10.1 DIANTARA 1000

34 26 0
                                    


Setelah berbulan-bulan berjuang dengan masa lalunya di rumah lama, Gita memutuskan untuk melanjutkan hidupnya. Dia mendaftar kuliah di kota yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Mungkin, pikirnya, dengan lingkungan baru, dia bisa memulai babak baru yang lebih baik. Meninggalkan trauma masa kecil dan kematian Rama di belakangnya, Gita berharap kuliah akan memberinya kesempatan untuk hidup normal. Namun, kenyataannya jauh berbeda dari yang dia bayangkan.

Begitu memasuki semester pertama, Gita segera menyadari bahwa kuliah bukanlah pelarian yang dia inginkan. Sejak hari pertama, tatapan dingin dan bisikan-bisikan di sekelilingnya selalu mengikuti ke mana pun dia pergi. Gosip menyebar dengan cepat di antara mahasiswa. Orang-orang mulai berbisik-bisik di belakangnya, menatapnya seolah-olah dia membawa rahasia gelap yang tidak ingin mereka dekati. Awalnya, Gita tidak mengerti kenapa mereka menjauh, sampai akhirnya dia mendengar sendiri apa yang mereka katakan.

"Gita? Dia yang mencoba membunuh ayahnya, kan?"

"Ya, aku dengar dia punya masalah mental sejak kecil. Gak aman deh, jangan dekat-dekat."

Gita terdiam saat mendengar bisikan-bisikan itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena rasa takut, tapi karena rasa sakit yang menyelinap masuk. Semua itu bohong, tentu saja. Kenyataannya, ayahnya sendiri yang mencoba menghancurkan hidup mereka, bukan dia. Tapi di mata orang lain, dia dianggap sebagai gadis yang tidak waras, yang pernah mencoba membunuh ayahnya sendiri. Kabar burung itu sudah menjadi bagian dari cerita hidupnya, meskipun tidak pernah benar.

Setiap hari, Gita pergi ke kampus dengan hati yang berat. Teman-teman sekelasnya menjauhi dia, mereka tidak pernah mau mengajaknya bicara atau bahkan duduk di sebelahnya. Saat makan siang di kantin, Gita selalu duduk sendiri, mencoba menyibukkan diri dengan buku atau catatan kuliah, meskipun rasa kesepian menggerogoti setiap detik yang berlalu.

Namun, ada satu orang yang tidak menghindarinya. Namanya Aisyah, seorang gadis pendiam dengan senyum lembut yang sesekali menghampiri Gita ketika yang lain memilih menjauh. Aisyah tidak pernah bertanya tentang masa lalu Gita atau percaya pada gosip yang beredar. Dia hanya duduk bersama Gita, berbagi cerita ringan atau sekadar diam bersama, membuat Gita merasa sedikit lebih diterima.

"Apa kamu tidak takut mendekatiku?" tanya Gita pada suatu hari, setelah mereka selesai makan siang bersama di kantin yang sepi. Aisyah menatapnya, terlihat bingung dengan pertanyaan itu.

"Kenapa aku harus takut?" jawabnya sambil tersenyum kecil. "Aku lebih suka mengenal orang dari apa yang mereka tunjukkan sendiri, bukan dari apa yang orang lain katakan."

Kata-kata Aisyah membuat Gita terdiam. Itu pertama kalinya sejak lama ada seseorang yang tidak memandangnya melalui lensa prasangka. Meskipun mereka tidak sering berbicara tentang hal-hal pribadi, kehadiran Aisyah di sisinya membuat Gita merasa ada satu titik terang di tengah kegelapan hidupnya di kampus.

Namun, meskipun Aisyah bersikap baik, Gita tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan setiap kali melewati lorong-lorong kampus. Tatapan-tatapan itu, bisikan-bisikan di belakang punggungnya, membuatnya selalu merasa tidak diinginkan. Setiap kali mendengar rumor yang menyebut dirinya sebagai gadis yang mencoba membunuh ayahnya, Gita merasa hancur, meskipun dia tahu itu tidak benar.

Dalam hatinya, Gita tahu dia tidak bisa terus-menerus melarikan diri dari masa lalu. Dia tahu bahwa trauma masa kecilnya masih hidup di dalam dirinya, dan jika dia tidak menghadapi itu, rumor dan gosip akan selalu menghantuinya, ke mana pun dia pergi. Namun, meski dia tahu itu, rasa sakitnya terlalu dalam, terlalu sulit untuk diatasi.

Suatu hari, ketika dia sedang duduk sendirian di taman kampus, mencoba menenangkan pikirannya, Gita mendengar sekelompok mahasiswa berjalan melewatinya sambil tertawa kecil. Mereka menatapnya sebentar, lalu berbisik sesuatu yang tidak bisa dia dengar dengan jelas. Tapi meski begitu, dia tahu apa yang mereka bicarakan. Hatinya terasa semakin hancur, seolah-olah setiap kali mereka berbisik, itu adalah tusukan baru ke dalam luka yang belum sembuh.

"Kenapa semua orang selalu menghakimiku tanpa tahu kebenarannya?" gumam Gita, matanya berkaca-kaca.

Gita tahu dia harus kuat, tetapi terkadang kekuatan itu terasa seperti sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Meskipun dia sudah melarikan diri dari masa lalunya, itu tetap menghantui setiap langkah yang dia ambil. Gosip tentang dirinya telah menjadi bayangan gelap yang mengikutinya ke mana pun dia pergi. Dan meskipun dia memiliki Aisyah, satu teman yang mau berdiri di sampingnya, rasa kesepian dan penolakan dari yang lain tetap terasa terlalu besar untuk diabaikan.

Malam itu, Gita pulang ke apartemennya yang kecil, merasa lebih kosong dari sebelumnya. Di ruangan itu, dia hanya memiliki dirinya sendiri, dan kesunyian yang menyelimuti seolah-olah mengingatkannya pada semua yang hilang dalam hidupnya-keluarga, teman, dan sekarang kesempatan untuk memulai hidup baru yang normal. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap dinding kosong, mencoba menahan air mata yang sudah lama ditahannya.

Dengan suara pelan, dia berbisik pada dirinya sendiri, "Apa aku akan selalu begini? Selalu dianggap sebagai gadis rusak yang tidak pantas mendapatkan kebahagiaan?"

Pikiran itu menghantui dirinya malam itu. Meskipun dia tahu kebenarannya, meskipun dia tahu bahwa semua tuduhan itu salah, rasanya tidak ada jalan keluar.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang