Meskipun Gita menggantungkan kalung bintang itu di lehernya sebagai simbol harapan, rasa takut dan keraguan tetap menggelayuti pikirannya. Hari-hari berlalu, dan meski Rama terus berusaha mendekatinya, Gita merasa semakin terjebak dalam dilema. Setiap kali dia melihat Rama, ada ketertarikan yang muncul, tetapi rasa trauma dan ketakutannya selalu membuatnya mundur.Di panti, saat teman-teman lain mulai membentuk ikatan yang kuat, Gita memilih untuk menjaga jarak. Dia merasa lebih nyaman dalam kesendirian. Setiap kali Rama mencoba berbicara lebih dalam atau mengajaknya melakukan kegiatan bersama, Gita akan memberikan jawaban singkat dan cepat berlalu. Ia tidak ingin menyakiti Rama, tetapi ia juga tidak bisa mengizinkan dirinya untuk membuka hati.
Suatu hari, saat Gita duduk di taman sendirian, Rani mendekatinya. "Kamu terlihat berpikir keras, Gita. Ada yang ingin kamu bicarakan?" Rani menanyakan dengan nada lembut.
Gita menggeleng, berusaha tersenyum meski tidak yakin. "Tidak ada, Rani. Aku baik-baik saja."
"Tapi aku bisa melihat ada yang mengganggu pikiranmu," jawab Rani, duduk di samping Gita. "Apakah itu tentang Rama?"
Mendengar nama itu, Gita langsung menundukkan kepala, merasa jantungnya berdegup kencang. "Aku tidak tahu, Rani. Dia baik, tapi... aku tidak bisa. Aku tidak bisa mendekatinya."
"Kenapa?" tanya Rani, matanya penuh perhatian. "Dia terlihat peduli padamu. Itu hal yang baik, bukan?"
Gita menggigit bibirnya, merasa kesal. "Aku tidak mau menyakiti dia. Aku tidak mau dia melihat sisi gelapku. Dia tidak tahu siapa aku sebenarnya. Jika dia mengetahui apa yang terjadi padaku, dia akan pergi."
Rani menarik napas dalam-dalam, menatap Gita dengan empati. "Tapi Gita, bukankah itu yang seharusnya? Menerima satu sama lain dengan segala kelebihan dan kekurangan? Tidak ada yang sempurna. Kita semua punya masa lalu."
"Ya, tapi... aku tidak bisa memberi apa-apa padanya," ucap Gita. "Aku masih berjuang dengan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa membiarkan seseorang terjebak dalam masalahku?"
Rani mengangguk, memahami. "Aku mengerti bahwa kamu merasa berat. Tapi kadang-kadang, berbagi beban itu justru bisa meringankan. Jika kamu terus menutup diri, kamu hanya akan semakin kesepian."
Gita terdiam, mencoba mencerna kata-kata Rani. Dia ingin mempercayainya, tetapi ada rasa takut yang selalu membuatnya mundur. Setiap kali ada orang yang mendekat, dia merasa seolah-olah tembok yang dia bangun akan runtuh, dan dia tidak tahu bagaimana cara membangun kembali ketika itu terjadi.
---
Hari-hari berikutnya, Gita terus menjauh dari Rama. Dia memperhatikan saat Rama berusaha keras untuk mencari perhatian dan membuatnya nyaman, tetapi Gita hanya bisa menghindar. Dia melihat senyum Rama memudar seiring dengan kesedihan yang terlihat di wajahnya. Gita merasa tertekan, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia lebih baik sendirian, bukan?
Satu sore, saat semua anak-anak lain berkumpul untuk berolahraga di lapangan, Gita memutuskan untuk tetap di dalam ruangan. Dia merasa cemas dan tidak ingin berinteraksi dengan siapa pun. Namun, ketika dia mendengar suara tawa dan keceriaan di luar, hatinya merasa berat. Seharusnya dia di sana, seharusnya dia merasakan kebahagiaan itu, tetapi kakinya terasa berat untuk bergerak.
