14.SIRINE KEDUA KALI

35 20 1
                                    


Hari-hari berlalu, dan meskipun Gita berusaha untuk tetap tegar dengan bantuan Aisyah, Sarah tak pernah berhenti mengusiknya. Setiap kali Sarah melihat Gita tersenyum, ia merasa amarahnya semakin membara. Rasa iri dan kebenciannya semakin mendalam. Bagaimana mungkin Gita, dengan segala yang terjadi, masih bisa tersenyum? Bagi Sarah, itu adalah sebuah penghinaan. Ia merasa Gita tidak layak mendapat kebahagiaan.

Sore itu, Sarah sedang bersama teman-temannya di parkiran kampus, menatap Gita yang tengah berjalan menuju pintu gerbang dengan senyum kecil di wajahnya, tampak baru saja selesai berbincang dengan Aisyah.

"Lihat tuh, si Gita sok bahagia lagi," kata Sarah dengan suara tajam, tangan terkepal di samping tubuhnya. "Seolah-olah semua orang percaya sama dia! Kenapa semua orang berpikir dia korban?"

Salah satu temannya, Lisa, mengangkat bahu. "Ya, mungkin dia emang lagi berusaha tenang, Sar. Udahlah, biarin aja dia."

"Biarin?" Sarah tertawa sinis. "Gak ada yang bisa bikin aku biarin dia! Gita itu bikin aku terlihat buruk di depan semua orang. Padahal jelas-jelas dia yang bermasalah!" Tatapan Sarah berubah dingin. "Aku udah gak tahan lagi sama dia. Gita harus diajarin pelajaran. Pelajaran yang gak bakal dia lupain."

Lisa mulai merasa tidak nyaman. "Sarah, jangan keterlaluan. Kita udah cukup keras ke dia. Mungkin-"

"Sstt," Sarah memotong, tatapannya tak lepas dari Gita yang semakin jauh. "Aku tahu apa yang aku lakukan. Dia bakal tahu rasanya berada di bawah. Kali ini, dia gak akan bisa bangkit."

Sarah masuk ke mobilnya dengan marah, menyalakan mesin dengan suara raungan keras, membuat teman-temannya terkejut. "Sarah! Jangan gila!" Lisa berteriak panik saat Sarah mulai melajukan mobilnya.

Namun, Sarah tidak mendengarkan. Amarahnya membutakan akal sehatnya. Ia menginjak pedal gas dengan keras, matanya terfokus pada sosok Gita yang sedang berjalan sendirian di pinggir jalan. Jarak antara mereka semakin dekat. Pikiran Sarah penuh dengan kebencian dan dendam.

"Sarah, hentikan!" teriak Lisa lagi dari luar mobil, tapi Sarah sudah kehilangan kendali atas amarahnya. Suara klakson tak henti-henti dibunyikannya, membuat Gita yang awalnya tak menyadari bahaya menoleh ke belakang.

Saat itu, segalanya terjadi begitu cepat. Gita menatap mobil Sarah yang melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Matanya membelalak, tubuhnya kaku, tak ada waktu untuk melompat atau berlari menghindar.

"BRAKK!!"

Teriakan Gita melengking saat tubuhnya terpental ke udara, jatuh menghantam aspal dengan suara keras. Dunia seolah berhenti berputar sesaat. Tubuh Gita terbaring tak bergerak di tengah jalan, darah perlahan mengalir dari kepalanya, membasahi aspal.

"GITA!!" teriak Aisyah dari kejauhan, yang baru saja keluar dari gerbang kampus dan menyaksikan peristiwa mengerikan itu. Dia berlari secepat mungkin, namun semuanya terasa terlalu lambat.

Sarah menghentikan mobilnya mendadak, terengah-engah di belakang kemudinya. Untuk sesaat, dia membeku. Matanya menatap cermin belakang, melihat tubuh Gita yang terkapar di jalan. Teman-temannya yang tadi ikut bersamanya mulai berlarian menuju Gita, panik.

"Sarah, apa yang kamu lakukan?!" Lisa berteriak dari luar mobil, suaranya penuh ketakutan. "Kamu gila! Kamu bisa membunuhnya!"

Sarah menatap Lisa dengan mata terbuka lebar, penuh ketidakpercayaan pada apa yang baru saja dia lakukan. Tangan Sarah bergetar di atas setir. "Aku... aku gak bermaksud..."

"Kamu udah kelewatan, Sarah!" teriak Lisa lagi. "Kita harus panggil ambulans!"

Aisyah sudah sampai di sisi Gita, menjerit histeris melihat kondisi sahabatnya yang tak sadarkan diri. "Gita... Gita, bangun! Tolong, bangun! Jangan tinggalkan aku, Gita!" isaknya, sambil mengguncang tubuh Gita yang lemah.

Orang-orang di sekitar mulai berkumpul, suasana semakin kacau. Seseorang memanggil ambulans, namun waktu terasa berjalan begitu lambat bagi Aisyah yang terus menangis di samping tubuh Gita. Darah semakin banyak, dan Aisyah tahu ini buruk. Sangat buruk.

Sarah keluar dari mobil dengan langkah gemetar, wajahnya pucat. "Aku gak sengaja... aku cuma mau menakuti dia... aku gak bermaksud ini terjadi..."

Lisa mendekat dengan wajah marah. "Sarah, kamu gila! Lihat apa yang udah kamu lakuin! Gita bisa mati!"

Mendengar kata 'mati', Sarah menelan ludah, semakin gemetar. "Dia gak bakal mati... kan? Aku... aku gak bermaksud..."

Namun, Aisyah menoleh tajam ke arah Sarah, matanya penuh kebencian. "Kamu!!" teriak Aisyah dengan suara pecah. "Ini semua salah kamu, Sarah! Kamu udah keterlaluan! Gita gak pernah ganggu kamu, tapi kamu terus menyakitinya sampai kayak gini! Kamu monster!"

Sarah mundur, wajahnya penuh rasa bersalah, tapi juga tak tahu harus berkata apa. "Aku gak bermaksud... aku cuma..."

"Tutup mulut kamu!" Aisyah berteriak lagi. "Kamu udah bikin sahabat aku terbaring di sini, berdarah-darah! Kamu gak tahu gimana rasanya, kan?!"

Tangis Aisyah semakin keras, suaranya parau dan penuh kepedihan. "Kamu gak punya hak untuk ngelakuin ini! Gita gak pernah layak buat diperlakukan kayak gini!"

Suara sirene ambulans mulai terdengar dari kejauhan, tapi bagi Aisyah, waktu seolah berjalan lambat. Dia terus memeluk tubuh Gita, berusaha menahan darah yang mengalir dari kepala sahabatnya.

"Gita... tolong bangun... tolong, jangan tinggalin aku..." bisik Aisyah dengan tangis yang tertahan. "Aku butuh kamu... aku gak bisa sendiri tanpa kamu..."

---

Saat ambulans tiba, petugas segera bergegas mendekati Gita, memeriksa denyut nadinya yang lemah. Mereka segera mengangkat tubuh Gita ke atas tandu, lalu membawanya masuk ke dalam ambulans. Aisyah ikut masuk, masih terisak sambil menggenggam tangan Gita yang dingin.

"Dia masih hidup... tapi kondisinya kritis," ucap salah satu petugas kepada Aisyah.

Aisyah hanya bisa mengangguk, matanya tak lepas dari wajah pucat Gita yang tak sadarkan diri. Tangannya menggenggam erat tangan sahabatnya, seolah berusaha menyalurkan seluruh kekuatannya agar Gita bisa bertahan.

Di luar, Sarah masih berdiri di tempat, tubuhnya gemetar hebat. Matanya berkaca-kaca, menatap ambulans yang semakin menjauh. Kini, kenyataan mulai menghantamnya. Apa yang telah dia lakukan?

"Sarah," suara Lisa terdengar pelan namun tegas. "Kamu udah menghancurkan hidup seseorang."

Air mata mulai mengalir di pipi Sarah. "Aku gak bermaksud... aku cuma..."

"Kamu harus bertanggung jawab," kata Lisa dingin. "Apa pun alasannya, kamu udah terlalu jauh."

Sarah jatuh berlutut di trotoar, tangisannya pecah. Semua kebencian, dendam, dan iri yang selama ini dia pendam berubah menjadi penyesalan yang terlambat. Gita, gadis yang selama ini dia hina, sekarang berada di ambang maut karena kebodohan dan kebenciannya sendiri.

Namun, waktu tak bisa diputar kembali.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang