015

679 65 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Besoknya, Winta melangkah cepat di koridor kantor Maheswari Utama untuk kembali membahas kontrak lebih lanjut dipertemuan sebelumnya. Setibanya di depan lift, pintunya terbuka, keningnya mengkerut melihat Karina keluar dengan beberapa berkas di tangannya.

Karina berhenti sejenak ketika melihat Winta, agak terkejut. Tatapannya sedikit ragu, namun tanpa banyak bicara, dia melangkah mendekat. "Ini," Karina menyerahkan berkas-berkas di tangannya. "Ayahku nyuruh aku bawa ini sama kamu. Dia ada pertemuan mendadak, katanya."

Winta menerima berkas-berkas itu tanpa banyak reaksi. "Makasih," ucapnya singkat. Dia tahu, hubungan mereka rumit, tetapi saat ini dia tidak punya tenaga untuk memikirkan lebih jauh tentang itu. Yang ada di kepalanya hanyalah Asya dan perdebatan yang belum selesai.

Keduanya terdiam. Winta berusaha fokus pada berkas di tangannya, namun sulit mengabaikan kehadiran Karina di dekatnya. Mereka tidak berbicara lebih lanjut, dan dalam keheningan itu, Winta bisa merasakan tatapan Karina menyapu dirinya. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Karina maju selangkah, mendekat ke arahnya.

"Dasi kamu miring," ujar Karina pelan, sebelum tangan lembutnya mulai merapikan dasi Winta. Gerakan itu refleks, cepat, dan terasa begitu alami bagi Karina. Tapi bagi Winta, setiap sentuhan itu membawa kegelisahan tersendiri. Dia terdiam, bingung bagaimana harus bereaksi. Dia tidak marah, tapi jelas ada sesuatu yang membuat hatinya tergerak, meskipun kecil.

"Udah. Maaf , ya." Karina berkata setelah selesai merapikan dasi Winta, sambil menunduk sedikit canggung.

Winta hanya mengangguk kecil, tidak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ada rasa bersalah yang samar. Dia tahu, Karina tidak pantas diperlakukan dingin. Meskipun hubungan mereka tidak dimulai dari cinta, Karina tidak pernah menyakiti dirinya secara langsung. Tapi perasaannya untuk Asya, membuat segalanya terasa sulit. Setiap kali ia melihat Karina, ada pengingat kuat akan komitmen yang tak pernah ia inginkan.

"Aku pergi ke butik dulu," kata Karina, berbalik hendak melangkah pergi. Tetapi, sebelum terlalu jauh, dia kembali menoleh. "Kamu mau makan siang bareng?"

Winta menatap Karina sejenak, mempertimbangkan ajakan itu. Tapi pikirannya masih sibuk dengan Asya, dengan segala hal yang belum terselesaikan di antara mereka. "Enggak," jawabnya akhirnya. "Aku mau ketemu Asya."

Mendengar nama itu, Karina terlihat menunduk, menarik napas berat. Sadar, kata-kata Winta barusan melukai perasaannya lagi, tapi dia tidak bisa mengubahnya.

"Oke kalau gitu, aku duluan." jawab Karina dengan suara rendah, mencoba menutupi kekecewaannya. Dia akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Winta sendirian di koridor itu, dengan pikirannya yang semakin kacau.

Karina keluar dari gedung perusahaan ayahnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pertemuan dengan Winta barusan, meski singkat, tetap membuatnya sedikit merasa gelisah. Ia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah menuju parkiran. Tapi, baru beberapa langkah, suara langkah cepat terdengar dari belakangnya. Karina menoleh dan melihat Winta mendekatinya dengan tatapan datar.

Between Us | Winrina (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang