12.KUATKAN AKU

37 22 10
                                    


Hari-hari Gita di kampus semakin berat. Meskipun Pak Rahmat percaya padanya, gosip tentang dirinya menyebar dengan cepat. Banyak mahasiswa mulai memandangnya dengan tatapan curiga, dan bahkan ada yang terang-terangan menjauh darinya. Sementara itu, Sarah, yang sepertinya tidak pernah puas dengan segala cara kotor yang dilakukannya, terus saja mengganggu Gita. Tapi kali ini, Sarah mulai berani bertindak lebih jauh.

---

Suatu siang, Gita berjalan sendirian di koridor kampus setelah kelas usai. Langkahnya cepat, berusaha menghindari tatapan orang-orang di sekitarnya yang seolah membicarakan dirinya. Namun, sebelum Gita bisa keluar dari gedung, langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba menarik tasnya dari belakang.

"Gita!" suara Sarah terdengar tajam, seperti pisau yang siap menusuk.

Gita berbalik, terkejut melihat Sarah bersama dua temannya. Mereka berdiri di sana dengan senyum sinis yang membuat perut Gita mual. Sarah berjalan mendekat, menatap Gita dengan sorot mata penuh kebencian.

"Jadi kamu pikir bisa lolos, ya? Setelah semua ini, kamu masih berani datang ke kampus kayak gak ada apa-apa?" ucap Sarah dengan nada meremehkan.

Gita mengerutkan kening, merasa jengkel namun berusaha tetap tenang. "Aku gak ngelakuin apa-apa, Sarah. Aku udah bilang, aku gak curang. Kamu gak berhak menuduhku!"

Sarah tertawa kecil, lalu mendekat lebih dekat ke wajah Gita, membuat Gita mundur selangkah. "Berani-beraninya kamu nyalahin aku, ya? Apa kamu pikir dosen dan semua orang di sini bakal percaya sama kamu terus?"

Gita menelan ludah, menatap Sarah dengan mata berkilat. "Aku gak takut sama kamu, Sarah. Kalau kamu terus kayak gini, aku bakal laporin kamu ke pihak kampus!"

Reaksi Sarah berubah seketika. Tatapannya menjadi dingin dan tajam. "Laporin aku? Kamu mau ngelawan aku, Gita?" Tiba-tiba, tanpa peringatan, Sarah mendorong Gita keras hingga Gita terhuyung dan terjatuh ke lantai. Tasnya terlempar, dan barang-barang di dalamnya berserakan di lantai.

"Sarah!" Gita berteriak, merasa perih di pergelangan tangannya yang terantuk lantai.

Sarah hanya berdiri di sana, tersenyum puas. Teman-temannya tertawa kecil di belakangnya, seolah kejadian itu adalah hiburan yang menyenangkan.

"Ini baru awal, Gita. Jangan pikir aku bakal berhenti sampai di sini. Kamu gak pantas ada di sini," kata Sarah sambil mendekat lagi, tapi kali ini Gita bangkit, berdiri dan menatap Sarah penuh kemarahan, meskipun air mata sudah mulai mengalir di pipinya.

"Aku gak akan biarin kamu terus-terusan ngerusak hidupku," desis Gita dengan napas terengah.

Sarah hanya menatapnya dengan tatapan dingin. "Kita lihat aja nanti siapa yang akan menang. Kamu bukan apa-apa dibanding aku."

Setelah berkata begitu, Sarah melenggang pergi dengan senyum penuh kemenangan, meninggalkan Gita yang berdiri di tengah koridor dengan tangan gemetar. Rasa sakit di pergelangan tangannya tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di hatinya. Tidak ada yang peduli. Semua orang hanya melihat dan diam, tidak ada yang membantunya.

---

Gita berlari keluar dari gedung kampus, mengendarai motor dengan sekencangnya, air mata terus mengalir di pipinya. Dia tidak bisa lagi menahan semuanya. Semua rasa sakit, ketidakadilan, dan tekanan yang dirasakannya seolah meledak dalam hatinya. hingga tak terasa motornya membawanya ke sebuah tempat yang selama ini selalu menjadi pelariannya-makam ibunya.

Saat tiba di makam, Gita jatuh berlutut di depan nisan ibundanya, menangis tersedu-sedu. Tanah lembab di bawah lututnya terasa dingin, tapi dia tidak peduli.

"mama... aku gak kuat lagi,ma," isaknya, tangannya menyentuh nisan yang dingin. "Kenapa semuanya terasa begitu berat? Kenapa mereka selalu menyerang aku? Aku udah berusaha, ma, tapi... mereka semua kayak gak mau aku ada di sini."

Tangisannya semakin keras, suaranya bergetar di udara yang sunyi. Tidak ada yang mendengarnya di sini, kecuali angin yang berhembus lembut di antara pepohonan. Gita merasa sepi, lebih sepi daripada sebelumnya. Kehilangan ibunya, Rama, dan sekarang harus menghadapi cemohan serta kekerasan dari Sarah membuatnya merasa begitu hancur.

"Kenapa hidupku selalu begini,ma?" Gita berbicara lagi, meski tahu bahwa tidak ada jawaban yang akan datang. "Kenapa mereka gak pernah lihat aku sebagai orang yang pantas? Semua orang cuma lihat masa laluku, gak ada yang peduli sama siapa aku sebenarnya..."

Tangannya mencengkeram rumput di sekitar makam, mencoba menemukan kekuatan dari rasa sakitnya. "Aku rindu mama... aku rindu ada seseorang yang peduli, yang benar-benar ada buat aku. Aku capek berjuang sendiri."

Selama beberapa saat, Gita hanya terisak di sana, membiarkan seluruh kesedihannya tumpah di depan nisan ibunya. Semua perasaan yang selama ini dipendam, semua ketakutan, semua kemarahan, semuanya keluar. Dia merasa rapuh, merasa seperti anak kecil yang hilang di tengah dunia yang begitu kejam.

Setelah beberapa lama, tangis Gita mulai mereda. Dia menyandarkan tubuhnya pada nisan, memejamkan mata sejenak, membiarkan sisa-sisa air mata mengering di pipinya. Meski tidak ada jawaban dari ibunya, ada sedikit rasa tenang yang muncul di hatinya. Di tempat ini, setidaknya, dia bisa merasakan kehadiran ibunya. Meskipun hanya kenangan.

"Ma... bantu aku untuk kuat," bisiknya lirih. "Aku gak tahu harus gimana lagi. Aku benar-benar gak tahu harus gimana..."

Sementara angin sepoi-sepoi terus berhembus, Gita duduk di sana, membiarkan perasaannya terurai di antara hembusan angin dan keheningan yang menyelimuti makam.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang