BAB 18

9 8 0
                                    


Jam istirahat pun berbunyi, dan suasana sekolah menjadi ramai dengan suara langkah kaki para siswa yang berhamburan keluar kelas. Mereka bergegas menuju kantin, lapangan, atau sekadar berbincang di koridor sambil bercanda dengan teman-teman mereka. Tak ketinggalan, Clara dan Bilqis yang segera bangkit dari kursi mereka dan berjalan cepat menuju kantin. Mereka berdua ingin segera sampai di kantin sebelum penuh, agar bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman.

Setelah sampai di kantin, mereka langsung mencari meja kosong di salah satu sudut ruangan. Mereka pun segera duduk dan memesan makanan favorit masing-masing. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Bilqis menatap Clara dengan tatapan penasaran, mengingat percakapan mereka sebelumnya.

"Clara, ayo dong cerita! Katanya tadi lo mau cerita soal Liana?" tanya Bilqis sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Clara.

Clara menghela napas panjang, kemudian menatap sahabatnya itu dengan wajah yang terlihat lelah dan sedih. "Iya, Bil... Aku pengen cerita, tapi rasanya agak sulit," jawab Clara sambil menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mulai muncul.

"Kenapa? Cerita aja, gua kan selalu ada buat lo" jawab Bilqis dengan penuh perhatian, mencoba memberikan semangat kepada Clara.

Clara akhirnya mengumpulkan keberanian dan mulai bercerita. "Jadi, semalam itu Liana tiba-tiba datang ke rumahku. Awalnya aku bingung kenapa dia ada di sana, tapi ternyata dia mau cerita soal hubungan ayahku dengan ibunya Liana." Clara berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Bayangin, Bil... Ayahku berselingkuh sama ibunya Liana. Aku benar-benar syok denger itu. Aku nggak pernah menyangka ayahku ternyata tega berbuat seperti itu."

Bilqis terdiam, merasa tak percaya dengan cerita yang baru saja didengarnya. "Ya ampun, Clara... Gua nggak tahu harus bilang apa. Itu pasti berat banget buat lo," jawabnya dengan suara lembut, penuh empati.

Clara mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. "Iya, Bil. Aku nggak sanggup lagi. Ayahku selalu bikin masalah, sering menyakiti ibu, dan sekarang malah selingkuh. Apa dia nggak pernah sadar bahwa tindakannya itu menyakiti kami semua?" Suara Clara terdengar getir, mencerminkan rasa sakit yang ia rasakan.

Bilqis mengulurkan tangannya dan memegang tangan Clara dengan erat, berusaha menyalurkan kekuatan kepada sahabatnya itu.

"Clara, gua bener-bener prihatin sama lo. Gua nggak menyangka Liana bisa berkata sejahat itu, tapi gua juga nggak tahu harus ngelakuin apa buat bantu lo. Tapi kalau lo butuh teman buat cerita, gua selalu ada buat lo,  Clara," ucap Bilqis dengan tulus.

Clara merasa sangat terharu mendengar dukungan sahabatnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, namun ia cepat-cepat mengusapnya agar tidak terlihat terlalu sedih di depan Bilqis. "Terima kasih, Bil. Kamu selalu ada buat aku, dan aku nggak tahu apa jadinya aku kalau nggak ada kamu. Kamu sahabat terbaikku," jawab Clara dengan suara yang masih bergetar.

Bilqis tersenyum lembut sambil menepuk pundak Clara. "Ah, nggak usah segitunya. Kita ini sahabat, Clara. Gua pasti selalu ada buat lo," jawabnya dengan nada yang menenangkan.

Clara merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Bilqis, seseorang yang setia dan peduli padanya. Mereka pun berpelukan untuk menguatkan satu sama lain, mempererat ikatan persahabatan yang mereka miliki. Tak lama setelah itu, pesanan makanan mereka datang. Clara dan Bilqis pun mulai menikmati makanan yang sudah mereka pesan dengan lebih tenang.

Namun, di tengah-tengah saat mereka makan, Clara tiba-tiba terdiam sejenak. Bilqis memperhatikannya dengan tatapan bingung.

"Kenapa, Clara? Lo kepikiran apa?" tanya Bilqis dengan nada penasaran.

Clara mendesah pelan sebelum akhirnya berbicara, "Sebenarnya, aku lagi kepikiran buat pindah sekolah, Bil."

Bilqis yang sedang mengunyah makanannya langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap Clara dengan ekspresi kaget. "Pindah sekolah? Hah? Lo serius mau pindah, Clara? Pindah ke mana?" tanyanya dengan nada tak percaya.

Clara mengangguk, lalu menjawab, "Aku niatnya mau pindah ke Garut, Bil. Itu kan kota kelahiranku. Aku merasa, mungkin dengan pindah ke sana, aku bisa mulai hidup baru. Aku bisa meninggalkan semua rasa sakit yang aku alami di kota ini."

Bilqis tercengang mendengar penjelasan Clara. Namun, ia berusaha untuk mengerti alasan di balik keputusan sahabatnya itu. "Oh begitu... Tapi Clara, kalau lo pindah, gua juga harus ikut pindah! Pokoknya gua nggak mau Lo ninggalin gua sendirian di sini," ujar Bilqis dengan nada bersemangat, meski dalam hatinya ia merasa sedih jika benar-benar harus berpisah dengan Clara.

Clara tertawa kecil melihat reaksi Bilqis. "Bil, mana bisa begitu. Kamu nggak bisa sembarangan pindah cuma gara-gara aku. Keluarga kamu ada di sini, dan nggak semudah itu untuk pindah," jawab Clara, mencoba menjelaskan.

"Tapi gya nggak rela kalau lo pergi sendiri, Clara. Gua harus selalu ada di samping Lo kapan pun kamu butuh," kata Bilqis dengan tegas.

Clara merasa sangat tersentuh mendengar komitmen sahabatnya. Dukungan Bilqis benar-benar membuat hatinya terasa lebih ringan. Di saat seperti ini, ia menyadari betapa berharganya persahabatan mereka. Tak jauh dari mereka, ibu Clara yang sedang berada di kantin dan kebetulan mendengar percakapan mereka hanya bisa tersenyum kecil, merasa bangga dan bahagia melihat betapa kuatnya ikatan antara Clara dan Bilqis.

Setelah mereka selesai makan, Clara dan Bilqis pun segera bangkit dari tempat duduk mereka dan berjalan kembali ke kelas. Di perjalanan menuju kelas, Bilqis tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang membuat Clara sedikit kaget.

"Eh, Clara... Gua pengen nanya sesuatu, tapi jangan marah ya," kata Bilqis dengan nada menggoda.

Clara menatap Bilqis dengan tatapan heran. "Apa sih, Bil? Tanya aja," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Bilqis menatap Clara dengan senyum penuh arti, lalu bertanya, "Lo suka ya sama Bintang?"

Clara langsung merona dan sedikit canggung mendengar pertanyaan sahabatnya. "Aduh, Bil... Kamu ini bisa aja!" jawab Clara sambil tertawa malu.

"Eh, serius dong. Dari cara lo ngeliat dia aja kelihatan banget kalau lo ada perasaan, Clara," kata Bilqis sambil tertawa kecil.

Clara akhirnya mengakui dengan suara pelan, "Ya... kalau boleh jujur, aku memang mulai suka sama Bintang. Tapi untuk sekarang, aku nggak mau mikirin soal cinta-cintaan dulu. Aku pengen fokus buat bahagiain ibu aku. Aku nggak mau nambah masalah yang bikin ibu makin sedih."

Bilqis mengangguk paham, lalu tersenyum lembut. "Oh gitu ya... Yaudah, gua dukung apa pun yang gua putusin. Tapi jujur, aku senang denger kamu suka sama Bintang. Dia anak yang baik kok, Clara. Keliatan nya doang sih gatau kalo aslinya haha"

Clara hanya bisa tersenyum kecil, merasa lega bisa jujur kepada sahabatnya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kelas dengan perasaan yang lebih ringan.

Sesampainya di kelas, mereka duduk di tempat masing-masing dan bersiap untuk mengikuti pelajaran. Meskipun hati Clara masih terasa berat dengan semua masalah yang sedang ia hadapi, namun dukungan dan kehadiran Bilqis membuatnya merasa lebih kuat. Ia merasa tidak sendirian lagi, karena memiliki sahabat yang selalu siap mendukungnya.

Di sepanjang jam pelajaran, pikiran Clara sesekali melayang, membayangkan masa depan dan rencana kepindahannya. Ia berharap bahwa dengan pindah ke Garut, ia bisa meninggalkan segala luka yang ia rasakan di kota ini dan memulai hidup baru. Meskipun keputusan ini sulit, namun Clara yakin bahwa ini adalah jalan terbaik bagi dirinya dan ibunya.

Sementara itu, Bilqis yang duduk di samping Clara sesekali melirik ke arahnya, memastikan bahwa sahabatnya itu baik-baik saja. Ia berharap bahwa apa pun yang terjadi, ia bisa selalu berada di sisi Clara dan membantu meringankan beban sahabatnya. Persahabatan mereka adalah segalanya bagi Bilqis, dan ia bertekad untuk selalu ada di samping Clara di setiap langkah perjalanan hidupnya.

Bel akhirnya berbunyi, menandakan jam pelajaran selesai. Clara dan Bilqis berkemas, lalu keluar dari kelas bersama-sama. Mereka berjalan pulang dengan perasaan yang lebih tenang, berjanji untuk terus mendukung satu sama lain, dalam suka maupun duka. Persahabatan mereka semakin erat, dan mereka yakin bahwa selama mereka bersama, pasti semuanya akan terasa lebih ringan

Cahaya yang hilang (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang