BAB 4

34 26 2
                                        

Selamat membaca
.
.
.
.

Keesokan harinya pun tiba. Mentari pagi menyinari jendela kamar Clara, memaksa gadis itu untuk bangkit dari tempat tidurnya. Hari ini adalah hari kedua Clara di sekolah barunya. Meski perasaan gugup masih menyelimuti hatinya, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Clara tahu bahwa dirinya harus beradaptasi dengan cepat, meskipun perasaan asing dan belum terbiasa di lingkungan baru membuatnya sedikit cemas.

Seperti biasa, Clara segera bersiap-siap. Ia mengenakan seragam sekolah yang masih terasa agak kaku di tubuhnya, mengambil tas yang sudah disiapkan sejak malam sebelumnya, dan kemudian turun ke lantai bawah untuk sarapan. Pikirannya sudah membayangkan bagaimana suasana hari ini di sekolah, apakah ia akan bertemu teman-teman baru, apakah pelajaran akan berjalan dengan lancar, dan bagaimana ia akan menyesuaikan diri.

Namun, bayangan itu tiba-tiba buyar ketika Clara keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang makan. Suara keras terdengar dari ruang tamu. Suara yang sudah sangat familiar baginya, tapi tetap saja setiap kali mendengarnya, hatinya terasa teriris. Pertengkaran lagi. Ayah dan bundanya bertengkar, lagi-lagi dengan nada tinggi, penuh amarah dan kecewa.

Clara terdiam di anak tangga, mendengarkan suara ayahnya yang meledak-ledak dan suara bundanya yang berusaha membela diri. Tangannya gemetar saat memegang pegangan tangga, dan tanpa bisa menahan diri, air matanya mulai mengalir. "Kenapa harus begini lagi?" pikirnya dalam hati. Rasanya tidak adil. Ketika anak-anak lain mungkin disambut dengan tawa hangat saat sarapan, Clara harus menyaksikan pertengkaran orang tuanya.

Suasana pagi yang seharusnya tenang dan damai berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan hatinya setiap hari. Clara tahu, di luar sana, banyak anak yang bisa menikmati sarapan bersama keluarga dengan bahagia. Mereka tertawa bersama, berbicara tentang rencana hari ini, sementara ia? Ia hanya disuguhi pemandangan ayahnya yang marah dan ibunya yang menangis tersedu-sedu.

Clara, dengan hati yang berat, memutuskan untuk tidak menampakkan dirinya. Ia bersembunyi di balik tembok dapur, mendengarkan suara ayahnya yang semakin keras, sementara suara isak tangis bundanya terdengar semakin lirih. Hatinya perih, tetapi Clara tahu, ini bukan tempatnya untuk ikut campur. Ia hanya bisa menunggu, menunggu hingga ayahnya pergi.

Setelah beberapa saat, yang terasa seperti berjam-jam bagi Clara, akhirnya ayahnya keluar dari rumah, membanting pintu di belakangnya. Suara pintu yang menutup dengan keras itu membuat Clara merasakan sakit di dalam dadanya. Setelah memastikan bahwa ayahnya telah pergi, Clara keluar dari persembunyiannya dan segera menghampiri bundanya.

"Bunda..." bisik Clara sambil menahan tangis, tubuhnya bergetar saat ia memeluk bundanya yang masih duduk terisak di meja makan. Bundanya, Mia, memandang putrinya dengan tatapan penuh kesedihan namun berusaha tersenyum untuk menenangkannya.

"Bunda nggak apa-apa, sayang... maaf ya, maaf kamu harus melihat ini lagi..." ucap Mia dengan suara yang serak, matanya masih basah oleh air mata. "Bunda minta maaf karena nggak sempat masak sarapan buat kamu. Tapi Bunda sudah buatkan bekal. Kamu makan di sekolah, ya?"

Clara hanya mengangguk sambil terus memeluk bundanya. Hatinya terasa berat, beban yang ia rasakan tak sebanding dengan usianya. Ia masih terlalu muda untuk mengerti mengapa keluarganya harus seperti ini, mengapa ayah dan bundanya tak bisa saling memahami. Namun, Clara tahu bahwa ini bukan salah bundanya.

"Clara sayang Bunda..." bisiknya, suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang ia coba tahan. Ia ingin mengatakan lebih banyak, ingin menanyakan banyak hal, tetapi ia tahu ini bukan saatnya. Bunda Mia kemudian membelai rambut Clara, mencoba menenangkan putrinya meskipun hatinya sendiri masih hancur berkeping-keping.

"Terima kasih, sayang... Bunda juga sayang kamu. Sekarang kamu harus ke sekolah, ya? Jangan terlambat, kamu nggak mau telat di hari kedua di sekolah barumu, kan? Bunda akan baik-baik saja di rumah. Kamu nggak usah khawatir."

Clara menatap ibunya, matanya masih penuh dengan air mata, tapi ia mencoba tersenyum kecil. "Iya, Bunda..." jawabnya pelan. Ia kemudian berdiri, meraih tasnya yang berada di dekat pintu, dan menyiapkan dirinya untuk pergi.

Dengan langkah berat, Clara keluar dari rumah. Udara pagi yang sejuk tidak mampu mengusir kesedihan yang masih menggelayuti hatinya. Setiap langkah yang ia ambil menuju sekolah terasa seperti beban yang semakin besar. Jalanan yang biasanya ramai dengan anak-anak lain yang berangkat sekolah kini terasa sunyi bagi Clara. Ia berjalan kaki sambil menangis, air matanya jatuh satu per satu membasahi pipinya.

Clara berharap, mungkin suatu hari nanti semuanya akan berubah. Mungkin suatu hari nanti ia akan bangun dan melihat keluarganya bahagia. Namun untuk saat ini, ia hanya bisa menjalani harinya dengan harapan yang semakin lama semakin pudar, sambil berusaha keras untuk tetap kuat di tengah kerapuhannya.

Cahaya yang hilang (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang