5.CINTA DALAM BAYANGAN

42 24 0
                                    


Hari-hari di panti rehabilitasi terus berlalu, dan Gita mulai merasakan kehidupan yang sedikit lebih normal, meskipun trauma masa lalunya masih menancap dalam di hatinya. Dia mulai mengikuti kelas-kelas pendidikan di panti, berkumpul dengan beberapa anak lain, dan perlahan-lahan kembali menemukan ritme hidup yang lebih stabil. Namun, meskipun ia berusaha menjalani hari-harinya, hatinya masih terasa jauh. Dia masih terjebak dalam kenangan kelam masa lalunya.

Pada suatu pagi, seorang anak baru datang ke panti. Namanya Rama. Tinggi, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan dan mata tajam yang menyiratkan banyak rahasia. Tidak banyak yang tahu dari mana dia berasal atau apa yang membuatnya berada di sini, tapi desas-desus beredar bahwa hidupnya juga tidak mudah.

Gita melihat Rama dari kejauhan saat pertama kali dia tiba, dan tidak begitu memikirkannya. Dia tidak tertarik pada orang lain, apalagi membangun hubungan. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan trauma yang terus menghantuinya. Namun, yang tidak disadari Gita, Rama sering memperhatikannya.

---

Rama adalah anak yang pendiam, tapi ada sesuatu tentang Gita yang menarik perhatiannya. Setiap kali dia melihat Gita, dia merasa ada kesamaan di antara mereka-rasa sakit yang mendalam, yang sama-sama mereka sembunyikan di balik wajah dingin dan sikap acuh. Lama kelamaan, Rama mulai mencari cara untuk mendekati Gita, meskipun dia tahu itu tidak akan mudah.

Suatu sore, ketika Gita duduk sendirian di bawah pohon di halaman panti, Rama mendekat tanpa suara. Dia tahu Gita tidak suka keramaian dan jarang berbicara dengan anak-anak lain, tapi dia merasa ini saat yang tepat.

"Hai," sapa Rama dengan suara pelan.

Gita menoleh dan menatapnya sekilas. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya kembali menatap ke arah depan. Biasanya, dia akan mengabaikan siapa pun yang mencoba berbicara dengannya, tapi ada sesuatu tentang Rama yang membuatnya tidak langsung menghindar.

"Aku sering melihatmu di sini," lanjut Rama, mencoba memulai percakapan. "Kamu suka sendirian, ya?"

Gita mengangguk pelan tanpa menatapnya. Dia tidak terbiasa berbicara dengan orang lain, apalagi dengan orang yang baru dia temui.

"Nama aku Rama," katanya lagi, berusaha terdengar santai. "Kamu pasti tahu, kan? Aku anak baru di sini."

Gita mengangguk sekali lagi. "Gita," jawabnya singkat, meski tidak diminta.

Rama tersenyum sedikit. "Aku dengar tempat ini tidak mudah bagi semua orang. Tapi kadang, lebih baik daripada di luar sana."

Gita menatap Rama untuk pertama kalinya dengan lebih serius. Kata-kata itu membuatnya penasaran. Sepertinya, Rama juga membawa luka yang tak terlihat, seperti dirinya. Tapi dia tidak mau terjebak dalam perasaan simpati. Terlalu berisiko untuk membuka diri, apalagi dengan seseorang yang baru saja dia temui.

"Setiap orang punya masalahnya sendiri," jawab Gita akhirnya, suaranya datar.

"Benar," sahut Rama, "dan kita semua mencoba mencari cara untuk menyembuhkan diri, meski kadang terasa sulit."

Mereka berdua terdiam. Untuk pertama kalinya, Gita tidak merasa terganggu dengan kehadiran seseorang di sampingnya. Biasanya, ia merasa canggung, tidak nyaman, atau takut orang lain akan mencoba masuk ke dalam kehidupannya yang rusak. Tapi Rama tampak berbeda. Dia tidak memaksakan diri, tidak menuntut apapun. Dia hanya ada di sana, dan entah kenapa, Gita merasa itu cukup.

---

Hari-hari berikutnya, Rama sering duduk bersama Gita di tempat yang sama. Mereka tidak selalu berbicara banyak, tetapi kehadiran Rama mulai menjadi sesuatu yang Gita nantikan, meski ia enggan mengakuinya. Ada sesuatu tentang keheningan di antara mereka yang terasa nyaman, sesuatu yang tidak pernah Gita temukan sebelumnya.

Suatu sore, saat mereka kembali duduk di bawah pohon, Rama mulai bercerita tentang masa lalunya. "Aku ada di sini karena kecelakaan," katanya tiba-tiba, membuat Gita terkejut. "Ibuku meninggal, dan aku merasa itu salahku. Aku tidak bisa menyelamatkannya."

Gita menoleh, terdiam mendengar cerita Rama yang begitu mirip dengan apa yang dia alami. Ada rasa empati yang mulai tumbuh di dalam hatinya, meskipun ia tahu rasa itu berbahaya.

"Aku juga kehilangan ibu," ucap Gita pelan, meskipun tidak ada niat untuk berbagi. Kata-kata itu keluar begitu saja, seolah ada dorongan dari dalam dirinya.

Rama mengangguk, menatap Gita dengan tatapan yang penuh pengertian. "Aku bisa melihat rasa sakitmu, Gita. Kita sama-sama berjuang dengan luka yang tidak terlihat, tapi itu tidak berarti kita harus menghadapi semuanya sendirian."

Gita terdiam. Perasaan yang muncul dalam dirinya begitu kompleks-takut, marah, tapi juga hangat. Dia tahu Rama mencoba mendekatinya, tapi dia tidak yakin apakah dia siap membuka hatinya lagi. Selama ini, dia membangun tembok yang tinggi untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang lebih dalam, dan kini ada seseorang yang berusaha memanjat tembok itu.

"Aku tidak bisa," Gita akhirnya berkata, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa mempercayai siapa pun. Aku terlalu hancur."

Rama tidak segera menjawab, tapi dia menggenggam tangan Gita, lembut tapi pasti. "Gita, kamu tidak perlu mempercayai semuanya sekarang. Tapi aku ada di sini, kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, dan aku tahu bagaimana rasanya ingin menyerah. Tapi kita bisa berjuang bersama."

Sentuhan itu membuat Gita terkejut, tapi dia tidak menarik tangannya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang berbeda-seperti ada seseorang yang benar-benar memahami rasa sakitnya. Bukan simpati yang berlebihan, bukan kasihan yang hampa, tetapi rasa bahwa dia tidak sendirian.

Mungkin, pikir Gita, ada ruang kecil dalam hatinya yang bisa dia buka untuk Rama. Meski perlahan, meski dengan keraguan yang besar, mungkin dia bisa belajar mempercayai seseorang lagi. Karena di tengah bayangan kelam yang selalu menyelimutinya, Rama hadir seperti setitik cahaya yang memberi harapan.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang