#Happy reading#
Selamat membaca teman teman.
Bilqis yang mendengar itupun langsung merasa kasihan kepada Clara, pasal nya ia tidak mempunyai teman di sekolah lamanya. Dan sekarang ia juga tidak di terima baik di sekolah barunya. Tetapi ia heran mengapa Clara bisa tidak mempunyai teman, karena menurut nya Clara adalah sosok orang yang baik. Ia juga sangat cantik.
"Hah! Kok lo bisa gapunya temen si, padahal lo cantik. Lo juga kelihatan nya baik dan pinter juga" heran Bilqis
Clara yang mendengar itu hanya bisa tersenyum tipis saja. "Cantik sama pinter aja ga cukup qis. Aku selalu di bully di sekolah dan aku juga ga sebaik itu" ujar Clara
Bilqis yang mendengar itu pun semakin heran, seorang Clara woii. Bisa di bully, bagaimana ceritanya.
"HAH! kok bisa, emang lo di bully karna apa?" Kaget Bilqis dengan raut wajah yang di penuhi oleh rasa penasaran.
Lagi - lagi Clara hanya bisa tersenyum tipis. "Aku selalu di bully karena keluarga aku broken home. Aku selalu di katain anak kurang kasih sayang" ujar Clara dengan raut wajah sedih
Bilqis yang mendengar itupun langsung saja membawa Clara kedalam pelukannya. "Ra. Gua gatau kalo lo sering dibully, apalagi di bully karna masalah keluarga. Padahal seorang anak juga gapernah pengen terlahir jadi anak broken home" ujar Bilqis
Clara yang mendapatkan perlakuan seperti itupun langsung saja meneteskan air matanya, sebab. Ia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. "Qis, padahal aku juga gapernah minta buat di lahirin di dunia ini. Tapi ini udah jadi takdir aku, jadi insyaallah aku akan menerima nya walaupun di iringi oleh sebuah tangisan" ucap Clara dengan wajah yang sudah di penuhi oleh air mata.
"Makasih ya, kamu udah mau jadi temen aku" lanjut Clara.
Ia sangat bersyukur bisa di pertemukan oleh teman sebaik Clara, meskipun ia tidak di terima baik di kelas ini. Tetapi, jika ada Bilqis pasti semuanya akan baik-baik saja.
***
Bell istirahat pun berbunyi di SMAN Rajawali. Banyak siswa - siswi yang bergegas menuju kantin, termasuk Bilqis yang mengajak Clara untuk pergi bersama mencari camilan favorit mereka.
"Udah Ra. Sekarang Lo gausah sedih - sedih lagi, kan ada gua, mending kita ke kantin aja perut gua udah keroncongan minta diisi makanan" ucap Bilqis sembari mengelus - ngelus perutnya.
Clara yang mendengar itupun langsung mengangguk kan kepalanya tanda ia setuju dengan ajakan Bilqis, karena perutnya juga sudah keroncongan.
"Ayo qis, aku juga udah laper" ujar Clara
Mereka berdua pun pergi menuju kantin, sesampainya mereka di kantin banyak sekali siswa siswi yang mengantri untuk membeli makanan.
"Ih qis, kantin nya penuh banget" ujar Clara
Bilqis yang mendengar itupun langsung melihat kesana - kesini dan benar saja kantin terlihat begitu sangat ramai. "Gapapa Ra. Kita beli aja makanannya, terus kita makannya di taman belakang sekolah" ajak Bilqis
Tanpa basa-basi Clara pun langsung mengiyakan ajakan Bilqis"Okey qis" ujar Clara dengan tangan yang membentuk 👌🏻
Mereka berdua pun memesan makanan kesukaan nya, mulai dari Clara yang memesan seblak sedangkan Bilqis memesan mie ayam.
Setelah mereka berdua mendapatkan makannya mereka pun langsung bergegas menuju taman belakang dan mulai memakan makanannya.
