BAB 10

22 20 0
                                    

Keesokan harinya pun tiba. Seperti biasa, Clara bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Namun, ada sesuatu yang terasa tidak biasa. Pagi ini, ibunya tidak membangunkannya seperti biasanya. Clara sempat bertanya-tanya, tetapi kemudian ia berusaha berpikir positif. "Mungkin ibu sedang sibuk memasak di dapur," pikirnya.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, Clara bergegas turun ke bawah. Namun, ruang makan sepi. Tidak ada suara panci yang berdenting atau aroma masakan yang biasa menyambutnya. Perasaan aneh mulai menjalari dirinya. Ia memanggil ibunya, tetapi tidak ada jawaban.

Tiba-tiba, dari lantai atas terdengar suara yang ganjil. Suara tangisan yang diikuti oleh tawa—sebuah tawa yang terdengar begitu aneh, seolah-olah dipaksakan di tengah-tengah kesedihan. Clara langsung merasa jantungnya berdegup kencang. Suara itu berasal dari kamar ibunya. Dengan perasaan cemas dan penuh rasa penasaran, Clara langsung berlari menuju kamar.

Sesampainya di depan pintu kamar ibunya, tangannya gemetar saat memutar gagang pintu. Saat pintu terbuka, pemandangan di depannya membuat Clara terhenyak. Ibunya, Mia, duduk di sudut kamar dengan wajah kusut, rambut yang acak-acakan, dan ekspresi yang tampak sangat lelah. Tangisannya masih terdengar, tetapi sesekali diiringi oleh tawa hampa yang membuat hati Clara semakin sakit.

"Ibu...?" Clara memanggil pelan, berusaha menahan getaran di suaranya. Ia segera mendekati ibunya, berlutut di sampingnya dan menggenggam tangannya. "Ibu, ada apa? Kenapa ibu seperti ini?"

Mia menatap Clara dengan mata yang sembab. Tiba-tiba, ia tertawa lagi, tapi kali ini diiringi dengan kalimat yang membuat Clara bingung dan terluka. "Clara sayang... Ayahmu nggak menikah lagi, kan?" katanya di antara tawa dan tangis yang terputus-putus.

Clara tersentak. Kalimat itu menghujam dadanya seperti pisau. Pertanyaan itu tidak hanya menyakitkan, tetapi juga menyadarkan Clara akan realita yang sudah lama ia coba abaikan. Air mata Clara pun mulai jatuh. Ia tidak tahu harus menjawab apa, hanya bisa memeluk ibunya erat-erat, berharap bisa menenangkan hati yang hancur.

"Ibu, tenang dulu ya... Sekarang ibu mandi dulu, biar ibu bisa lebih rileks," ujar Clara sambil mengusap punggung ibunya dengan lembut. "Setelah itu, ibu istirahat ya, bu?"

Mia mengangguk pelan, mengikuti permintaan Clara. Setelah selesai mandi, ekspresi di wajah Mia tampak sedikit lebih tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menatap Clara dengan pandangan yang penuh penyesalan. "Maafkan ibu, Clara... Ibu terlalu stres. Ibu bahkan lupa menyiapkan sarapan untukmu," katanya dengan suara pelan.

Clara hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya masih diliputi kekhawatiran. "Gak apa-apa, bu. Clara bisa makan di kantin nanti," jawab Clara sambil menengok jam dinding. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 7 lebih 5 menit. Itu artinya, bel sekolah akan berbunyi dalam 5 menit lagi.

"Ibu, Clara berangkat dulu ya. Ibu baik-baik di rumah, kalau ada apa-apa kabari Clara ya," ujar Clara sambil mencium pipi ibunya. Mia tersenyum lemah dan mengangguk, meskipun matanya masih menyiratkan kesedihan yang mendalam.

Clara pun bergegas keluar rumah, diantar oleh sopirnya. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, pikiran Clara penuh dengan bayangan ibunya. Hatinya tidak tenang, tetapi ia tahu harus tetap menjalani harinya di sekolah.

Sesampainya di sekolah, Clara lega melihat gerbang sekolah belum ditutup. Ia menarik napas dalam-dalam dan segera berlari menuju kelas. Saat tiba di kelas, Clara langsung duduk di bangkunya dengan napas yang masih terengah-engah. Temannya, Bilqis, yang duduk di sebelahnya, langsung menyadari ada yang tidak beres.

“Clara, lo kenapa? Kok lo kayak habis nangis?” tanya Bilqis dengan nada khawatir, matanya memperhatikan wajah Clara yang tampak pucat dan lelah.

Clara menggeleng pelan, mencoba menenangkan diri. “Nanti aja aku ceritain pas jam istirahat, ya,” jawabnya dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan emosi yang masih bergolak di dalam hatinya.

Bilqis hanya mengangguk, meskipun terlihat jelas ia masih penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka pun mulai mengikuti pelajaran seperti biasa, namun pikiran Clara terus melayang pada ibunya di rumah. Ia mencoba fokus, tapi bayangan wajah ibunya yang kusut dan kata-kata yang diucapkan tadi pagi masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Saat bel istirahat berbunyi, Bilqis langsung menghampiri Clara. "Ayo, cerita sekarang. Lo tadi bilang mau cerita pas istirahat, kan?" Bilqis mendesak, matanya penuh dengan rasa ingin tahu.

Clara menghela napas panjang, mencoba menyiapkan dirinya untuk bercerita. Dengan suara pelan dan penuh emosi, Clara mulai menceritakan apa yang terjadi semalam. Ia bercerita tentang bagaimana ayahnya menikah lagi, meninggalkan ibunya yang kini terpuruk dalam kesedihan dan stres berat. Kata demi kata keluar dari mulutnya, diiringi air mata yang perlahan jatuh.

Bilqis mendengarkan dengan penuh perhatian. Setiap kata yang keluar dari mulut Clara membuatnya semakin terkejut. “Ya ampun, Clar… Gue beneran gak nyangka. Kok bisa ayah lo sejahat itu? Gue kira keluarga lo baik-baik aja,” kata Bilqis, masih terkejut dengan kenyataan yang diceritakan Clara.

Clara hanya mengangguk, air matanya terus mengalir. “Udah biasa Qis dia aja bahkan tega berperilaku kasar pada ibu.” Clara berusaha menahan tangis, tetapi emosinya terlalu kuat untuk dikendalikan.

Bilqis langsung memeluk Clara erat-erat. “Gue ngerti, Clar. Lo pasti ngerasa sakit banget sekarang. Tapi lo gak sendirian, gue ada di sini buat lo,” ucap Bilqis, suaranya pelan namun penuh empati.

Clara merasa sedikit lebih tenang dalam pelukan temannya. Meski rasa sakitnya belum hilang, setidaknya ia merasa ada seseorang yang bisa mendengarkannya dan berbagi rasa. "Makasih, Qis. Kamu emang selalu ada buat gue," ujar Clara, suaranya masih terdengar serak karena tangis.

"Gue sahabat lo, Clar. Lo gak perlu mikir dua kali buat cerita ke gue," jawab Bilqis sambil tersenyum tipis, masih memeluk Clara. "Kita bakal hadapi ini bareng-bareng, ya."

Clara mengangguk pelan, merasa sedikit lebih kuat setelah mendengar kata-kata Bilqis. Meski cobaan ini begitu berat, ia tahu bahwa ia tidak sendirian.

Cahaya yang hilang (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang