" tanyanya, sambil menggeser berkas-berkas itu sedikit ke samping, seolah memberi ruang bagi Winta untuk berbicara.
Winta hanya mengangguk pelan, tidak berniat berbicara lebih banyak. Kepalanya masih berdenyut, pikirannya belum sepenuhnya jernih, dan yang lebih buruk, pikirannya terus-menerus berputar pada dua hal yang tidak bisa dia abaikan: Karina dan Asya. Kedua nama itu berkelindan di benaknya, menciptakan kebingungan yang sulit ia uraikan.
Kesunyian tidak berlangsung lama. Prima kembali bertanya, kali ini dengan nada sedikit lebih pelan. "Lo anter Karina pergi butik kan pagi ini?"
Winta menatap Prima dengan sorot bingung. "Apa maksud lo nanya kaya gini?" tanyanya akhirnya.
Prima menghela napas, lalu bersandar di kursinya. "Karina nyusul lo ke bar setelah gue hubungin, mobilnya sengaja dia tinggal disana biar bisa temenin lo."
Winta hanya terdiam. Pagi tadi, kejadian di halaman rumahnya masih samar-samar. Damar datang untuk menjemput Karina, membuka pintu mobil dengan sikap sopan dan ramah. Winta memang tidak terlalu memikirkan hal itu tadi pagi karena kepalanya terlalu penuh. Tapi sekarang, ketika Prima menyebut soal Karina menyusulnya di bar, Winta mulai merasakan sedikit gelisah, jelas karena tadi pagi Karina bilang dia dirumah semalam.
Tetapi, tidak ada yang benar-benar jelas di kepalanya. Dia tidak mengingat banyak hal. Semuaga terasa seperti mimpi buruk yang kabur. "Gue nggak inget, Prim," jawab Winta dengan nada lelah. "Gue nggak inget apa-apa soal semalam."
Prima mengangguk paham, tidak memaksa Winta untuk mengingat lebih banyak. "Nggak apa-apa, nggak usah dipaksa," katanya. Sorot mata Prima menunjukkan rasa bersalah, seolah ia turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi semalam.
Winta menghela napas panjang lagi. Tubuhnya terasa berat, dan pikirannya masih berputar tentang Asya. Pertengkaran mereka kemarin sore terus mengusik ketenangannya. Dia tahu, dirinya sudah terlalu banyak menyakiti Asya, dan yang lebih buruk, dia tak pernah benar-benar bisa memilih jalannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us | Winrina (On Going)
FanfictionWinta Arindra dan Karina Maheswari dijodohkan oleh keluarga mereka yang kaya dan berpengaruh. Bagi Winta, pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban demi menjaga keharmonisan keluarga, karena hatinya telah lama terikat pada Putri Asya Salsabila-----ke...