"aku hanya ingin hidup dengan tenang"
-Clara
.
.
.Setelah Clara merasa sedikit lebih tenang, Bilqis pun segera mengajaknya kembali ke kelas. Mereka berdua berjalan berdampingan di sepanjang koridor sekolah yang sudah mulai sepi, karena bel masuk pelajaran sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Clara menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa berat setelah kejadian tadi.
"Lo nggak usah mikirin mereka lagi, Clara. Fokus aja ke pelajaran. Lo di sini buat belajar, bukan buat dengerin omongan orang yang nggak penting," kata Bilqis, mencoba menguatkan Clara sambil tersenyum kecil.
Clara hanya mengangguk pelan. "Aku tahu, Bilqis... Tapi sulit rasanya buat nggak mikirin apa yang mereka katakan," ucap Clara sambil menundukkan kepala. "Aku cuma pengen bisa sekolah dengan tenang."
"Mereka cuma iri, Clara. Gue kenal banget sama Fina dan gengnya. Mereka nggak suka lihat orang baru yang berpotensi lebih baik dari mereka," Bilqis menambahkan sambil mempercepat langkahnya menuju kelas. "Lo nggak perlu dengerin omongan mereka. Gue ada buat lo, oke?"
Sesampainya di depan pintu kelas, Clara menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Ia berharap tidak ada yang memperhatikan keterlambatannya, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Begitu mereka masuk ke kelas, semua mata tertuju pada mereka. Guru yang sedang berdiri di depan kelas pun berhenti berbicara dan menatap mereka berdua.
"Bilqis, Clara, kalian dari mana? Kenapa terlambat?" tanya guru itu dengan nada tenang, tapi jelas mengharapkan penjelasan.
Bilqis, tanpa ragu, langsung menjawab, "Kami dari WC, Bu. Maaf telat."
Guru itu hanya mengangguk singkat. "Baiklah, silakan duduk," katanya. "Jangan sampai terlambat lagi."
Mereka berdua segera duduk di bangku masing-masing. Clara merasa sedikit lega karena situasi tidak terlalu diperpanjang oleh guru, namun ia masih bisa merasakan tatapan penasaran teman-teman sekelasnya. Beberapa dari mereka mungkin mendengar gosip tentang dirinya dari Fina dan gengnya, dan itu membuat Clara semakin tidak nyaman.
Selama pelajaran berlangsung, Clara berusaha sekuat tenaga untuk fokus, meskipun pikirannya masih terganggu. Ia terus berusaha mengabaikan perasaan khawatir yang muncul, mencoba menenggelamkan diri dalam buku catatannya. Tapi sesekali, ia masih bisa merasakan tatapan-tatapan dari teman sekelas yang seolah-olah terus menghakiminya.
Waktu terasa berjalan lambat, namun akhirnya bel istirahat berbunyi. Clara menghela napas lega, meskipun tahu bahwa istirahat tidak selalu berarti bebas dari tekanan. Bilqis menoleh ke arahnya, tersenyum lebar.
"Yuk, ke kantin lagi. Laper banget gue," kata Bilqis sambil berdiri dan mengajak Clara.
Clara tersenyum kecil. "Iya, aku juga lapar. Ayo," balasnya, meskipun dalam hati ia masih khawatir tentang apa yang akan terjadi berikutnya.
Mereka berdua berjalan ke kantin dengan langkah pelan. Clara mencoba untuk rileks dan tidak terlalu memikirkan Fina dan gengnya. Tapi, begitu mereka tiba di kantin, ketakutannya kembali muncul ketika ia melihat Fina dan teman-temannya sedang duduk di sudut, memandang ke arah mereka sambil tertawa kecil. Clara berusaha menghindari tatapan mereka, namun hatinya mulai terasa sesak.
Bilqis yang melihat ekspresi Clara langsung merangkulnya. "Santai aja, Clara. Biarin aja mereka. Kita nikmatin aja istirahat kita. Gue di sini, kok."
Clara mengangguk, meski rasa cemas masih menggelayuti hatinya. Mereka pun duduk di meja yang agak jauh dari Fina dan gengnya, dan mulai memesan makanan. Namun, saat makanan mereka baru saja tiba, Clara merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Benar saja, tak lama kemudian, Fina dan gengnya berjalan mendekati meja mereka. Fina dengan senyum licik di wajahnya berdiri di depan Clara.
"Eh, Clara, gimana hari lo di sekolah baru? Udah mulai betah belum?" tanya Fina dengan nada yang jelas-jelas mengejek.
Clara merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak ingin terlibat masalah lagi, tapi Fina tampaknya tidak akan berhenti mengganggunya. "Aku... aku baik-baik saja," jawab Clara pelan, suaranya bergetar.
Fina tertawa sinis. "Oh, baik-baik aja, ya? Jangan sok kuat, Clara. Gue udah denger lo anak broken home. Pantesan aja lo kayak gitu," katanya dengan nada merendahkan.
Bilqis yang mendengar itu langsung berdiri dari tempat duduknya. "Fina, lo apaan sih?! Udah cukup! Lo nggak punya hak ngomong kayak gitu ke Clara!" teriaknya, matanya menyala marah.
Fina hanya mengangkat bahu. "Santai, Bilqis. Gue cuma ngasih tahu fakta. Lo sendiri yang harusnya hati-hati, jangan sampe Clara narik lo ke masalahnya."
Clara merasa matanya mulai memanas, tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. "Aku nggak pernah ganggu siapa-siapa, Fina," ucapnya pelan, hampir tak terdengar.
Fina tertawa kecil, lalu menatap Clara dengan tatapan penuh hinaan. "Kita lihat aja nanti, Clara. Jangan sok kuat, ya."
Dengan itu, Fina dan gengnya pergi meninggalkan meja mereka, meninggalkan Clara yang terdiam dengan rasa sakit di hatinya. Bilqis langsung duduk kembali di sebelah Clara, menepuk pundak sahabatnya itu.
"Lo nggak perlu dengerin mereka, Clara. Mereka cuma iri sama lo. Lo lebih kuat dari yang lo pikir," kata Bilqis, suaranya penuh empati.
Clara mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku cuma nggak paham kenapa mereka benci sama aku... Aku nggak pernah salah apa-apa."
"Gue ngerti, Clara. Tapi lo nggak sendiri. Gue ada buat lo, dan kita bisa lawan mereka bareng-bareng," kata Bilqis, mencoba menenangkan Clara.
Clara hanya bisa tersenyum kecil. Meskipun semuanya terasa berat, ia merasa sedikit lebih kuat dengan Bilqis di sisinya.