"Aku hanya ingin ketenangan"
- ClaraKeesokan harinya, Clara bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari baru saja menyelinap melalui jendela kamarnya, tetapi ia merasa tak bersemangat. Bahkan, ia merasakan kelelahan yang aneh, meskipun hari baru saja dimulai. Berbaring di tempat tidur sejenak, Clara menarik napas dalam-dalam dan berusaha memotivasi dirinya untuk bangkit. Namun, beban pikiran yang seolah tak ada habisnya terus menghantui, membuatnya merasa berat untuk menjalani hari ini.
Setelah beberapa menit berlalu, Clara akhirnya bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju meja rias, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya tampak lelah, meski masih pagi. Tanpa banyak kata, ia mulai merapikan rambutnya dan mengenakan riasan tipis di wajah. Biasanya, merias diri adalah salah satu kegiatan yang ia nikmati sebelum pergi ke sekolah, tapi hari ini terasa berbeda. Pandangannya kosong, seolah tersesat dalam pikirannya sendiri.
Clara merasakan perasaan aneh menyelinap di hatinya — keinginan untuk meninggalkan semuanya, menghapus kenangan buruk, dan memulai hidup baru. "Bagaimana rasanya ya, kalau bisa mulai dari awal tanpa ayah, tanpa orang-orang yang hanya menyakiti hati?" pikir Clara sambil menatap dirinya di cermin. Ada luka yang begitu dalam di hatinya, luka yang belum sembuh dan terus menghantuinya setiap hari. Sejenak, ia tenggelam dalam lamunan, hingga suara ibunya membuyarkan pikirannya.
"Clara sayang, ayo sini kita sarapan dulu!" panggil ibunya, Mia, dari bawah dengan suara lembut namun tegas.
Clara menghela napas, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. "Iya, Bu. Sebentar," jawabnya sambil melirik dirinya untuk terakhir kali di cermin. Ia menata sedikit rambutnya yang berantakan, lalu berjalan turun ke ruang makan. Saat sampai di meja makan, ia melihat ibunya sudah menyiapkan sarapan lengkap, seperti biasanya. Kehangatan dan perhatian yang selalu diberikan ibunya adalah sesuatu yang membuat hatinya sedikit tenang.
Clara duduk di hadapan ibunya dan mulai menyantap sarapan dalam diam. Namun, pikirannya masih terus melayang, kembali pada keinginan untuk meninggalkan kota ini dan memulai hidup baru. Setelah beberapa suap, Clara memberanikan diri untuk berbicara.
"Ibu..." Clara membuka pembicaraan dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Ia ragu untuk mengutarakan isi hatinya, tetapi ia tahu ia perlu bicara.
Ibunya menoleh, menatap Clara dengan penuh perhatian. "Iya, sayang? Ada apa?" tanya Mia dengan lembut, menunjukkan perhatian penuh pada putrinya.
Clara menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya, lalu perlahan mengangkat pandangan. "Ibu, ibu mau nggak kalau kita… mulai hidup baru? Meninggalkan semuanya dan memulai dari awal?"
Mia mengerutkan alisnya, bingung dengan perkataan Clara. "Maksudnya gimana, sayang? Kamu mau mulai dari awal?" tanyanya, masih belum sepenuhnya mengerti maksud putrinya.
Clara menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... aku ingin kita pindah, Bu. Meninggalkan kota ini, semua kenangan buruknya, semua rasa sakit yang selama ini menghantui kita. Aku lelah hidup di sini, di tempat yang membuat kita terus merasa tersiksa," jawab Clara sambil menundukkan kepala.
Ibunya terdiam, tampak memikirkan perkataan Clara. Mia tahu bahwa putrinya telah melalui banyak hal yang membuatnya terluka, namun ia tidak menyangka Clara akan sampai pada titik ini — ingin meninggalkan semuanya dan memulai dari awal. Hati Mia terasa berat, karena ia memahami perasaan putrinya, tetapi ia juga sadar bahwa memutuskan untuk pindah bukanlah hal yang mudah.
"Clara, kamu benar-benar ingin meninggalkan semuanya di sini?" tanya Mia dengan nada lembut, berusaha memastikan keinginan Clara.
Clara mengangguk pelan. "Iya, Bu. Aku ingin kita bisa hidup tenang, jauh dari semua kenangan buruk ini. Aku nggak mau terus-terusan merasa tersiksa di kota ini. Aku ingin kita bahagia, Bu," jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar.
Mia mendengarkan setiap kata Clara dengan penuh perhatian, mencoba meresapi maksud dan keinginan putrinya. Di satu sisi, ia juga merasakan beban yang sama, tapi ia masih belum yakin apakah melarikan diri adalah solusi terbaik.
"Ya sudah, nanti Ibu coba pikir-pikir lagi ya, sayang," jawab Mia akhirnya, memberikan sedikit harapan untuk Clara.
Mendengar jawaban itu, Clara merasa lega. Setidaknya ibunya tidak menolak ide itu secara langsung, dan ia tahu bahwa Mia akan mempertimbangkannya. Setelah percakapan singkat itu, mereka melanjutkan sarapan dalam keheningan. Clara merasa sedikit lebih ringan setelah mengutarakan isi hatinya, meskipun ia tahu bahwa ini baru langkah awal.
Setelah selesai sarapan, Clara berpamitan untuk pergi ke sekolah. "Aku berangkat dulu ya, Bu," ujarnya sambil tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi kegelisahan.
"Hati-hati di jalan, sayang. Semoga harimu menyenangkan," balas ibunya sambil tersenyum, meski tampak ada keprihatinan di matanya.
Clara pun melangkah keluar rumah, menuju sekolah dengan hati yang masih bercampur aduk. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih dipenuhi dengan percakapannya bersama ibunya. Di satu sisi, ia berharap bisa benar-benar memulai hidup baru, namun di sisi lain ia tahu bahwa keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Meninggalkan teman-temannya, meninggalkan semua hal yang sudah ia kenal sejak kecil, bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan ringan.
