Waktu berlalu, dan hari-hari Gita di rumah sakit mulai mendekati akhir. Kondisinya semakin membaik, dan meski hatinya masih terluka, fisiknya sudah cukup kuat untuk kembali menjalani hidup di luar. Dengan dukungan Aisyah dan terapi yang intensif, perlahan-lahan ia mulai mengatasi trauma yang selama ini membelenggunya.Sore itu, Gita duduk di taman rumah sakit, menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Meski pikirannya masih penuh dengan bayangan masa lalu, hari ini terasa berbeda. Ada ketenangan yang ia rasakan, sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya. Dia tahu ini bukan akhir dari perjuangannya, tapi setidaknya, dia merasa sudah berada di jalan yang benar.
Aisyah datang dan duduk di sampingnya. “Kamu siap untuk pulang besok?”
Gita menatap langit biru di atasnya, kemudian mengangguk pelan. “Ya, aku siap. Meski aku masih merasa agak takut... tapi aku harus menghadapi semuanya.”
Aisyah tersenyum lembut. “Kamu sudah jauh lebih kuat sekarang, Gi. Tidak ada yang bisa menghentikan kamu untuk sembuh. Dan yang penting, kamu nggak sendiri.”
“Aku tahu, Ai,” jawab Gita. “Terima kasih karena selalu ada di sisiku. Aku nggak bisa bayangkan melewati semua ini tanpa kamu.”
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan yang ada. Gita menatap jauh ke depan, membayangkan kehidupan yang akan dia jalani setelah keluar dari rumah sakit. Meski masih banyak hal yang tidak pasti, dia bertekad untuk tidak lagi terjebak dalam rasa takut dan trauma. Dia ingin mulai dari awal, meski itu berarti harus perlahan-lahan.
“Ai,” suara Gita pelan, memecah keheningan. “Aku mau coba mulai kuliah lagi. Aku tahu mungkin itu akan sulit, tapi aku ingin mencoba.”
Aisyah menoleh, matanya berbinar mendengar keputusan Gita. “Itu ide yang bagus, Gi! Kamu pasti bisa. Aku yakin setelah semua yang kamu lewati, kuliah akan jadi langkah yang tepat buat kamu. Dan aku selalu ada untuk mendukungmu.”
Gita tersenyum, merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. “Aku tahu. Aku akan coba perlahan. Aku nggak mau buru-buru, tapi aku juga nggak mau terus terjebak di masa lalu.”
---
Hari kepulangan Gita tiba. Dengan koper kecil di tangan, Gita keluar dari rumah sakit, ditemani Aisyah yang setia di sampingnya. Mereka berjalan menuju mobil, siap untuk kembali ke dunia luar yang selama ini terasa begitu jauh bagi Gita.
Di jalan menuju rumah, Aisyah menatap Gita yang duduk diam, matanya menatap keluar jendela. “Gimana perasaan kamu, Gi?”
Gita menghela napas panjang. “Aku lega bisa keluar dari rumah sakit, tapi juga sedikit cemas. Kembali ke dunia nyata setelah semua yang terjadi... rasanya seperti mimpi.”
Aisyah tersenyum. “Itu wajar. Tapi kamu udah sangat kuat, Gi. Kamu udah melewati banyak hal yang orang lain mungkin nggak akan pernah bisa bayangkan. Kamu pantas untuk merasa bangga pada dirimu sendiri.”
Gita menatap Aisyah dan tersenyum tipis. “Aku masih belajar untuk itu. Tapi aku mau mencoba. Aku mau membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa bertahan.”
---
Beberapa minggu setelah kepulangannya, Gita memulai kembali kuliahnya. Awalnya, segalanya terasa canggung. Banyak orang masih memperlakukannya dengan curiga, bisik-bisik di belakangnya seolah tidak pernah berhenti. Beberapa mahasiswa masih menganggapnya sebagai "gadis yang membunuh ayahnya", meski kenyataannya berbeda jauh.
Namun, Gita tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Dia fokus pada pelajaran, berusaha mendapatkan kembali ritme hidup yang normal. Aisyah tetap menjadi sahabat setia, selalu ada di sampingnya, mendukung setiap langkah yang diambil Gita.
Hari itu, saat keluar dari kelas, Gita disambut oleh tatapan sinis dari beberapa mahasiswa. Di antara mereka, Sarah yang dulu membully-nya kini tak lagi ada—hanya sisa-sisa kebencian dari orang-orang yang tak tahu cerita sebenarnya.
Seseorang dari kelompok itu, seorang gadis bernama Nindy, berjalan mendekat dengan senyum mengejek di bibirnya. “Hei, Gita! Dengar-dengar nilai kamu bagus, ya? Hebat juga, padahal orang-orang sepertimu biasanya cuma bisa bikin masalah.”
Gita hanya menatap Nindy dengan tenang, tidak terpengaruh oleh sindiran itu. “Kalau kamu mau ngelucu, coba lebih baik lain kali,” jawabnya datar.
Wajah Nindy memerah, jelas tidak menyangka bahwa Gita akan menanggapi dengan tenang. “Kamu pikir kamu siapa? Kamu cuma...”
“Sudahlah, Nindy,” potong Aisyah tiba-tiba, datang dari belakang Gita. “Kamu nggak capek menghina orang lain terus? Hidupmu nggak ada yang lebih baik untuk dilakukan?”
Nindy terdiam, terpukul oleh kata-kata Aisyah. Dia mencoba melawan, tapi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Dengan tatapan marah, Nindy berbalik dan pergi, diikuti oleh teman-temannya.
Aisyah menatap Gita dengan senyum bangga. “Kamu hebat, Gi. Aku bangga sama kamu.”
Gita menghela napas lega. “Terima kasih, Ai. Aku masih belajar untuk nggak peduli pada orang-orang seperti mereka. Yang penting, aku tahu siapa diriku, dan itu sudah cukup.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Gita merasa dirinya benar-benar kuat. Dia tahu masa lalu masih ada, tapi dia juga tahu bahwa dia punya kekuatan untuk menghadapinya. Masa depan mungkin tidak pasti, tapi kali ini, Gita siap untuk apa pun yang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Genç KurguSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...