BAB 9

24 21 0
                                    


Lamunan Clara buyar saat suara berat ayahnya memanggil mereka dari ruang makan. "Clara, Mia, ke sini," katanya, nadanya tegas dan tanpa perasaan. Clara merasa ada sesuatu yang salah, detak jantungnya semakin cepat. Di sebelahnya, Mia, ibunya, tampak cemas, meski berusaha menutupi perasaan itu dengan wajah tenang. Namun, Clara tahu, di dalam hati ibunya ada badai yang sedang berkecamuk. Dengan langkah berat, mereka berdua berjalan menuju meja makan, mencoba menahan ketegangan yang semakin memuncak.

Ketika mereka tiba, pemandangan di hadapan mereka membuat suasana semakin suram. Ayah Clara duduk dengan angkuh di salah satu sisi meja, sementara di sampingnya ada seorang perempuan asing yang tampak anggun namun dingin. Wajah perempuan itu seolah penuh kemenangan, dengan senyum tipis yang seakan meremehkan. Clara dan Mia duduk berseberangan dengan mereka, dan seketika, ruangan itu terasa begitu sunyi dan tegang.

Ayah Clara membuka pembicaraan tanpa basa-basi, seolah tak peduli bagaimana dampaknya.

"Aku ingin menikah lagi," katanya dengan suara yang datar, tanpa emosi. Ucapannya menggema dalam kepala Clara, seolah waktu berhenti sejenak.

Kata-kata itu jatuh seperti bom yang meledak di tengah hati Mia. Ibu Clara, yang sudah mencoba menahan diri sepanjang waktu, langsung merasakan dadanya seperti ditusuk ribuan pedang. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemas, dan tanpa ia sadari, air mata mulai mengalir deras di pipinya. Rasa sakit itu begitu nyata, menusuk hingga ke dalam jiwanya.

“Mas... apa maksudmu?” Mia bertanya, suaranya bergetar, mencoba mengendalikan rasa sakit yang hampir tak tertahankan. "Aku nggak setuju! Kamu ini apa-apaan, Mas? Bagaimana bisa kamu tega mengatakan hal seperti ini?"

Namun, jawaban ayah Clara malah membuatnya semakin terpukul. Dengan nada dingin dan tanpa sedikit pun menunjukkan penyesalan, ia menjawab, "Aku tidak butuh persetujuanmu, Mia. Pokoknya aku akan menikah lagi dengan Dinda, dan itu sudah keputusan yang aku buat."

Dinda, perempuan yang duduk di sebelahnya, hanya tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah memenangkan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Senyumnya terasa sinis di mata Clara, dan itu semakin membuat darah Clara mendidih. Ia tak habis pikir bagaimana perempuan ini bisa tersenyum ketika keluarganya sedang hancur.

Clara hanya bisa menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa lelaki yang selama ini ia panggil "Ayah" berubah menjadi sosok yang begitu kejam dan tak berperasaan? Di mana kasih sayang yang dulu pernah mereka rasakan sebagai keluarga? Rasa muak dan kecewa bercampur menjadi satu di dadanya.

"Oh, jadi namanya Dinda..." Mia berbisik, suaranya dipenuhi kepedihan yang mendalam. Air matanya tak lagi bisa ia tahan, mengalir semakin deras.

"Mas, kamu benar-benar jahat. Aku nggak sudi diduakan. Kalau kamu memang memilih untuk bersama perempuan ini, lebih baik kita cerai saja!" Mia mengucapkan kata-kata itu dengan penuh luka, seolah segala yang ia pertahankan selama ini akhirnya runtuh. Ia menatap suaminya dengan mata penuh duka, berharap masih ada secercah belas kasih di hatinya.

Namun, suaminya tetap tak tergerak. Wajahnya dingin, keras, dan tanpa belas kasihan sedikit pun.

"Aku tidak butuh persetujuanmu, Mia. Dan satu hal lagi, jangan pernah berpikir kamu bisa lepas dariku begitu saja. Kamu tetap milikku, cerai atau tidak." Suaranya tegas, penuh dengan dominasi, seolah-olah Mia tak punya pilihan dalam hidupnya sendiri.

Setelah itu, tanpa rasa bersalah, ayah Clara berdiri dari tempat duduknya, menggandeng tangan Dinda dengan santai. Mereka berjalan keluar dari rumah, meninggalkan Mia dan Clara dalam kehancuran total. Pintu depan tertutup dengan keras, memecah keheningan malam yang seakan ikut merasakan kepedihan keluarga itu.

Mia, yang tak mampu lagi menahan beratnya penderitaan, tiba-tiba jatuh ke lantai. Tubuhnya lemas, tak kuat menahan rasa sakit yang begitu mendalam. Air mata terus mengalir deras di wajahnya, sementara isak tangisnya mulai terdengar. Clara, yang melihat ibunya jatuh begitu saja, merasa seakan dunia runtuh di hadapannya. Ia langsung berlari dan memeluk sang ibu dengan erat.

"Bu, jangan... jangan pergi... Aku nggak tahu harus gimana..." Clara menangis, suaranya penuh dengan rasa takut dan kesedihan. Ia memeluk ibunya sekuat tenaga, mencoba memberikan kekuatan yang mungkin sudah tak tersisa di dalam dirinya sendiri.

Di luar, hujan mulai turun dengan deras. Hujan itu seolah menyatu dengan isak tangis mereka, membawa suasana yang lebih kelam dan penuh duka. Derasnya hujan yang menghantam jendela dan atap rumah mengiringi tangisan Mia dan Clara, dua perempuan yang kini kehilangan sosok yang seharusnya melindungi mereka. Langit tampak ikut menangis, seolah tahu betapa dalamnya luka yang mereka rasakan.

Clara merasakan air matanya tak henti-hentinya mengalir. Semua pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya tak ada yang terjawab. Bagaimana bisa ayahnya tega meninggalkan mereka? Bagaimana bisa ia mengkhianati ibu yang selama ini selalu ada untuknya? Di tengah-tengah kegelapan dan hujan, Clara hanya bisa merasakan rasa hancur yang mendalam, tanpa tahu ke mana arah hidup mereka akan berlanjut setelah malam ini.

Di luar, badai semakin menjadi. Hujan yang turun dengan deras seakan menjadi simbol dari kesedihan yang tak terkatakan, merasuki malam yang dingin. Hanya ada dua perempuan yang terluka, tenggelam dalam kesedihan di dalam rumah yang dulu penuh cinta, kini berubah menjadi tempat penuh kepedihan.

Cahaya yang hilang (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang