3.BAYANGAN LALU

46 27 0
                                    

Setiap langkah Gita menuju panti rehabilitasi terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang terus menahan tubuhnya. Hatinya masih bergemuruh, meskipun pengadilan telah memberikan keputusan yang ringan. Bebas dari penjara, ya, tapi apa yang tertinggal di dalam dirinya? Ia masih terkurung di dalam ingatannya sendiri-malam yang tidak pernah ia ingin ulang, tetapi tak pernah bisa ia lupakan.

Begitu masuk ke dalam panti, suasana terasa hampa. Ruangan yang terang benderang dengan dinding putih seharusnya terasa menenangkan, tapi bagi Gita, itu hanya pengingat bahwa hidupnya kini terisolasi dari dunia luar. Anak-anak lain yang duduk di sekitar ruang umum sibuk dengan aktivitas mereka, tetapi tak ada yang benar-benar tertawa. Mereka semua tahu-setiap dari mereka di sini memiliki cerita kelamnya masing-masing.

"Gita, apa kamu sudah merasa sedikit lebih baik?" tanya Rani, konselor yang kini mulai terasa seperti satu-satunya orang yang peduli pada dirinya.

Gita hanya mengangguk kecil. Kata-kata terasa terlalu sulit diucapkan. Bagaimana bisa ia merasa "lebih baik" jika setiap malam mimpi buruk itu datang tanpa ampun? Bayangan ayahnya yang tersungkur di lantai, wajah ibunya yang hampa, selalu menghantuinya seperti luka yang tak kunjung sembuh.

Rani menatapnya dengan sabar. "Hari ini, aku ingin kita mencoba sesuatu yang berbeda. Aku tahu kamu belum siap untuk bicara banyak, tapi mungkin dengan menggambar, kamu bisa mengekspresikan apa yang kamu rasakan."

Gita ragu sejenak, tapi akhirnya ia menerima kertas dan pensil yang disodorkan Rani. Menggambar? Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia menggambar. Itu mungkin waktu ketika hidupnya masih dipenuhi tawa dan pelukan hangat dari ibunya-sebelum ayahnya mulai menjadi monster yang merusak segalanya.

Dia mulai menggerakkan pensil di atas kertas. Garis demi garis tercipta tanpa arah jelas, tetapi secara perlahan, bentuk yang familiar mulai muncul. Ia menggambar sebuah rumah, tapi bukan rumah yang bahagia. Dindingnya retak, pintu depannya tertutup, dan jendela-jendelanya gelap. Di dalam rumah itu, ada seorang anak perempuan yang berdiri sendirian, memandang ke luar jendela. Wajahnya kosong, seolah semua perasaan telah diambil darinya.

"Bagus sekali, Gita," suara Rani lembut, meskipun ada nada prihatin dalam suaranya. "Apa ini yang kamu rasakan? Seperti anak kecil yang terjebak di dalam rumah yang rusak?"

Gita menggenggam pensilnya lebih erat, hatinya terasa tenggelam. Ya, itulah yang dia rasakan. Terkurung, tanpa harapan. Dunia di luar tampak terlalu jauh untuk digapai, sementara di dalam, segalanya sudah hancur.

"Mungkin aku memang seperti itu," jawab Gita pelan, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari semua ini."

Rani tersenyum lembut, meskipun matanya penuh empati. "Perjalananmu tidak akan mudah, Gita. Tapi ingat, kamu sudah mengambil langkah besar. Tidak banyak yang berani melakukan apa yang kamu lakukan-melawan untuk bertahan hidup. Itu membutuhkan kekuatan yang luar biasa."

Gita tidak yakin apakah yang dia lakukan itu kekuatan atau keputusasaan. Dia hanya tahu satu hal-dia tidak ingin terus hidup dalam ketakutan.

---

Malam itu, Gita duduk di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang putih polos. Semua anak-anak lain sudah tertidur, tapi Gita tidak bisa memejamkan matanya. Setiap kali mencoba, suara teriakan ayahnya dan jeritan ibunya kembali mengisi kepalanya. Ia teringat bagaimana ia dulu selalu berharap bahwa suatu hari, semua akan berubah. Bahwa ibunya akan bangkit, melawan, dan mereka bisa hidup bebas dari teror ayahnya.

Tapi kenyataannya, ibunya tidak pernah bangkit. Dan kini, Gita merasa tersesat di tengah kenyataan yang terlalu pahit untuk diterima.

Dari luar jendela, suara angin malam terdengar. Gita menarik nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Lalu, ia mengambil pensil dan kertas yang disediakan di meja samping ranjangnya. Kali ini, ia tidak menggambar rumah. Ia menggambar sosok dirinya, tapi dengan bayangan yang jauh lebih besar dan gelap di belakangnya. Sosok itu menyerupai ayahnya, tapi lebih menyeramkan-seperti monster yang siap menelannya kapan saja.

Tangannya gemetar ketika menggambar bayangan itu. Monster yang selama ini ia coba lawan, tetapi tetap muncul di setiap sudut hidupnya. Meskipun ayahnya sudah tiada di sisi nya, bayangan itu tidak pernah benar-benar pergi.

Saat matanya mulai terasa berat, Gita merenungkan satu hal: mungkin, ia harus menemukan cara untuk melawan monster yang satu ini-monster yang ada di dalam pikirannya sendiri.

---

Keesokan harinya, di sesi terapi bersama Rani, Gita membawa gambar yang ia buat semalam. Dia meletakkannya di meja tanpa banyak bicara. Rani melihatnya sejenak, kemudian menghela napas panjang.

"Ini menggambarkan banyak hal, Gita. Ketakutan, trauma, dan bayangan yang terus menghantuimu. Tapi kamu tahu, bayangan hanya ada jika ada cahaya. Kamu bisa memilih, apakah ingin terus hidup dalam bayangan itu, atau mencari cahaya yang bisa membantumu keluar."

Gita mengerutkan kening. "Bagaimana caranya aku bisa mencari cahaya itu? Semuanya terasa gelap bagiku."

Rani tersenyum lembut. "Cahaya bisa datang dari mana saja. Bisa dari keberanian untuk memaafkan dirimu sendiri, dari orang-orang yang peduli padamu, atau dari harapan kecil yang kamu tanamkan dalam dirimu. Tapi yang terpenting, kamu harus percaya bahwa kamu layak untuk menemukan cahaya itu."

Gita terdiam, mencerna kata-kata itu. Sesuatu dalam dirinya mulai sedikit berubah-seperti ada secercah harapan yang baru saja menyusup di tengah kegelapan yang selama ini menelannya. Mungkin, meski perlahan, ia bisa menemukan jalannya sendiri.

Bukan untuk lari dari bayangan, tapi untuk menghadapi monster itu, dan akhirnya, meraih kebebasan yang sesungguhnya.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang