Setelah kelas usai, Gita dan Aisyah memutuskan berjalan menuju kantin untuk makan siang. Suasana kampus siang itu cukup ramai, dengan mahasiswa yang lalu-lalang sambil membawa buku atau duduk santai di taman.
“Gi, kamu nggak kelihatan fokus banget tadi pas presentasi,” ujar Aisyah sambil melirik Gita.
“Iya, ya?” Gita menjawab tanpa semangat, pandangannya lurus ke depan.
“Ya iya lah! Kamu sampai nyebut ‘reaksi oksigen’ jadi ‘reaksi oksigenasi’. Itu bikin dosen kita ngangkat alis, loh.” Aisyah tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Gita tersenyum tipis, tapi kemudian menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Ai. Kayaknya pikiranku lagi penuh banget.”
Aisyah menghentikan langkahnya. “Penuh kenapa? Kamu masih mikirin ayah kamu, ya?”
Gita hanya diam, tapi tatapannya yang menerawang sudah menjawab pertanyaan Aisyah.
“Gi, aku ngerti ini nggak gampang buat kamu. Tapi kamu nggak bisa nyalahin diri sendiri terus-menerus. Apa yang terjadi itu di luar kontrol kamu,” ucap Aisyah dengan nada serius.
“Aku tahu, Ai,” Gita akhirnya berkata dengan suara pelan. “Tapi… aku masih kepikiran kata-kata ayahku waktu aku ke sana kemarin. Dia bilang aku nggak pantas hidup. Dia bahkan menyalahkan Mama. Aku marah, Ai. Tapi di satu sisi, aku juga sedih. Dia satu-satunya keluarga yang aku punya sekarang.”
Aisyah menggenggam tangan Gita dengan erat. “Gi, kamu nggak sendiri. Ada aku di sini. Kamu punya aku.”
Gita tersenyum tipis, tapi air matanya mulai menggenang. Ia cepat-cepat menghapusnya, berusaha kuat di depan Aisyah.
“Ya udah, ayo kita makan dulu. Kamu butuh tenaga,” Aisyah menarik lengan Gita, mengajaknya masuk ke kantin.
Namun, ketika makanan sudah di depan mereka, Gita hanya menatap kosong. Sendoknya bahkan belum menyentuh nasinya.
“Gi, makan dulu, dong. Jangan cuma ditatap,” ujar Aisyah, mulai khawatir.
“Aku nggak lapar, Ai,” jawab Gita lemah.
“Gita!” Aisyah menaikkan nada suaranya. “Aku nggak mau kamu tumbang lagi. Kamu tahu nggak, kemarin itu aku hampir jantungan lihat kamu pingsan. Kalau kamu nggak mau makan buat diri kamu, makanlah buat aku. Please.”
Gita akhirnya mengambil sendoknya dan memaksakan diri untuk makan. “Oke, aku makan. Tapi jangan cerewet, ya.”
Aisyah tersenyum puas. “Good. Sekarang, coba lupakan dulu semua itu. Kita fokus ke tugas berikutnya. Kalau kamu butuh cerita, aku selalu ada.”
Meskipun percakapan itu berakhir ringan, hati Gita masih berat. Di tengah keramaian kantin, pikirannya melayang ke wajah ayahnya yang penuh kebencian, suara makian yang masih bergema di telinganya, dan kenangan akan Mamanya yang menjadi pelipur laranya selama ini.
Sesekali, ia juga teringat sosok pria misterius yang muncul kemarin. Siapa dia sebenarnya? Mengapa ia seperti mengenal tatapan itu? Semua pertanyaan itu memenuhi benaknya, membuatnya merasa semakin tertekan.
“Gi,” Aisyah menyela lamunannya lagi. “Setelah ini kita langsung pulang atau mau mampir dulu ke tempat lain?”
Gita terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku mau mampir ke makam Mama dulu, Ai. Kamu nggak apa-apa pulang duluan, kan?”
Aisyah mengangguk. “Nggak apa-apa. Tapi nanti kabarin aku, ya. Jangan lupa makan malam juga.”
Gita tersenyum kecil. “Iya, Ai. Makasih.”
Mereka akhirnya berpisah di depan kampus. Gita naik motor menuju makam Mamanya dengan membawa bunga mawar yang indah, berusaha mencari ketenangan di tengah pikirannya yang kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Fiksi RemajaSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...