Tidak lama kemudian, Rafael pun datang dengan wajah penuh tanya melihat kondisi Bintang yang duduk di bangku taman, tubuhnya lemas dengan beberapa luka di wajah dan tangan.
"Lo kok bisa babak belur gini sih, Tang?" tanya Rafael, setengah heran setengah khawatir, menatap sahabatnya yang jarang sekali terlihat kalah dalam situasi seperti ini.
Bintang, dengan tatapan tajam yang penuh dendam, menjawab singkat, "Gua abis digebukin geng sebelah."
Nada bicaranya begitu dingin, tapi jelas menunjukkan amarah yang tertahan. Rafael mendesah, sudah lama ia mendengar ketegangan antara geng mereka dan geng sebelah, tapi tidak menyangka itu sampai membuat Bintang tergeletak tak berdaya seperti ini.
Di dekat mereka, Clara yang baru saja selesai membantu Bintang hanya bisa planga-plongo, bingung dengan situasi ini. Dia tidak tahu harus berkata apa, terlebih ketika mendengar percakapan antara Rafael dan Bintang tentang "geng sebelah". Rafael yang menyadari keberadaan Clara segera beralih menatapnya.
"Lo kok bisa sama Bintang?" tanya Rafael, jelas-jelas terkejut melihat Clara yang tidak ia kenal ada di situasi seperti ini.
Clara, yang merasa harus menjelaskan, segera menceritakan kejadian tadi tanpa melewatkan detail sedikit pun. Dia menceritakan bagaimana ia menemukan Bintang tergeletak di jalanan, tidak sadarkan diri setelah perkelahian dengan geng sebelah. Clara, yang awalnya hanya berniat pulang sekolah, malah terjebak dalam situasi yang tidak terduga.
Setelah mendengar cerita Clara, Bintang yang sejak tadi diam akhirnya berdiri dan berkata, "Ayo balik," mengajak Rafael sambil menepuk pundaknya. Rafael hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dia mengerti, Bintang butuh waktu untuk merencanakan langkah selanjutnya terkait masalah ini.
Jadi, jadilah Clara ditinggal sendirian. Dia menatap Bintang dan Rafael yang mulai berjalan menuju mobil, meninggalkannya begitu saja. Dengan perasaan sedikit kesal, Clara bergumam, "Ih, kok aku jadi ditinggalin sih? Udah ditolongin, nggak tahu terima kasih, dasar!"
Clara memutar matanya, merasa tidak dipedulikan sama sekali. Dia mendesah, merasa kesal karena harus pulang sendiri setelah terlibat dalam kejadian yang tidak seharusnya ia alami. Dengan langkah berat, ia pun mulai berjalan pulang ke rumah.
Di sisi lain, di dalam mobil yang melaju pelan, Bintang hanya terdiam, namun senyum kecil tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Ia teringat Clara, yang tadi mengomel dengan wajah kesal namun terlihat begitu menggemaskan. Ada sesuatu tentang Clara yang membuatnya tidak bisa berhenti tersenyum. Dia memang bukan gadis biasa; keberaniannya untuk membantu, meskipun tidak mengenal siapa Bintang, adalah hal yang tidak biasa ia temui.
Rafael, yang sedang menyetir, melirik Bintang dengan tatapan heran. "Apa lo liat-liat?" tegur Bintang, menyadari tatapan sahabatnya.
"Dih, santai, Bos. Gue cuma ngerasa aneh aja lo senyum-senyum sendiri kayak gitu," jawab Rafael sambil tetap fokus pada jalanan.
Bintang mendengus, mencoba menutupi senyumnya. "Udahlah, lo nggak usah banyak nanya. Mending cari informasi tentang cewek itu, dan di mana sekolahnya," katanya dengan nada yang lebih serius.
Rafael berpikir sejenak, mencoba mengingat. "Kayaknya cewek itu sekolah di SMAN 1 Garura. Gue sempet liat seragamnya tadi," jawab Rafael dengan yakin.
Bintang mengangguk. "Bagus. Gua juga mau pindah ke sana. Urus semua surat pindah gua."
Rafael melirik Bintang dengan tatapan tak percaya. "Serius, Bos? Lo beneran mau pindah sekolah cuma buat cewek itu?" tanya Rafael dengan nada sedikit menggoda.
Bintang hanya menatap Rafael dengan tatapan datar. "Gua serius. Urus semuanya secepat mungkin."
Rafael hanya bisa mengangguk, meskipun dalam hati ia berpikir, "Gini nih kalau kutub utara udah jatuh cinta. Serem juga."
Sementara itu, di sisi lain, Clara yang baru saja sampai di rumahnya disambut oleh ibunya, Mia, yang sedang menyiapkan makanan di dapur. Clara melepas sepatunya dan segera masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum, Ibu," sapa Clara sambil berjalan menuju dapur, mengusap keringat di dahinya.
"Waalaikumsalam, sayang. Tumben pulangnya terlambat?" tanya Mia sambil menatap Clara dengan senyuman lembut, penuh kasih.
Clara mendesah kecil, mengingat kejadian hari itu. "Iya, Bu. Tadi aku nolongin orang dulu. Tapi orangnya nyebelin banget, udah ditolongin nggak tahu terima kasih."
Mia tersenyum mendengar keluhan anaknya. "Siapa, sayang? Kenapa bisa nyebelin?" tanya Mia penasaran.
"Namanya Bintang, Bu. Aduh, orangnya nyebelin banget! Mana sok cool banget, nggak ada terima kasihnya sama sekali," jawab Clara sambil menjatuhkan tubuhnya di kursi makan, masih merasa kesal dengan kejadian tadi.
Mia tertawa kecil mendengar cerita anaknya. "Jangan gitu, nanti malah jodoh loh. Atau jangan-jangan kamu suka sama dia?" goda Mia sambil menyiapkan piring untuk makan malam.
Clara langsung bangkit dari kursinya dengan wajah kaget. "Ih, amit-amit deh, Bu! Gak mungkin aku suka sama orang kayak dia!" Clara melambaikan tangannya, seolah ingin menyingkirkan ide itu jauh-jauh dari pikirannya.
Mia hanya tersenyum penuh arti, menyadari bahwa anaknya mungkin belum menyadari perasaan yang sebenarnya. "Ya sudah, sana siap-siap. Ibu udah nyiapin makanan kesukaan kamu di meja."
Mendengar itu, Clara yang tadinya kesal langsung berubah ceria. "Oke, Bu! Aku mandi dulu ya!" katanya sambil berlari menuju kamarnya di lantai atas. Setelah sampai di kamar, Clara segera membuka seragamnya dan bersiap mandi. Sambil membersihkan diri, pikirannya terus berputar tentang kejadian tadi.
Selesai mandi, Clara mengenakan baju tidur dan segera berwudhu untuk sholat. Meski sudah tenang, pikirannya masih saja kembali ke Bintang. Wajah dingin Bintang, caranya yang sok cool, dan bagaimana ia meninggalkan Clara begitu saja, terus terbayang di pikirannya. Clara mendesah, mencoba mengusir pikiran itu.
"Nyebelin banget, tapi kenapa aku tetap nolongin dia?" gumam Clara pelan sambil menatap cermin di kamarnya. Terlepas dari semua kejengkelan yang ia rasakan, ada sesuatu yang membuat Clara tidak bisa melupakan kejadian itu.