Selamat membaca
.
.
.
.
Happy readingMalam pun tiba, dan seperti biasa, Clara turun ke bawah untuk makan malam. Perutnya sudah terasa lapar, tapi kali ini ada perasaan gelisah yang menggantung di hatinya. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian beberapa hari terakhir, tentang pertengkaran orang tuanya yang semakin sering dan semakin panas. Bahkan, belakangan ini, ayahnya sering pulang larut malam, dan terkadang tidak pulang sama sekali.
Saat ia berjalan menyusuri tangga, tiba-tiba langkahnya terhenti. Di tengah-tengah keheningan rumah yang besar itu, ia mendengar suara seseorang berbicara. Clara mengenal suara itu. Itu suara Liana, teman yang baru saja ia temui siang tadi. Kenapa Liana bisa ada di rumahnya?
Namun, rasa penasaran Clara makin bertambah ketika ia mendengar suara lain. Suara itu lebih tajam, lebih menyakitkan. Itu suara wanita yang telah ia kenal sebagai sumber kehancuran keluarganya—Sinta, wanita yang telah merebut ayahnya dari ibunya. Dan bersama mereka, Clara juga mendengar suara ayahnya, terdengar canggung dan penuh ketidaknyamanan.
Pikiran Clara langsung kacau. Apa yang mereka lakukan di sini? Kenapa ayahnya bersama Sinta dan Liana? Dengan penuh kebingungan dan amarah, Clara mempercepat langkahnya menuju ruang tamu. Semakin dekat ia melangkah, semakin jelas suara percakapan mereka. Dan ketika ia tiba di ujung tangga, pemandangan yang dilihatnya membuat amarahnya memuncak.
Di sana, Liana sedang berbicara santai dengan Sinta, sementara ayahnya hanya berdiri di samping, tampak gelisah dan salah tingkah. Clara hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dunia rasanya berputar cepat di sekelilingnya, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. Namun, perasaan sakit yang selama ini ia pendam mulai memuncak.
Dengan langkah tegas, Clara mendekati mereka, tak peduli lagi dengan situasi yang canggung. Matanya menatap Liana dengan sorot tajam.
“Liana, kenapa kamu bisa ada di sini?” tanyanya dengan nada dingin, nyaris tanpa emosi.
Liana yang sedang tertawa kecil bersama ibunya, mendadak terdiam begitu melihat Clara. Wajahnya tampak terkejut, namun ia berusaha tetap tersenyum.
“Oh, Clara... Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini,” ucap Liana canggung. “Aku cuma mampir ke rumah papa aku.”
Kata-kata itu bagai petir yang menyambar Clara. Hatinya terasa mencelos mendengar pernyataan itu.
"Rumah papa aku?" pikir Clara dalam hati. Apa maksudnya? Perlahan tapi pasti, potongan-potongan puzzle mulai menyatu dalam pikirannya. Matanya bergerak dari wajah Liana, kemudian menatap tajam ke arah Sinta. Tanpa bisa menahan amarahnya lagi, Clara bertanya dengan suara gemetar, “Jadi... kamu anak dari wanita ini?”
Liana menatap Clara bingung, kemudian mengikuti arah pandangan Clara ke ibunya, Sinta. Ia tampak sedikit terkejut, namun segera tersenyum lagi.
“Iya, Clara. Aku anak Mamah Sinta. Kenapa?” tanyanya dengan nada santai, seolah tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Clara menelan ludah, berusaha menahan luapan emosinya.
“Jadi kamu anaknya perempuan ini...” Suaranya semakin keras, tangannya menunjuk Sinta dengan penuh kemarahan. “Perempuan yang sudah merebut papaku?”
Kali ini senyum di wajah Liana hilang. Ia tampak sedikit tersinggung dengan cara Clara berbicara.
“Iya, aku anak Mamah Sinta,” jawabnya dengan nada lebih serius. “Dan Clara, nggak seharusnya kamu menunjuk orang tua seperti itu. Itu nggak sopan.”
Mendengar itu, Clara tak bisa lagi menahan emosinya.
“Kamu bilang aku nggak sopan? Bagaimana bisa aku bersikap sopan kepada wanita yang sudah merebut kebahagiaan keluargaku?” Clara hampir berteriak, suaranya pecah oleh amarah dan kesedihan.
“Ayah dan ibu memang sering bertengkar, tapi aku tidak akan pernah ridho kalau ibu diselingkuhin! Kamu tahu bagaimana rasanya melihat orang yang kamu cintai dikhianati? Kamu tahu betapa sakitnya melihat ayahmu memilih orang lain daripada ibumu?”
Liana terdiam, wajahnya tampak terguncang mendengar kata-kata Clara. Ia tidak menyangka bahwa Clara akan bereaksi seperti ini. Selama ini, Liana selalu berpikir bahwa hubungannya dengan Clara akan baik-baik saja, meskipun ada hubungan di antara orang tua mereka. Namun, kini ia menyadari bahwa keadaan jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Di dalam hati, Liana merasakan kegelisahan yang sama. Sejak ia tahu bahwa ibunya memiliki hubungan dengan ayah Clara, ada perasaan tidak nyaman yang selalu mengganggu pikirannya. Liana sendiri tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan ibunya, tapi ia juga tidak bisa menyalahkan ibunya sepenuhnya. Namun, Liana juga tidak ingin ibunya menjadi pelakor dalam pandangan orang lain, termasuk Clara.
Dengan nada sedikit tersinggung, Liana menjawab, “Clara, kamu nggak bisa nyalahin Mamah aku sepenuhnya. Kalau ibumu nggak bisa bikin ayah kamu bahagia, wajar kan kalau ayah kamu berpaling ke Mamah aku? Itu bukan sepenuhnya salah Mamah aku.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menancap dalam di hati Clara. Ia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Liana. Rasa kecewa dan marah semakin memuncak di dadanya. Bagaimana bisa Liana yang selama ini ia anggap sebagai teman yang baik, sekarang malah membela tindakan ibunya yang jelas-jelas salah?
“Jadi itu alasanmu?” Clara menatap Liana dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu pikir wajar seorang wanita merebut suami orang lain hanya karena masalah kebahagiaan? Kamu tahu nggak, Liana, kebahagiaan itu dibangun bersama-sama, bukan dengan cara menghancurkan keluarga orang lain. Meskipun ayah dan ibu sering bertengkar, aku tidak akan pernah bisa menerima bahwa kebahagiaan keluargaku dihancurkan oleh orang lain, termasuk oleh ibumu.”Liana terdiam, tak mampu menjawab. Ia mulai menyadari bahwa keadaan ini jauh lebih rumit dari yang ia kira. Clara, yang ia pikir akan bisa menerima kenyataan ini dengan tenang, ternyata tidak seperti itu. Di balik sikap tenangnya selama ini, Clara menyimpan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam.
Sementara itu, Clara merasa dunia di sekelilingnya runtuh. Ia tak lagi tahu harus berkata apa. Yang ia tahu, kini ia tidak bisa mempercayai Liana. Persahabatan mereka yang baru saja dimulai terasa hancur begitu saja. Liana bukan lagi sosok gadis yang baik di matanya, melainkan seseorang yang membela tindakan egois dan menyakitkan ibunya.
Clara berbalik, berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ia berjalan pergi, meninggalkan ruang tamu dengan hati yang hancur, sementara Liana hanya bisa berdiri di tempat, tercengang dan tak tahu harus berkata apa. Dunia mereka berdua kini telah berubah, dan tak ada yang tahu apakah ada jalan untuk memperbaikinya.
