Di ruang ICU yang dingin, monitor detak jantung yang sebelumnya berdetak lambat kini berhenti. Sebuah keheningan menyelimuti ruangan, menggantung di udara dengan berat yang tak terjelaskan. Aisyah, yang masih duduk di samping ranjang, menoleh dengan cepat ke arah layar monitor, napasnya tertahan.Seketika, suasana menjadi kacau. Perawat dan dokter berlari masuk ke dalam ruangan, menarik Aisyah menjauh dengan paksa dari sisi tempat tidur Gita. Tangannya yang lemah terlepas dari genggaman tangan sahabatnya yang sudah terasa dingin. "Apa yang terjadi?" tanyanya dalam panik, tubuhnya gemetar. "Gita? Apa yang terjadi dengan Gita?"
Tapi tak ada yang menjawab. Para dokter berusaha keras menstabilkan kembali detak jantung Gita yang sudah berhenti, tangan mereka bergerak cepat di atas tubuh yang terbaring tanpa daya itu. Suara alat defibrillator yang memekakkan telinga memenuhi ruangan, disusul oleh suara bip dari mesin yang mencatat tiap kejadian.
"Aisyah, keluar dulu!" seru salah seorang perawat, mencoba membawa Aisyah menjauh.
Namun Aisyah menolak. Dia tetap berdiri di ambang pintu, matanya tak pernah lepas dari tubuh sahabatnya yang terbujur kaku di ranjang. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, dadanya terasa sesak seperti dihantam sesuatu yang berat. Semua suara terdengar samar, hanya deru jantungnya sendiri yang bergemuruh di telinganya.
Waktu terasa melambat, namun segalanya berjalan begitu cepat.
"Apa dia akan baik-baik saja?" bisik Aisyah, suaranya tenggelam di antara jeritan hatinya yang tak terdengar.
Dokter masih berjuang, memberikan instruksi pada tim medis. Tapi monitor itu tidak berubah. Tidak ada detak, tidak ada tanda kehidupan. Hanya garis lurus yang terus-menerus menghantui ruangan, sebuah sinyal kematian yang tak terbantahkan.
Aisyah tak bisa menahan air matanya lagi. Tubuhnya lemas, lututnya terlipat, membuatnya jatuh berlutut di lantai dingin itu. Air mata mengalir deras di pipinya. Semua kenangan tentang Gita berputar di dalam pikirannya-tawa mereka, percakapan panjang mereka, janji untuk selalu bersama-sama menghadapi dunia yang sulit ini. Semuanya terasa hancur dalam sekejap mata.
"Gita... jangan pergi," bisiknya, suaranya serak oleh isak tangis yang tertahan.
Perlahan, dokter berhenti. Mereka semua menatap monitor dengan wajah muram. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Salah seorang dokter menatap perawat dan mengangguk kecil. Perawat itu pun melangkah mendekati Aisyah dengan wajah penuh simpati.
"Kami sudah melakukan yang terbaik," kata perawat itu dengan suara pelan, tapi kata-kata itu terdengar seperti hukuman mati bagi Aisyah.
"Tidak..." desis Aisyah, mengguncang kepalanya. "Tidak mungkin... ini tidak mungkin... Gita tidak mungkin pergi."
Wajahnya basah oleh air mata yang mengalir tanpa henti. Dia menatap tubuh sahabatnya, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Tapi tidak ada yang berubah. Hanya keheningan yang tersisa, dan tubuh Gita yang terbaring diam, seolah waktu telah memenjarakannya dalam ketiadaan.
"Kamu janji, Gi..." suaranya pecah, hampir tak terdengar lagi. "Kamu janji gak akan ninggalin aku..."
Tidak ada jawaban. Tidak ada Gita yang tersenyum, tidak ada suara sahabat yang biasa menenangkannya. Hanya keheningan yang menusuk, membuat seluruh hatinya tenggelam dalam kekosongan.
"Kenapa kamu pergi?" bisiknya lagi, tangannya bergetar saat dia mencoba meraih tangan Gita yang dingin. Tapi tangan itu tidak lagi membalas, tidak lagi terasa hangat.
Semua harapannya runtuh, hancur dalam sekejap.
Di tengah keheningan itu, Aisyah hanya bisa menangis. Tidak ada lagi yang tersisa. Sahabat yang selama ini dia perjuangkan, yang selama ini menjadi kekuatannya, kini telah pergi. Dan Aisyah tahu, kehilangan sosok gita adalah hantaman yang luar biasa.
Sahabat yang hancur secara emosional dan mental yang tengah ia kuatkan kini tak ada lagi.
Langit di luar semakin gelap, hujan turun perlahan, seakan alam pun ikut menangisi kepergian Gita.
![](https://img.wattpad.com/cover/378205885-288-k232370.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Ficção AdolescenteSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...