Sesampainya Clara di rumah, ia langsung disambut oleh senyuman hangat ibunya, Mia, yang tampak menantinya di ruang tamu. Ibunya tampak lebih ceria dari biasanya, bahkan matanya berkilat seolah menyimpan sebuah kabar penting. Clara yang penasaran pun mendekat dan duduk di samping ibunya.“Clara sayang, ibu punya kabar gembira buat kamu,” kata ibunya dengan senyum penuh kebahagiaan.
Clara menatap ibunya dengan mata berbinar-binar, rasa penasaran bercampur harap-harap cemas.
"Kabar gembira apa, Bu?" tanyanya antusias.
Dengan nada lembut namun penuh ketegasan, ibunya menjawab, “Ibu sudah memutuskan untuk menyetujui rencana kita pindah ke Garut. Ibu juga sudah urus semua persiapan termasuk surat cerai dari ayah kamu.”
Mendengar hal itu, Clara terkejut sekaligus bahagia. Dia bahkan tidak menyangka bahwa ibunya akan mengambil langkah besar seperti ini. Selama ini, Clara merasa tertekan dengan kondisi keluarganya, dan keputusan ini baginya seperti angin segar yang ia harap-harapkan.
“Hah, beneran, Bu? Kita beneran akan pindah?” seru Clara dengan mata berbinar-binar, sulit menyembunyikan kegembiraannya. “Kapan kita pindahnya, Bu?”
Ibunya tertawa kecil melihat reaksi Clara yang begitu bahagia.
“Iya, sayang. Kita akan pindah dua hari lagi, sambil menunggu surat cerai dari pengadilan. Semua sudah ibu urus, dan ibu yakin ini adalah keputusan terbaik untuk kita berdua.”
Clara yang mendengar jawaban ibunya langsung memeluknya erat-erat. Ia terharu karena akhirnya ibunya berani mengambil keputusan untuk keluar dari hubungan yang penuh penderitaan.
“Terima kasih, Bu. Clara nggak nyangka akhirnya kita bisa punya kesempatan untuk hidup lebih bahagia. Terima kasih karena ibu mau melakukan ini demi Clara,” katanya, air mata haru mengalir di pipinya.
Ibunya mengusap lembut punggung Clara, mencoba menenangkan putrinya.
“Ibu sangat yakin, sayang. Demi kebahagiaan kamu, ibu rela melakukan apapun. Ibu nggak mau kamu terus melihat ibu terluka dan hidup dalam ketidakbahagiaan. Kamu berhak tumbuh di lingkungan yang positif dan bahagia.”
Setelah lama berpelukan, Clara pun tidak sabar ingin mengabari sahabatnya, Bilqis, tentang rencana kepindahannya. Clara sudah tahu pasti bahwa Bilqis akan mendukung keputusannya ini dan mungkin bahkan akan ikut merasa bahagia. Tapi ia menunda untuk mengabarinya hingga besok, karena malam itu ia ingin menikmati momen bersama ibunya.
Malam pun tiba, dan seperti biasa, Clara dan ibunya duduk bersama di meja makan. Namun, ada perbedaan malam itu: mereka tidak lagi dibayangi perasaan sedih atau tertekan. Suasana makan malam mereka terasa lebih hangat, dengan canda tawa yang tulus. Clara baru pertama kali melihat ibunya tertawa lepas seperti ini, sebuah senyuman yang selama ini jarang sekali ia lihat di wajah ibunya. Dulu, ibunya sering tersenyum, tetapi Clara tahu senyum itu hanya topeng untuk menutupi rasa sakit yang dialaminya. Tapi kali ini, senyum ibunya terasa tulus dan penuh kelegaan.
Setelah makan malam, mereka berdua beralih ke ruang tamu untuk menonton TV sambil berbincang santai. Di ruang tamu, ibunya kembali membuka percakapan yang lebih serius.
“Clara, ibu mau nanya, gimana hubungan kamu sama Liana, sayang? Ibu tahu kamu kecewa, tapi ibu penasaran,” tanya ibunya sambil menatap Clara penuh perhatian.
Clara menghela napas panjang. “Gak tau, Bu. Clara bingung... Jujur, Clara masih kecewa sama Liana, apalagi setelah tahu kalau dia anak dari perempuan yang... ya, ibu tahu sendiri,” jawab Clara dengan nada sedikit kesal.
Ibunya tersenyum tipis, namun tetap tenang. “Hush, jangan begitu, sayang. Mungkin ibunya yang salah, tapi itu bukan berarti Liana juga salah. Kita gak pernah tahu apa yang dia rasakan. Mungkin dia juga terluka seperti kita, dan dia nggak punya pilihan selain menjalani situasi ini. Kamu maafin dia aja, sayang. Tapi kalau kamu memang gak mau berteman lagi, itu terserah kamu.”
Clara terdiam sejenak, merenungi kata-kata ibunya. Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa kecewa, ia bisa merasakan bahwa ibunya benar. Clara tahu bahwa menyimpan dendam hanya akan membuat hatinya semakin sakit.
“Iya, Bu. Clara akan coba maafin Liana. Mungkin gak mudah, tapi Clara akan berusaha,” katanya dengan sedikit senyum.
Ibunya mengangguk, senang mendengar bahwa Clara mau mencoba melupakan rasa sakitnya. Mereka pun melanjutkan obrolan, bercanda, dan tertawa bersama. Waktu terus berlalu tanpa mereka sadari, dan jam sudah menunjukkan larut malam. Namun, momen kebahagiaan itu membuat mereka tak ingin berhenti bercengkerama.
Akhirnya, setelah menyadari sudah terlalu malam, mereka pun beranjak ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Clara berbaring di tempat tidurnya dengan hati yang ringan. Pikirannya dipenuhi rencana untuk masa depannya di Garut, bersama ibunya yang akhirnya akan memulai hidup baru yang penuh kebahagiaan. Dalam hatinya, ia berjanji akan selalu menjaga ibunya dan membuatnya bangga.
Malam itu, Clara tidur dengan senyum yang menghiasi wajahnya, sebuah senyum bahagia yang jarang sekali ia rasakan sebelumnya. Ia merasa bersyukur karena akhirnya hidupnya mulai menemukan titik terang.
![](https://img.wattpad.com/cover/376983385-288-k435280.jpg)