Malam itu menjadi mimpi buruk yang tak berakhir bagi Gita. Setiap kali dia menutup mata, bayangan ibunya yang tergeletak di lantai, dan darah yang mengalir dari perutnya, menghantui pikirannya. Polisi sudah menahannya selama tiga hari, mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang tidak ingin dia jawab. Yang dia tahu hanyalah satu hal: dia telah kehilangan segalanya.Ruangan kecil tempat dia ditahan terasa seperti penjara di dalam penjara. Dindingnya dingin, tanpa perasaan, seperti hidupnya yang kini kosong. Ia mendengar suara pintu terbuka, seorang petugas perempuan memasuki ruangan dengan membawa berkas.
"Gita, kamu harus bicara," ucapnya lembut, tapi tegas. "Kami butuh penjelasan dari kamu tentang apa yang terjadi malam itu."
Gita mengalihkan pandangan, menatap ke jendela kecil yang menunjukkan langit kelabu di luar. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang terjadi. Ia hanya bertindak tanpa berpikir, didorong oleh rasa takut dan amarah yang selama ini terpendam. Bagaimana dia bisa menjelaskan tindakan yang bahkan dia sendiri tidak pahami?
"Ayahku... dia sering menyakiti mama," suaranya serak. "Malam itu... aku hanya ingin menyelamatkan mama."
Petugas itu mengangguk pelan, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih. "Kamu tahu, Gita, kami sudah memeriksa keadaan rumahmu. Apa yang kamu alami itu... tidak mudah. Tapi, cara kamu melawan ayahmu-apakah kamu sadar apa yang terjadi setelahnya?"
Gita terdiam, dadanya terasa sesak. Dia tahu, sangat tahu, bahwa tindakannya malam itu adalah akhir dari segalanya. Tapi di sisi lain, ada perasaan aneh yang menyeruak di dalam dirinya-seperti beban yang akhirnya terlepas. Selama bertahun-tahun, dia hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, di dalam kekerasan yang terus menggerogoti jiwanya. Sekarang, bayangan itu telah hilang, tapi meninggalkan kehancuran yang lebih besar.
---
Seminggu berlalu, Gita dipindahkan ke panti rehabilitasi anak. Di sana, ia berusaha menjalani hidup dengan sisa-sisa keberanian yang masih dimilikinya. Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang membosankan: makan, tidur, konseling, mengulang siklus yang sama. Tapi setiap kali dia menutup mata, momen malam itu kembali menghantamnya. Ia terjebak di lingkaran setan, di antara perasaan bersalah dan kebebasan yang semu.
"Bagaimana kabarmu?" suara lembut menyapa di belakangnya.
Gita menoleh. Seorang perempuan muda dengan kacamata dan wajah ramah berdiri di sana, nametag di bajunya menunjukkan nama 'Rani'. Dia adalah konselor yang ditugaskan untuk mendampinginya. Sejauh ini, Gita tidak banyak bicara, bahkan dalam sesi terapi. Ia takut, takut membuka luka yang masih terasa segar.
"Kamu tidak harus bicara sekarang, tapi aku akan tetap ada di sini kalau kamu butuh teman," Rani tersenyum tipis, lalu duduk di kursi di samping Gita.
Gita menatap ke luar jendela, melihat anak-anak lain yang sibuk bermain di halaman. Mereka terlihat ceria, seolah dunia mereka tak pernah retak. Tapi Gita tahu, di dalam panti ini, setiap anak membawa beban yang tak terlihat, seperti dirinya.
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi," gumam Gita tiba-tiba, suaranya hampir tak terdengar. "Semua ini... terasa salah."
Rani menunggu, membiarkan Gita berbicara tanpa paksaan. "Aku merasa bebas, tapi kenapa rasanya lebih sakit?"
Rani menatapnya dalam-dalam. "Kadang-kadang, Gita, kebebasan bukan berarti kita langsung sembuh. Luka yang dalam butuh waktu untuk pulih. Dan kamu, kamu sudah melalui begitu banyak. Apa yang terjadi pada malam itu bukan sepenuhnya salahmu."
Gita mendengarkan, tetapi hatinya belum bisa menerima. Rasa bersalah itu tetap ada, menghantui setiap langkahnya. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja hampir membunuh ayahnya, meski demi membela diri, merasa tenang?
"Mereka bilang aku harus pergi ke pengadilan," kata Gita pelan, menundukkan kepala. "Aku takut."
Rani mengangguk, wajahnya serius tapi penuh pengertian. "Iya, pengadilan keluarga akan menilai situasimu. Tapi ingat, kamu tidak sendirian dalam hal ini. Kami semua akan mendukungmu."
---
Hari pengadilan tiba. Gita duduk di kursi depan, tangannya gemetar memegang ujung bajunya. Jaksa mulai membacakan kronologi kejadian malam itu, seolah setiap kata adalah palu yang menghantamnya lebih keras. Saksi-saksi dipanggil, termasuk tetangga yang mendengar keributan dan menemukan ibunya yang sudah tidak bernyawa.
Ketika giliran Gita dipanggil, ruangan terasa membeku. Semua mata tertuju padanya, menunggu kata-katanya.
"Aku... aku hanya ingin melindungi mamaku. Aku takut. Ayahku, dia sering... dia sering melukai kami."
Air mata mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Tangannya mengepal erat. "Aku tidak berniat membunuhnya. Aku hanya ingin menghentikannya."
Hakim menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ditebak. Sesi pengadilan berjalan lambat, setiap detik terasa seperti jam. Hingga akhirnya, vonis dijatuhkan.
"Gita, apa yang terjadi adalah tragedi yang menyedihkan. Tapi pengadilan ini mengakui bahwa kamu bertindak dalam pembelaan diri dan keadaan yang mendesak. Kamu akan mendapatkan rehabilitasi yang lebih intensif, bukan hukuman penjara."
Ruangan terasa berputar. Gita nyaris tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Tidak ada penjara, tapi hidupnya tetap tidak akan pernah sama. Meski begitu, ada secercah harapan, meskipun tipis, bahwa suatu hari dia bisa memulai dari awal.
Keluar dari ruang pengadilan, Gita mengangkat wajahnya ke langit. Matahari tampak lebih cerah hari ini, meski luka di hatinya masih berdarah. Tapi mungkin, hanya mungkin, dia bisa belajar untuk sembuh dari segala luka yang ditinggalkan masa lalunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/378205885-288-k232370.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Teen FictionSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...