***
Bell pulang sekolah pun berbunyi, memecah keheningan kelas SMAN Rajawali. Seperti biasa, seluruh siswa berhamburan keluar, tak sabar untuk merasakan kebebasan di luar sekolah. Clara dan Bilqis juga ikut berjalan beriringan menuju gerbang, meski hari itu ada sesuatu yang berbeda.
"Besok kan kita ketemu lagi, kok lo sedih banget sih?" Bilqis bertanya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Ini kan cuma perpisahan sehari."
Clara tersenyum tipis, tapi hatinya tak seceria biasanya. Memang terdengar konyol, mengingat mereka akan bertemu lagi besok. Namun, di benaknya, pulang ke rumah berarti menghadapi kenyataan yang tak bisa ia hindari—suara pertengkaran orang tuanya yang sudah terlalu sering ia dengar. Suara itu membuatnya merasa sepi, meski di tengah keramaian.
"Nggak apa-apa kok, cuma capek aja," jawab Clara pelan, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Langit sore mulai memudar, seolah menggambarkan perasaan Clara yang berat saat harus pulang ke tempat di mana tak ada kedamaian menunggunya.
Mereka terus berjalan, meski pikiran Clara sudah melayang ke rumahnya yang terasa asing, penuh ketegangan. Di sana, tidak ada tawa seperti di sekolah. Hanya ada sunyi yang dipecahkan oleh suara-suara yang ia harap tak pernah ia dengar lagi.
***
Sepulang sekolah, Clara melangkah masuk ke rumah dengan dada yang sudah terasa sesak. Belum sempat melepaskan seragam, suara pertengkaran yang sudah tak asing lagi kembali terdengar dari ruang tengah. Ayahnya berteriak dengan nada penuh amarah, sementara ibunya, Mia, hanya bisa menangis, tubuhnya gemetar di sudut ruangan. Clara tahu, seperti biasa, ibunya menjadi sasaran amarah ayahnya, menerima kekerasan yang membuat hatinya terluka setiap hari.
Clara berdiri kaku di ambang pintu, menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Ia ingin berlari ke arah ibunya, memeluknya, melindunginya dari setiap pukulan dan makian yang dilontarkan ayahnya. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Clara hanyalah seorang anak, kecil dan tak berdaya di hadapan ayah yang begitu menakutkan. Dengan air mata yang mulai menggenang di matanya, ia berbalik dan berlari ke kamarnya, membiarkan perasaan tak berdaya itu menghancurkannya sedikit demi sedikit.
Di kamar, Clara menutup pintu dengan gemetar, lalu jatuh terduduk di lantai. Isaknya pecah begitu saja, air mata mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Ia merasa tersesat di rumahnya sendiri, tempat yang seharusnya memberi perlindungan, tapi malah menjadi sumber penderitaan. Setiap hari seperti ini, dan ia semakin tak tahu harus bagaimana.
Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan. Ibu Mia masuk dengan wajah yang masih menyisakan bekas air mata, tapi ia berusaha tersenyum untuk menenangkan Clara. "Bagaimana hari ini di sekolah, Nak?" tanya Mia, suaranya lemah namun lembut, seperti berusaha mengabaikan luka-luka di hatinya.
Clara mengusap air matanya, meski suaranya masih terisak. "Hari ini aku ketemu Bilqis Bu,"dia temen baru aku katanya, mencoba bercerita meski hatinya berat. "Dia teman yang baik banget. Cuman di sekolah aku bisa ketawa lepas, Bu. Cuman di sana aku bisa benar-benar bahagia."
Ibu Mia hanya bisa tersenyum kecil, meski hatinya sakit mendengar kata-kata Clara. "Maafkan Ibu, Nak," ucapnya pelan, meski ia tahu permintaan maaf itu tak bisa mengubah apa pun. Dia tahu Clara berhak merasakan kebahagiaan, tapi ia juga tahu kenyataan di rumah ini terlalu kelam untuk disembunyikan.
Mereka duduk dalam diam, terjebak dalam luka yang sama, masing-masing berharap ada cara untuk keluar dari kegelapan yang mengurung mereka.