Gita memutuskan untuk keluar sejenak, hanya untuk melihat. Dia melihat Rama sedang bermain sepak bola dengan anak-anak lain, wajahnya bersinar penuh semangat. Namun, saat mata mereka bertemu, Gita merasa jantungnya bergetar. Ada kerinduan yang mendalam dalam dirinya, tetapi ketakutan itu kembali mendorongnya untuk mundur.
Gita berbalik dan kembali ke dalam ruangan. Dia tidak bisa melihatnya. Tidak bisa melihat Rama bergerak tanpa beban, sementara dia sendiri merasa seperti terjebak dalam kegelapan yang tidak bisa dia tinggalkan.
Namun, saat dia melangkah pergi, Gita mendengar suara lembut di belakangnya. "Gita!" seru Rama, napasnya sedikit terengah-engah saat dia berlari mengejarnya.
Gita berhenti, merasa panik. Dia tidak ingin berhadapan dengan Rama, tidak ingin menjelaskan kenapa dia terus menjauh. "Ada apa?" tanyanya, berusaha terdengar datar.
Rama mengangkat tangan, berusaha tenang meski wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Kamu tidak perlu terus menghindariku. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu menjauh."
Gita merasa tertekan, kata-kata itu terasa seperti belenggu yang mengikatnya. "Aku hanya butuh waktu sendiri, Rama," jawabnya cepat. "Aku tidak siap untuk semua ini."
Rama terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Gita. "Tapi kita tidak akan tahu jika kita tidak mencoba, kan? Hidup ini terlalu singkat untuk terus bersembunyi di balik rasa takut."
"Rasa takut bukan sesuatu yang bisa aku kontrol," ucap Gita, air matanya mulai menggenang. "Aku tidak bisa membiarkan diriku terluka lagi. Dan aku tidak mau kamu terjebak dalam hidupku yang kacau."
"Gita," Rama berkata dengan suara lembut namun tegas, "aku sudah melihat hidupku hancur. Tapi aku tidak ingin menjalani hidup ini sendirian. Aku ingin berbagi, baik itu suka maupun duka. Dan aku ingin berbagi itu denganmu."
Gita merasakan kepedihan dalam kata-kata Rama. Dia tahu bahwa apa yang dia katakan adalah kebenaran, tetapi perasaan bersalah dan ketakutan terus mengganggu pikirannya. Dia ingin mengatakan ya, ingin merasakan cinta itu, tetapi ketakutan untuk kehilangan lebih dalam lagi membuatnya ragu.
"Maaf, Rama," kata Gita, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa. Aku... tidak bisa."
Setelah mengucapkan itu, Gita berbalik dan melangkah cepat, meninggalkan Rama di belakang. Dia merasa hatinya remuk, tetapi dia tahu itu adalah jalan yang harus dia ambil. Dia tidak siap untuk mencintai, tidak siap untuk membuka diri. Dan meskipun dia merindukan kehadiran Rama, dia lebih takut akan kehilangan dan rasa sakit yang bisa muncul jika dia membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupnya.
---
Di malam hari, Gita duduk di kamarnya, menatap langit malam melalui jendela. Kalung bintang itu berkilauan dalam cahaya bulan, seolah mengingatkannya pada kata-kata Rama. "Selalu ada cahaya, bahkan di tengah kegelapan." Namun, di dalam hatinya, Gita merasa seperti berjuang melawan arus. Dia terjebak antara keinginan untuk mencintai dan rasa takut yang menghantuinya.
Mengambil napas dalam-dalam, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapi ketakutannya. Mungkin suatu hari, dia akan siap untuk membuka hati dan membiarkan seseorang masuk. Tapi hari itu belum tiba. Dia harus memperbaiki dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum berusaha untuk mencintai orang lain.
Dengan pikiran yang berat, Gita mengalihkan pandangannya dari bulan yang indah dan berusaha menenangkan dirinya, berharap suatu saat dia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan yang selama ini membelenggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Teen FictionSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...