7.FAKTA TERSEMBUNYI

40 25 0
                                    


Setelah pertemuan terakhir itu, Gita semakin menjauh dari Rama. Dia menghindari setiap kesempatan untuk berbicara dengannya, meski hatinya sering merasa bersalah. Waktu berjalan cepat, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rama. Dia mulai jarang tersenyum, dan meskipun dia selalu mencoba bersikap baik, ada kesedihan yang semakin kentara di matanya. Seperti Gita, Rama juga menyimpan luka, hanya saja dia lebih pandai menyembunyikannya.

Gita melihatnya dari kejauhan, memperhatikan bagaimana Rama tetap berinteraksi dengan anak-anak lain di panti, meski sering terlihat lelah. Ada lingkaran gelap di bawah matanya, dan tubuhnya semakin kurus. Gita ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rama, tapi dia terlalu takut untuk mendekat. Dia merasa, semakin dia mendekat, semakin dia akan terjebak dalam rasa sakit.

Suatu sore, Rani datang menghampiri Gita yang sedang duduk sendirian di sudut taman. "Kamu tahu, Rama semakin jarang bicara dengan siapa pun," kata Rani pelan. "Kamu pasti sudah melihatnya juga."

Gita terdiam, mengangguk pelan tanpa menatap Rani. "Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya, meski dalam hatinya ada keraguan yang besar.

Rani menghela napas. "Tidak tahu pasti. Tapi sepertinya dia menyimpan banyak hal yang tidak dia ceritakan pada siapa pun. Sama seperti kamu."

Perkataan Rani membuat Gita merasa gelisah. Selama ini, dia selalu melihat Rama sebagai seseorang yang kuat, yang bisa menghadapinya meski hidupnya penuh dengan luka. Tapi sekarang, seolah-olah tembok yang selama ini Rama bangun mulai retak, dan Gita tidak tahu harus bagaimana.

---

Hari-hari berlalu, dan kehadiran Rama semakin memudar. Dia mulai absen dari kegiatan di panti, lebih sering mengurung diri di kamar. Setiap kali Gita lewat di depan kamarnya, dia merasa dorongan untuk mengetuk pintu dan bertanya apa yang salah, tapi rasa takut dan ragu selalu menahannya.

Namun, pada suatu malam yang tenang, Gita merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kegelisahan yang tak bisa dijelaskan, seperti firasat buruk yang tak bisa diabaikan. Suasana di panti terasa sunyi, dan ketika dia hendak menuju kamarnya, langkah kakinya tiba-tiba terhenti di depan kamar Rama.

Tanpa berpikir panjang, Gita mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Masih sunyi. Merasa ada yang tidak beres, Gita mencoba membuka pintu perlahan. Pintu itu tidak terkunci, dan begitu dia melangkah masuk, hatinya berhenti.

Rama terbaring di tempat tidurnya, tubuhnya lemas dan wajahnya pucat. Di samping tempat tidurnya, ada botol obat yang jatuh, beberapa di antaranya kosong. Gita langsung berteriak memanggil bantuan, suaranya menggema di seluruh panti.

Ketika petugas panti berlari ke kamar Rama, mereka segera memanggil ambulans. Gita hanya bisa berdiri di sana, tubuhnya bergetar hebat. Dia tidak bisa berkata apa-apa, tidak bisa bergerak. Semua yang dia takutkan, semua yang dia coba hindari, kini terjadi di depan matanya.

Rama dibawa ke rumah sakit malam itu, tetapi nyawanya tidak tertolong. Kematian Rama mengejutkan semua orang di panti, terutama Gita. Dia tidak pernah tahu seberapa dalam luka yang Rama simpan. Selama ini, dia mengira Rama adalah orang yang kuat, orang yang mampu menghadapi apa pun. Tapi ternyata, di balik senyum dan kebaikannya, Rama menyimpan rasa sakit yang begitu mendalam hingga dia tidak bisa menanggungnya lagi.

---

Setelah kematian Rama, Gita merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya dia lebih dekat dengan Rama, seandainya dia tidak terus menjauh, mungkin dia bisa membantu. Mungkin dia bisa menghindarkan Rama dari keputusasaan yang membuatnya mengambil langkah terakhir itu.

Di hari pemakaman Rama, Gita berdiri di depan nisan sederhana yang terukir dengan namanya. Angin dingin menerpa wajahnya, sementara air mata yang dia tahan sejak hari itu akhirnya jatuh dengan deras. "Aku tidak tahu kalau kamu juga merasakan sakit yang sama, Rama," bisiknya, suaranya tersendat oleh isak tangis. "Aku tidak tahu... maafkan aku."

Di tangannya, Gita memegang kalung bintang yang pernah diberikan Rama. Selama ini, dia mengira kalung itu adalah simbol harapan. Tetapi sekarang, kalung itu terasa seperti pengingat akan kegagalannya-kegagalannya untuk melihat bahwa orang yang paling peduli padanya juga sedang berjuang melawan rasa sakit yang sama.

Gita memegang erat kalung itu, merasakan logam dingin di tangannya. "Kamu bilang selalu ada cahaya di tengah kegelapan," katanya lagi, suaranya hampir tak terdengar. "Tapi aku tidak bisa melihat cahayamu, Rama. Aku terlalu takut untuk melihat."

Dengan langkah berat, Gita berjalan menjauh dari makam, meninggalkan rasa bersalah yang menghantui pikirannya. Tapi di dalam hatinya, dia tahu bahwa kematian Rama memberinya pelajaran yang pahit-bahwa menutup diri dari orang lain hanya akan menambah luka, bukan menyembuhkannya.

---

Malam itu, Gita duduk di tepi jendela kamarnya, menatap bintang-bintang di langit. Kalung bintang itu kini menggantung di lehernya, seolah menjadi pengingat abadi akan Rama dan semua yang telah terjadi. Di tengah keheningan malam, dia mengambil napas panjang, berusaha mencari kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Dia tahu, meskipun Rama telah pergi, luka yang dia tinggalkan tidak akan mudah sembuh. Tapi Gita juga tahu, jika dia terus menutup diri, dia hanya akan mengulangi kesalahan yang sama. Perlahan, Gita mulai menerima kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan luka, tetapi luka itu bisa sembuh jika dia membiarkan orang lain masuk.

Dan di malam itu, di bawah cahaya bintang yang redup, Gita berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan belajar untuk lebih terbuka. Dia akan belajar dari rasa sakit Rama, dan dia akan mencoba menemukan cahaya di tengah kegelapan, meski jalannya terasa berat.

Aku Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang