Sore bergulir menjadi malam, dan Clara masih terlelap di kamarnya, tak menyadari hiruk pikuk yang terjadi di lantai bawah. Ibu Bilqis, ibunya, sibuk di dapur, memasak dengan cermat sesuai permintaan suaminya. Ayah Clara telah mengabarkan sebelumnya bahwa malam ini akan ada tamu penting, sehingga Ibu Bilqis memutuskan untuk menyiapkan masakan spesial—hidangan yang penuh cita rasa, lengkap dengan berbagai lauk-pauk yang biasanya hanya disajikan saat ada perayaan besar. Aroma harum masakan menyebar ke seluruh rumah, namun Clara tetap terlelap, belum menyadari apa yang akan terjadi.Malam semakin larut. Ibu Mia, yang merasa waktu sudah semakin mendekati kepulangan suaminya, akhirnya memutuskan untuk membangunkan Clara. Dengan langkah lembut, ia naik ke lantai atas dan mengetuk pintu kamar Clara. “Clara, bangun, sayang. Sebentar lagi ayahmu akan pulang, dan kita kedatangan tamu penting,” ucapnya dengan suara lembut.
Clara menggeliat di bawah selimut tebalnya, membuka mata dengan malas. “Tamu? Siapa, Bu?” tanya Clara setengah mengantuk.
Ibu Mia tersenyum samar. “Ayahmu belum bilang siapa, tapi dia bilang tamu ini penting. Cepat bangun, mandi, dan bersiap-siap.”
Meskipun rasa kantuk masih menghantui, Clara akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Setelah mandi dan berpakaian rapi, ia turun ke bawah, bergabung dengan ibunya di ruang tamu. Sang ibu tampak sedikit gelisah, matanya sesekali melirik ke arah jam dinding. Meskipun begitu, ia mencoba tetap tenang.
Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar dari luar rumah, dan Clara tahu itu pasti ayahnya. Pintu depan berderit terbuka, dan ayah Clara masuk—namun bukan sendirian. Di sampingnya, seorang perempuan cantik berdiri dengan elegan, mengenakan pakaian yang anggun dan mahal. Rambutnya yang hitam tergerai rapi, dan senyumnya seolah menyembunyikan sesuatu.
Clara dan ibunya tertegun. Dalam kebisuan yang canggung, mereka saling berpandangan, jelas bertanya-tanya dalam hati, siapa perempuan ini? Clara merasa bingung—katanya akan ada tamu penting, tetapi perempuan ini tampak lebih seperti seseorang yang sangat pribadi, bukan sekadar tamu bisnis atau rekan kerja.
Ayah Clara berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah mantap, dan yang mengejutkan semua orang adalah bahwa ia bergandengan tangan dengan perempuan itu. Tangan mereka bersatu erat, seolah menunjukkan kedekatan yang lebih dari sekadar formalitas. Clara merasa dadanya sesak melihat pemandangan itu. Siapa perempuan ini? Mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia bagian dari keluarga?
Ibu Mia berusaha tetap tenang, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan kesedihan yang dalam. Ketika ia mencoba mendekati suaminya untuk menyapa, ayah Clara malah mengacuhkannya, tidak sedikit pun menoleh ke arah istrinya. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya melanjutkan langkahnya menuju meja makan, masih dengan tangan yang menggenggam erat perempuan asing itu.
Hati Ibu Mia terasa teriris. Senyumnya yang tadinya dipaksakan mulai memudar, tergantikan oleh ekspresi perih yang tak bisa ia sembunyikan. Clara, yang melihat semuanya dari kejauhan, merasa bingung dan terkejut. “Bu… siapa perempuan itu?” bisiknya perlahan, suaranya hampir tak terdengar.
Namun Ibu Mia hanya diam, menatap punggung suaminya yang kini sudah duduk di meja makan bersama perempuan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di benak Clara. Katanya ada tamu penting, tapi mengapa perempuan ini datang? Dan kenapa mereka harus bergandengan tangan? Apa hubungan mereka sebenarnya?
Pikiran Clara terus berputar-putar, mencoba mencari jawaban, namun tak ada satu pun yang masuk akal. Ia merasakan ada sesuatu yang salah, sesuatu yang disembunyikan oleh ayahnya. Malam yang awalnya seharusnya dipenuhi dengan sambutan hangat kini berubah menjadi dingin dan penuh ketegangan.
Clara terus menatap ayahnya dengan perempuan itu, semakin dalam tenggelam dalam kebingungannya, dan hatinya mulai dipenuhi rasa takut. Apakah keluarga mereka akan berubah selamanya?